Kharma Phala
Kakiku masih saja tertatih-tatih mendaki gunung ini. Gunung yang kata orang-orang adalah surganya para leluhur, tempat para dewa langit berpesta ketika Galungan tiba.
”Jika Wayan masih miskin, bakar saja mayat bapak tanpa singa. Tidak usah repotkan hal itu.” Begitu laki-laki yang kupanggil bapak berkata dengan santainya. Tentu saja dia terlihat sangat tenang, bagaimana pun sebentar lagi memang benar dia akan pergi.
”Singa itu adalah kendaraan yang menghantarkan roh ke surga. Jika tanpa kendaraan penuntunnya roh akan tersesat dan tak akan capai suarga loka, tempat para dewa. Sampai kapan bapak hanya akan terlahir kembali sebagai sudra*?” tanyaku.
”Biarkan Kharma Phala* yang akan menjadi selimut bapak. Mengantar bapak seperti anjing putih entah ke surga atau neraka.”
Setelah berkata begitu laki-laki tua itu menghela napas, dan rupanya saat itulah kali terakhir kami bercakap. ******
”Cuh...." aku membuang ludah yang memerah berisi daun sirih. Rasanya sepat sekali. Aku tidak terlalu menyukai rasanya, tetapi hanya itu yang bisa aku cicipi untuk memperolok otak bahwa aku sedang mengunyah dan makan.
Kakiku masih saja tertatih-tatih mendaki gunung ini. Gunung yang kata orang-orang adalah surganya para leluhur, tempat para dewa langit berpesta ketika Galungan tiba. Tetapi sedari tadi di perjalanan, tak ada satu pun dewa yang aku temui. Malahan aku hanya bertemu dengan seekor anjing. Tanpa kuberi makan sekali pun, ia setia menemaniku ke puncak.
Mungkin juga itu karena dewa-dewa tak akan sudi bertemu denganku. Aku hanya sudra yang papa. Terlahir telanjang, tanpa sehelai benang. Pun hidup yang kujalani juga tidak berbeda sebagaimana ketika aku dilahirkan. Tetap sudra yang papa. Orang-orang bilang jika pada kelahiran ini seseorang menderita, maka bisa dipastikan ia adalah seorang Neraka Cyuta. Artinya dia lahir dari neraka.
Namun, jika hidupnya bahagia dan tenteram dengan kesenangan, dia disebut Suarga Cyuta. Dia orang beruntung yang terlahir dari surga sebagaimana Kharma Phalanya sendiri.
Cih, diskriminasi macam apa itu? Aku benar-benar ingin mengutuknya. Mengutuk hidupku yang sudra dan miskin ini. Meracau kenapa sistem sosial yang dianut masyarakatku harus begitu.
Tetapi sekali lagi, aku hanya sudra. Mana kuasa aku mengutuk dunia.
Apalagi ia pertiwi, tanah yang aku pijaki sambil menengadah langit. Setiap harinya caraku berdoa ialah dengan mencakup tangan di atas kepala. Kami berdoa seperti sedang memohon ampun pada langit.
Entah dosa apa yang kami lakukan, sehingga langit tega-teganya melahirkan kami di sini melalui kandungan ibu yang menjerit.
Apa benar hukuman ini bermula hanya karena Hawa meminta makan apel?
Kata orang, jika engkau adalah seorang papa nista dari neraka maka banyak-banyaklah berbuat baik. Dengan begitu karmamu akan bersih dan bisa masuk surga. Nantinya kau berkesempatan untuk punarbhawa kembali menjadi sosok yang jauh lebih baik.
Kau akan lahir dengan derajat berkasta tinggi, hidup mapan, wajah yang cantik atau tampan. Kehidupanmu akan sempurna di kalangan strata sosial di atas sana. Aku pun mencoba berbuat baik. Tapi hasilnya bukan kebahagiaan yang aku dapat. Melainkan kemalangan.
