Lelah Digantung
Kau menundukkan kepala seakan tidak ada daya. Tangan kananmu langsung meraih teh manis dingin. Tiga tegukan cukup menyegarkan kerongkonganmu yang kering sejak tadi.
Sedikit pun kau tak memedulikan peluh yang membintik di wajahmu. Sepeda kumbang yang kau kayuh terpaksa kau hentikan saat mendekati jembatan. Kau khawatir terjerumus pada kayu-kayu yang mulai tak utuh. Kedua tanganmu memegang setang sepeda. Dengan sekuat tenaga kau menaikkan sepeda itu menaiki jembatan gantung penghubung dua kampung.
Sesekali kedua matamu tertuju ke dasar sungai yang berjarak sepuluh meter ke bawah. Suara air sungai seolah menjadi penghibur jiwamu. Isi tempurungmu masih memikirkan kepala sekolah baru. Ucapannya begitu menusuk ruang hatimu. Kau mengakui kelemahanmu. Lebih dari dua dekade kau bolak balik melewati jalan setapak. Pengabdianmu seolah tak ada harganya. Tiba-tiba kau disuruh berhenti mengajar.
Air jernih di dasar sungai sudah tak terlihat. Kau baru sampai di ujung jembatan yang membentang lebih dari sepuluh meter. Kerudungmu berkibar terbawa desau semilir angin yang menerpa wajahmu. Kau mengusap keringat. Hampir satu jam kau berjalan. Warung Bi Mun selalu menjadi tempatmu melepas dahaga sebelum kau melanjutkan perjalananmu menuju rumah.
”Wajahmu kok murung, Mar?”
Kau baru saja meletakkan sepedamu di bawah pohon kersen. Kau selalu menyandarkannya di sana. Baru saja pantatmu menyentuh bangku kusam.
”Aku disuruh berhenti ngajar oleh kepala sekolah baru. Katanya aku gaptek dan ....”
Kau tidak melanjutkan ucapanmu. Sudut matamu mulai mengembun. Kau memang tampak akrab dengan Bi Mun. Hampir tiap hari kau selalu singgah ke warungnya sebelum pulang ke rumah.
”Apa benar? Kepala sekolah itu tak punya hati, apa?”
Ucap Bi Mun sambil menyimpan segelas teh dingin di atas meja. Mereka duduk saling berdampingan.
Kau menundukkan kepala seakan tidak ada daya. Tangan kananmu langsung meraih teh manis dingin. Tiga tegukan cukup menyegarkan kerongkonganmu yang kering sejak tadi. Isi tempurungmu masih terus memikirkan ucapan kepala sekolah muda yang baru diangkat. Gaya dan sikapnya yang meninggi membuat Marni tidak betah lagi di sekolah. Padahal, ia adalah guru paling lama mengajar di sana.
Kau kembali meraih gelas yang tinggal berisi air teh setengahnya. Sementara Bi Mun, menatapmu dengan penuh tanya. Dari sudut matamu menggelinding bulir bening menuruni sisi pipimu. Kau mengusapnya dengan ujung hijabmu yang tak lagi cerah.
”Kau menangis, Mar?”
Bi Mun meraih kedua tangan Marni. Seakan merasakan kesedihan yang melanda, Bi Mun mencoba mencari tahu masalah Marni. Baginya ia adalah guru paling sabar mendidik anak-anak kampungnya. Bi Mun tahu betul bagaimana Marni mengajar dengan sabar, terlebih anak kelas satu yang belum bisa membaca dan berhitung. Anak Bi Mun hingga cucunya yang kelas dua turut diajari oleh Marni.
”Aku akan dikeluarkan kayaknya, Bi.”
Bi Mun penasaran dengan kepala sekolah yang baru.
”Bukannya negara yang berhak menghentikan Guru mengajar, bukan kepala sekolah?”
”Negara juga tidak peduli nasibku, Bi.”
”Sabar aja. Nanti juga ada di pengangkatan pegawai.”
”Udah capek aku ikut testing, Bi. Hampir dua puluh tahun tetap saja gaji kecil.”
