Cinta memang tak pernah mulus, dan hanya dalam kemelutlah cinta hidup. Maka kemelut cinta itu harus diterima oleh semuanya.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Semula ia merasa malu dan merasa bersalah terhadap junjungannya, Raja Arjunasasrabahu. Hanya dengan menghasratkan Dewi Citrawati saja, ia merasa sudah mengkhianatinya. Namun sekarang, karena cintanya itu, pergilah rasa bersalah dan malu itu. Ia adalah lelaki seperti junjungannya. Apa salah ia menghasratkan Dewi Citrawati seperti junjungannya? Malah dialah yang berhak, karena bukan junjungannya tapi dialah yang telah mencurahkan susah payah sampai berhasil merebut Dewi Citrawati. Tanpa ia sadari kesombongan telah menyelinap ke dalam dirinya. Dan ia menutupi kesombongannya dengan alasan cinta, yang mengatakan padanya, Dewi Citrawati juga menaruh hati padanya. Tidakkah ia justru sombong, jika ia menolak cintanya? Dalam hal ini ia meragu, bahwa junjungannya tidak tahu-menahu tentang perihalnya. Tapi mengapa junjungannya berdiam saja, seakan sungguh tak tahu-menahu? Mungkin itu terjadi karena junjungannya sangat menyayanginya. Namun ia berpikir, jangan-jangan cinta memang tak pernah mulus, dan hanya dalam kemelutlah cinta hidup. Maka kemelut cinta itu harus diterima oleh semuanya. Tidak hanya dia, tapi juga junjungannya serta Dewi Citrawati mau tak mau terlibat di dalamnya. Bagaimana bisa keluar dari kemelut cinta itu, tak seorang dari mereka bertiga tahu.
Berpikir demikian, ia didorong untuk pantang menyerah. Hasrat dan kesombongan lelakinya bergejolak. Hinggaplah padanya nafsu tak mau kalah. Ia tak peduli lagi akan rasa hormat terhadap junjungannya, Raja Maespati. Junjungannya memang raja, tapi dalam hal cinta, raja itu juga lelaki seperti dia. Raja dan abdi adalah takhta dan jabatan dalam kerajaan. Cinta tak mengenal takhta dan jabatan itu. Dalam hal cinta, keduanya sama berhak dan sama tak berhaknya. Siapa yang dicinta, dialah yang berhak menentukan cintanya. Maka bukan pada Prabu Arjunasasrabahu atau pada dirinya, tapi pada Dewi Citrawatilah yang cinta itu bergantung. Jika demikian, ia mempunyai kesempatan yang sama dengan junjungannya. Sebab ia merasa, Dewi Citrawati juga menambatkan hatinya pada dirinya. Ia lalu membiarkan pikirannya jauh melayang, terbang mengikuti angan-angan cintanya.
Kalau bukan karena cinta, mengapa di malam terang bulang di Gandapurnama, Dewi Citrawati mengundang masuk ke tendanya? Ia merasa, malam itu Dewi Citrawati tak berpikir lagi tentang Maespati. Perjalanannya hendak dihentikannya di sini saja, di mana mereka berdua boleh berada di dalam tenda di padang Gandapurnama. Alangkah hangatnya malam itu. Bulan hanya memberikan remang-remangnya, sementara nyala dian terlalu lemah untuk menahan tiupan angin yang lewat celah-celah tenda. Seakan semuanya hendak memalingkan diri, supaya mereka berdua tak perlu lagi menutupi rasa malunya untuk menumpahkan cintanya. Mereka berdua diam, tapi hati mereka penuh dengan kata-kata. Mereka hanya saling memandang, tapi hati mereka berpelukan. Mereka tampak saling menahan diri, tapi gejolak nafsu mereka membuat mereka gelisah. Mereka ingin menghentikan waktu, tapi waktu berjalan begitu cepat, dan mengejek mereka, mengapa mereka tak mau segera menggunakannya. Di saat waktu makin memacu, ia tahu, Dewi Citrawati tak tahan lagi untuk tidak merebahkan diri padanya. Mengapa aku mesti menunggunya? Mengapa aku tak mendahului untuk memeluknya? Terbukti waktu lebih cepat berlari daripada keinginan mereka. Mereka berdua berpisah, dan hanya menyisakan kerinduan belaka.