Hidupku hanya sebegini saja. Bahkan tikus-tikus jahat di gedung itu hidupnya tetap jauh lebih enak dari pada nasibku yang selalu berbuat baik.
Apa aku perlu jadi jahat juga? Aku pun ingin berdasi dan menjadi hewan pengerat dana bansos. Lalu mengkhianati ajaran Omkara yang kusembah.
”Mereka yang jahat masih sedang menabung dosanya, karena Kharma Phala itu datangnya tidak selalu harus sekarang.” Itu ucapan dari seseorang yang kuingat kala kami bertemu di warung nasi tekor.
”Lalu kapan?” sanggahku dengan sinis.
Aku baru saja habis dikejar-kejar rentenir. Bisa-bisanya orang ini menceramahi aku. Lebih baik beri aku uang untuk melunasi utang. Ceramah tidak membuatku bisa membayar sebungkus nasi tekor yang sedang kukunyah ini.
”Hey, Kharma Phala itu hanya hukum tabur tuai. Siapa pun akan mengalami. Apa yang kau tanam itulah yang kau dapat. Jika kau tanam pisang, pasti akan mendapatkan pisang juga tidak mungkin ti….”
”Bagaimana kalau kau tanam pisang lalu buahnya dicuri tetangga? Kau tanam pisang tapi belum tentu kau dapat pisang,” sanggahku dengan cepat memotong kalimatnya, membuat ia tergelak.
”Kau kan dikejar rentenir karena tak bayar utang. Itulah kharma yang musti kau tanggung sekarang,” ujarnya di sela-sela tawa.
”Aku tidak akan berutang jika aku lahir kaya. Kau sungguh tidak perlu mengerti apa yang aku rasakan,” sahutku ketus.
”Hey, selama masih di bumi ini penderitaan dan kesenangan datang silih berganti. Kecuali kau pergi ke langit, tempat para dewa.”
”Ya, aku akan pergi ke sana,” tantangku dengan mata melotot. Dia mencoba melucon dengan perkataannya, tetapi malahan itu benar-benar memberiku sebuah ide. Aku benar-benar akan pergi ke tempat para dewa dan memperbaiki kharma buruk leluhurku, salah satunya bapak yang membuat nasibku malang begini.
”Dengar baik-baik! Semesta berjalan memang dengan hukum seperti itu. Ada hasil yang bisa kau tuai dengan cepat seperti rasa pedas pasca makan cabai. Ada hasil yang bisa kau temui nanti, dan ada juga hasil yang kau terima di hidup mendatang.”
Orang itu masih saja berseloroh.
”Nasihatmu itu tidak membuatku kenyang.”
Dia diam dan aku pun beranjak pergi meninggalkannya.
*****
Bapakku yang sudah sangat sepuh sakit keras. Aku membayarkan banyak uang pada rumah sakit untuk mengobati dan merawat dirinya.
Celaka dua belas, hal itulah yang malah membawaku pada jurang utang yang sangat dalam.
Aku yang sudah terlahir miskin kini menjadi benar-benar tidak punya apa-apa lagi selain badanku. Setiap hari aku dikejar-kejar rentenir yang menagih pembayaran. Rentenir-rentenir sialan itu bahkan datang ke hotel tempatku bekerja. Mereka meneror semua orang di sana dan sampai memaki-maki atasanku.
Hingga berakhir pada diriku yang harus dipecat karena hotel itu dan para penghuninya merasa terganggu dengan kehadiran preman-preman penagih utang. Kini aku sudah tidak punya apa pun untuk digadaikan lagi. Tidak juga pekerjaan sebagai topangan hidup.
Entah dosa apa yang aku dan leluhur lakukan. Sehingga kesialan bertubi-tubi datang dalam hidup. Ingin sekali menuai kharma baik, tetapi rupanya di negeri ini kebaikan dan kejujuran tidak ada artinya.