Bi Mun memalingkan muka. Ia semakin paham apa yang dirasakan Marni. Hatinya ikut teriris. Puluhan Tahun mengajar tanpa ada harganya. Terlebih datang kepala sekolah baru yang menekan akan mengeluarkannya dari sekolah. Tentu Marni tidak terima. Hanya karena Marni gaptek. Memang karena kemajuan teknologi semua guru dituntut harus peka dengan kemajuan. Sementara Marni masih mengajar dengan metode lama.
”Yowis, Bi. Jangan cerita siapa pun. Aku pulang dulu.”
Bi Mun mengangguk. Dadanya ikut sesak menyaksikan Marni memegangi sepeda kumbangnya. Bi Mun tahu persis siapa Marni. Anak yatim yang di sekolahan oleh pak haji Kosim hingga ia dapat mengajar sekolah dasar di kampungnya. Ia menikah dengan seorang kepercayaan pak haji Kosim. Namun, berpuluh tahun mengabdi belum ada tanda-tanda ia akan diangkat jadi pegawai negeri. Langkahnya pelan meninggalkan warungnya hingga punggungnya tak terlihat lagi di belokan.
***
Baca juga: Kharma Phala
Mentari belum menetas, Bi Mun sudah bergegas membuka warungnya. Setiap pagi selalu ramai didatangi para pelanggannya. Orang-orang yang hendak ke sawah singgah terlebih dahulu di warungnya meski sekadar minum kopi dan pisang goreng. Pun para guru di sekolah dasar dan pegawai kelurahan sering nongkrong di warungnya barang sejenak. Bi Mun terkenal dengan pisang goreng lampenengnya yang pulen. Hampir tiga hari Bi Mun terganggu pikirannya. Batang hidung Marni belum pernah tampak. Atau sekadar lewat ke depan warungnya. Tak pernah terlihat.
Dari balik jajanan yang tergantung pada tali rapia. Bi Mun menelisik di antara para pelanggannya. Tebakannya benar. Orang yang sedang menyantap pisang gorengnya adalah Kurdi suami Marni. Bi Mun gegas keluar warungnya lalu menarik baju Kurdi pelan. Kurdi yang sedang menikmati pisang goreng seketika terkejut. Kurdi memahami kode Bi Mun untuk mengikutinya ke belakang warung.
Di atas sebuah bangku yang terbuat dari tiga batang bambu mereka duduk berdampingan.
”Marni ke mana, Bibi jarang melihatnya lewat mengajar.” Tanpa basa basi Bi Mun langsung menyemprot Kurdi dengan pertanyaan.
”Ada di rumah. Ia ingin berhenti mengajar.”
”Kenapa?” Bi Mun pura-pura tidak tahu masalahnya.
”Katanya disuruh kepala sekolah baru tidak perlu mengajar lagi. Aku sih senang aja Bi. Ada bojo di rumah. Biar aku pulang gawe ada yang siapin makan. Ngajar juga gajinya tidak seberapa. Lebih gede gaji babu di rumah Pak Haji Kosim.”
”Sayanglah ... sudah ngajar puluhan tahun, kok malah berhenti. Siapa tahu ada pengangkatan pegawai. Kasih semangat bojomu, Di.”
”Jangan mimpi, Bi. Jaman sekarang engak ada yang gratis jadi pegawai. Kalo harus nyogok juga kami engak bakalan mampu.”
”Lah, jangan nyogok, Di.”
”Ya, habis bagaimana? Udah ya Bi. Aku mau kerja ke tempat Pak Haji Kosim. Takut kena semprot kalo terlambat datang. Aku ngutang dulu hari ini. Kopi sama dua pisang goreng.”
Bi Mun mengangkat kedua alisnya sambil geleng-geleng kepala menatap Kurdi berlalu meninggalkannya. Kasian Marni, batinnya.
***
Lia Laeli Muniroh,Pegiat literasi dan penikmat sastra. Tulisannya tersebar di beberapa buku antologi cerpen dan media massa seperti Kompas.id, Radar Bromo, Radar Kediri, dan Cendana.com. Domisili di pesisir pantai Pangandaran, Jawa Barat.