Kesempatan selalu datang, ketika mereka diperbolehkan berduaan di Taman Sriwedari. Mengapa junjungannya membiarkan istrinya berduaan dengan dia? Ia tak habis mengerti akan hal ini. Lama-lama ia tak ingin mencari tahu lagi. Pertanyaannya jadi berganti, mengapa Dewi Citrawati mau berdua dengan dia? Suaminya jelas memperbolehkannya, tapi kalau ia sendiri tak mau, pertemuan berdua itu takkan pernah terjadi. Jika ini terjadi, tidakkah itu adalah tanda, bahwa Dewi Citrawati sungguh menghendakinya. Perasaan ini membuat hatinya makin berbunga-bunga. Pada saat seperti ini, ingin ia menyampaikan rasa rindunya yang sudah lama tersimpan di hatinya. Rindu yang ditahannya sepanjang malam, dan tak mau pergi bahkan ketika hari sudah pagi. Rindu yang membuat telinganya selalu mendengar setiap langkah kekasih yang ia nantikan. Derap langkah itu begitu jelas, namun ketika ia keluar, kekasihnya ternyata sudah menghilang laksana sebuah impian. Pada Dewi Citrawati, ingin ia sampaikan sebuah nyanyian, mengapa kau pergi secepat embun pagi, yang tak sedikit pun meninggalkan jejak cintamu padaku? Ia sadar, bahwa ia melamun terlalu jauh. Dan setiap kali lamunannya menghempaskannya kembali pada kenyataannya, bahwa Dewi Citrawati sekarang adalah permaisuri seorang raja diraja, yang baginya ia hanyalah abdinya.
Ia telah menguji kesaktiannya berhadapan dengan raja diraja itu. Terbukti, ia kalah. Panah sakti pemberian ayahnya, Cakrabaskara, tak mampu merobohkan Prabu Arjunasasrabahu. Tertusuk panahnya, Prabu Arjunasasrabahu malah berubah menjadi raksasa dahsyat dengan banyak kepala, yang membuat ia tak berdaya. Ia bertekuk lutut, dan menjadi tahu, bahwa Prabu Arjunasasrabahu adalah titisan Batara Wisnu. Kekalahannya terus berlanjut, justru ketika ia berhasil memberikan Taman Sriwedari bagi Dewi Citrawati. Peristiwa itu membuka mata semua orang, bahwa Dewi Citrawati adalah titisan Dewi Sri, yang di dunia ini sudah digariskan menjadi permaisuri Prabu Arjunasasrabahu sebagai titisan Batara Wisnu. Tak mungkinlah ia melawan kodrat yang sudah digariskan ini. Maka tak mungkin pulalah ia memiliki Dewi Citrawati. Akhirnya, ia harus menerima diri, ia hanyalah abdi bagi Prabu Arjunasasrabahu, raja diraja dari Maespati.
Ia merasa, bukan Dewi Citrawati, tapi justru Darmawati yang bisa membuatnya bahagia.
Mau tak mau ia harus meletakkan lamunannya. Waktu pun merambat dengan amat lambat. Ketika malam tiba, ia tak ingin berlama-lama melihat bulan yang indah. Ia membayangkan, keindahan bulan itu akan lenyap ketika pagi tiba, sama dengan lamunannya yang menghempaskannya, ketika tanah tempat ia berpijak menyadarkannya ia hanyalah seorang hamba belaka. Dan ia bertanya, manakah sesungguhnya yang bermakna, lamunannya ataukah kenyataan dirinya? Pada saat demikian tiba-tiba datanglah Darmawati ke dalam ingatannya. Ia menyambut bayang-bayang Darmawati dengan gembira. Ia merasa, jika Dewi Citrawati mengandaskan cintanya, Darmawati justru membangunkannya. Jika Dewi Citrawati mengajaknya melambung ke langit tinggi hanya untuk menghempaskannya ke tanah kembali, Darmawati tak menjanjikan apa-apa kecuali menuntunnya agar ia kembali mau menerima dirinya, apa adanya. Dan ia merasa, bukan Dewi Citrawati, tapi justru Darmawati yang bisa membuatnya bahagia.