Jika dari dulu tidak bekerja dengan jujur, aku pasti sudah kaya raya. Hotel ini banyak menghasilkan dolar. Dengan menjilat kau bisa sangat cepat melesat mendapatkan posisi tinggi, atau kau dapat menyelipkan uang tip lebih banyak untuk dimakan dirimu sendiri.
Bukankah terdapat macam-macam pekerjaan kotor lainnya yang bisa menghasilkan banyak uang?
Intinya, ada berbagai cara untuk melakukan kejahatan dan bisa membuatmu terbebas dari belenggu kemiskinan.
Mungkin akulah yang memang terlalu dungu. Aku tidak pernah ikut kawan-kawanku melakukan pekerjaan kotor itu.
Kecuali aku tinggal di kahyangan di mana seluruh kebaikan akan langsung menjadi berkat yang berlipat-lipat. Tapi ah ya, aku lupa bahwa aku sedang tinggal di bumi! Hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah pergi dari sini. Ke mana saja. Sayangnya aku bukan makhluk gaib macam kuntilanak, yang bisa tiba-tiba hadir di atas kepala orang sambil menghibur riang dengan suara cekikikannya yang centil.
Lalu setelah puas tertawa, ia bisa menghilang sesuka hati.
Ingin sekali aku menertawai para rentenir itu, kemudian menghilang ketika mereka mencoba menggebukiku.
Namun sayangnya, raga ini kasatmata. Jadi mereka bisa menggebuki sampai badan kurus ini memar-memar.
Aku pun juga bukan leak yang bisa berubah menjadi sampyan mas atau lutung yang menggaet bulan purnama dalam semedi sungsangnya di dahan pohon kepuh. Siapa pun leak di luar sana, aku harap mereka mendatangiku dan menjadikan badan ini santapan.
Ah, leak pun mungkin tidak sudi menjadikanku tumbal ajaran Tantra yang mereka anut. Bisa-bisa mereka kehilangan daya lantaran sari-sari badan ini tidak ada nutrisi bagi ilmu hitam mereka.
******
”Guk guk guk!” Anjing pengantarku ke puncak gunung suci membuyarkan lamunan. Aku terkesiap. Selama perjalanan tadi aku terlalu sibuk bengong memikirkan hidup. Rupa-rupanya aku telah sampai di jalan yang sebentar lagi menghantarkan ke puncak. Ini dinamakan jalur naga. Satu-satunya jalan menuju puncak Hyang Giri Tohlangkir*. Jadi jika para pendaki hendak naik ke puncaknya, mereka hanya bisa melewati jalur ini. Jalur naga berbentuk seperti punggung naga. Jalannya kecil dengan kanan kiri adalah jurang yang dalam. Jika lengah sedikit saja, maka celaka sudah.
Kata orang-orang, jalan ini mirip jembatan di alam baka yang dinamai titi ugal-agil. Di titi itulah para roh menyeberang ke surga.
Jika mereka berhasil melewatinya, maka akan sampai pada gerbang suarga lokha. Namun apabila terjatuh dan terperosok ke bawah, maka akan langsung terjun ke dunia neraka yang nista.
Roh-roh malang itu akan terbakar di kawah Chandra Goh Muka yang konon panasnya melebihi lahar gunung.
Setelah selesai mendapatkan kenikmatan di surga atau siksaan di neraka, maka roh akan terlahir kembali. Oleh sebab itu ada yang terlahir dari surga dengan nasib yang sangat beruntung, dan ada pula yang sebaliknya.
Hitam dan putih di semesta ini memang seperti siang dengan malam. Bulan dan matahari atau kebahagiaan bersama derita.
”Jembatan tersebut mengumpakan bahwa untuk mencapai surga, seorang manusia harus menempuh perjalanan yang tidak mudah dan melelahkan. Lengah sedikit saja maka akan terjatuh lalu terbangun di alam bawah.” Aku kembali teringat dengan orang yang suka berceramah di warung nasi tekor itu.
”Guk guk guk!” Anjing di depan menyalak lagi. Sepertinya ia ingin memastikan apakah aku akan melanjutkan perjalanan ke puncak gunung tertinggi di pulau ini atau berhenti lalu berbalik.
Sejujurnya aku ragu. Ada rasa takut yang membayangi. Tapi aku bukan takut mati. Aku hanya takut kalau-kalau di tengah jalan aku jatuh dan tidak sampai antar abu di ranselku ini ke puncak.
Aku memang harus sampai atas. Aku ingin tabur abu bapak di ujung sana. Aku ingin abu ini terbang ke atas agar dia mencapai surga berkubah langit. Kata orang, tujuan utama memiliki anak adalah memperoleh keturunan yang suputra.
Di mana anak inilah yang harus menjadi penghantar kedua orang tuanya ke gerbang suarga lokha.
Baca juga: Jangan Masuk Hutan Itu!
Maka jika aku tidak bisa mempersembahkan singa untuk pengabenan*, maka biarkan aku yang menjadi kendaraannya. Menjadi petunjuk baginya bahwa surga ada di sebelah sana. Tersembunyi di ujung tertinggi Tohlangkir.
Yah, setidaknya begitu caraku mencintai bapak.
”Pak, Wayan ingin bapak terlahir dengan cara suarga cyuta. Walau tanpa singa, kau harus tetap bisa capai surga. Saya akan antar.”
Aku bergumam menatap langit. Seketika kaki ini mantap menyusuri punggung Hyang Basuki, naga yang terlelap di istana Giri Tohlangkir.
Anjing putih itu berjalan di depanku. Rupa-rupanya dia sangat setia. Sampai di medan yang terjal ini pun dia ikut.
Puncak sudah hampir sampai. Tinggal sekitar lima langkah lagi. Aku mengatur napas dengan seksama. Satu, dua, tiga, empat, lima…. dan hap! Aku pun sampai. Ransel itu aku buka. Sambil memeluk kendi abu, aku menengadah langit.
Tempat ini membuatku serasa menyentuh kaki-kaki surga. Awan-awan berarak di bawah telapak. Hembusan angin dengan cahaya matahari seakan menampar keras, menyadarkan aku atas hidup yang telah dilalui.
Aku kini benar-benar berada di puncak potongan Mahameru yang konon dibawa Siwa dan tercecer di pulau ini.
*****
Aku meraih abu dalam kendi dan menaburkannya ke atas. Angin menghembuskannya terbang menjauhi raga. Terbang dan menyatu dengan ether. Dia hilang dalam ketiadaan.
Lebih baik bapak tetap di atas saja menjadi bagian dari pakaian langit. Tersenyum sambil melambai layaknya kejora.
Maka sekarang telah benar Wayan lepaskan bapak kepada Akasa agar kau bisa hidup dengan perkasa. Jadilah bagian Ksirasagara, lautan susu pada lengan Bhimasakti yang agung.
”Pak… jika ada kesempatan punarbhawa kembali, datanglah dari surga agar kau tidak lahir sudra sebagaimana aku di hari ini.”
Minggu, 27 November 2022
Catatan:
Sudra: Kasta terendah di tingkat strata sosial masyarakat Hindu
Kharma Phala: Buah perbuatan
Punarbhawa: Kelahiran kembali (reinkarnasi)
Hyang Giri Tohlangkir: Nama lain Gunung Agung di Bali
Pengabenan: Upacara pembakaran mayat
***
Ni Wayan Wijayanti, lahir di Gianyar, Bali, pada 30 April. Tulisannya telah banyak dimuat di berbagai media, seperti Kompas, Ceritanet, majalah Bobo, Tatkala.Co, Indonesiana.Id, Negeri Kertas, dan Cerano. Merupakan finalis Ubud Reader and Writer Festival 2004. Karyanya yang lain pernah terpilih sebagai 30 cerita terbaik McD’s Indonesia tingkat nasional 2022. Saat ini aktif sebagai seorang SEO content writer untuk beberapa agensi dan sales marketing penginapan wilayah Ubud.