Dewi Citrawati menjadi tahu, cinta ternyata terjadi tanpa alasan. Pikirnya, bukanlah cinta, bila ia masih mencari-cari dan meraba-raba, mengapa ia mencinta. Ini pula yang membuat ia tidak perlu merasa malu untuk mencintai Sumantri, walaupun dengan begitu ia menurunkan derajatnya. Ia adalah putri raja, selayaknya ia dipersunting pula oleh seorang raja. Maka mengapa ia mau mencintai Sumantri, yang hanya seorang hamba? Ia tak mau bergulat dengan persoalan ini, karena dalam hatinya ia merasa, tak mungkinlah cinta membedakan antara raja dan hamba. Dan cinta tak pernah merasa kalah dan terhina, hanya karena ia mencintai seorang hamba. Lagi pula mengapa ia mesti menghinakan Sumantri hanya karena derajat hambanya?
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Berpikir demikian, ia malah makin mengagumi Sumantri. Bukan junjungannya, Prabu Arjunasasrabahu sendiri, tapi Sumantrilah orangnya yang telah mengalahkan Prabu Darmawasesa, sehingga ia bisa diboyong ke Maespati. Kalau memang mencintainya dan merasa ia adalah jodohnya, mengapa Raja Maespati itu tidak datang sendiri untuk melamarnya dan menyelesaikan segala permintaannya? Di mata Dewi Citrawati, bukan Raja Maespati tapi Sumantrilah yang berhak untuk memilikinya. Tapi sekali lagi, semuanya ini bukanlah alasan, mengapa ia mencintai Sumantri. Entah ia hamba entah ia raja, entah ia berjasa atau tidak, ia harus mengaku, pada Sumantri satu-satunya ia ingin menaruh hatinya.
Sebenarnya, ia tidak harus terlalu menderita. Sebab, tak sulitlah ia bisa bertemu dengan Sumantri, juga jika hanya harus dengan berdua-duaan saja. Dalam hal ini ia jadi heran sendiri. Ia bertanya, mengapa suaminya, Prabu Arjunasasrabahu tidak sedikit pun menaruh curiga. Malah tak jarang suaminya meminta Sumantri untuk menemaninya, bila ia ingin berjalan-jalan di Taman Sriwedari. Apakah suaminya sama sekali tidak bisa meraba isi hatinya? Atau, mungkin saja suaminya tahu, tapi sengaja membiarkan apa yang ia mau. Kalau iya, lalu apa alasannya? Mungkin karena suaminya amat mencintainya, sehingga tak ingin menghalangi apa yang jadi kehendaknya. Atau justru sebenarnya suaminya tahu, tapi sengaja menutup-nutupi, agar ia tak melukai hati Sumantri? Ini sangat mungkin terjadi. Sebab, tidak hanya dia, tapi banyak orang di Maespati tahu, raja mereka amatlah menyayangi Sumantri yang bergelar Mahapatih Suwondo. Mereka tahu tentang hal itu, sejak kedatangan Sumantri ke Maespati untuk pertama kalinya.
Bagaimana mungkin seorang raja diraja seperti Prabu Arjunasasrabahu mau dengan tiba-tiba mengangkat seorang anak desa dari pertapaan Jatisrana menjadi senapati agung, jika bukan karena rasa sayang akannya? Sumantri sama sekali belum membuktikan sejauh mana dapat diandalkan kesaktiannya. Bagaimana mungkin ia tiba-tiba percaya menobatkan Sumantri menjadi utusan agung ke Magada untuk melamar sekar kedatonnya, Dewi Citrawati, yang diperebutkan seribu raja? Itu hanya bisa terjadi, karena ia amat menyayangi Sumantri. Dan ketika kabar kekalahan raja Widarba, Prabu Darmawasesa sampai ke Maespati, ia begitu bergembira. Dan rakyat Maespati membaca, betapa rajanya bergembira karena jasa dan kehebatan Sumantri. Tapi pada waktu itu terbaca pula, betapa kegembiraannya akan Sumantri seakan melebihi kegembiraan rakyatnya yang bersukacita karena akhirnya Dewi Citrawati dapat diboyong menjadi permaisuri Maespati. Banyak warga Maespati heran dan bertanya-tanya, mengapa raja mereka begitu menyayangi Sumantri. Tapi tak seorang pun tahu jawabannya, tak terkecuali Dewi Citrawati.
Maka Dewi Citrawati sendiri sering bertanya, sungguhkah suaminya mencintainya? Dan saat keraguannya memuncak, ia tergoda untuk menduga, jangan-jangan suaminya lebih mencintai Sumantri daripada dirinya. Pada saat seperti itu, ia suka menengadah ke atap puri istananya. Dilihatnya bunga katangga yang jatuh dari atap puri itu karena tiupan angin. Biasanya, para putri istana suka memungut bunga katangga itu untuk dipasangkan pada sanggulnya, untuk menambah kecantikannya. Tapi bagi Dewi Citrawati, jatuhnya bunga katangga itu hanya membuatnya sedih. Ia merasa dirinya tak berarti, laksana bunga katangga yang jatuh dan terbuang ke tanah. Kalau memang Prabu Arjunasasrabahu tak sungguh mencintainya, dan hanya menerima dia sebagai jodohnya saja, mengapa ia harus mengikatnya menjadi permaisurinya?
Bertanya demikian, ia merasa betapa sia-sia hidupnya, walau ia adalah seorang permaisuri raja diraja. Lalu perasaan itu membawa ia terbang ke lamunan. Dan dalam dunia lamunannya itu hanya Sumantrilah yang datang dan bisa menghiburkan kesedihan dan kesendiriannya. Dipetiknya bunga campaka putih yang ada di halaman purinya. Dihirupnya dalam-dalam bunga itu. Amat wangi baunya. Lalu ditusukkannya bunga itu ke rambutnya. Betapa cantik ia jadinya. Ia membayangkan, alangkah senangnya Sumantri, bila boleh melihat dirinya berdandan dengan hiasan bunga campaka. Tidakkah kulit tubuhnya seputih dan sehalus bunga campaka? Bau harum bunga campaka akan menebar dari tubuhnya, masakan Sumantri tak akan menghirupnya? Karena harum baunya, lebah-lebah gemar menghinggapi bunga campaka. Mungkinkah Sumantri bisa menahan diri untuk tak mendekatinya di kala tubuhnya yang putih itu wangi dengan harum bunga campaka. Sebelum mekar, keindahan bunga campaka itu tersimpan dalam kuncupnya. Mengapa ia harus mekar, kalau keindahannya tak dihargai orang? Biarlah keindahan dirinya tak kelihatan orang, asal Sumantri mau menikmatinya. Dan tak ada jalan lain ke sana, kecuali ia bersama Sumantri mau bersembunyi dalam selimut cinta, dan berdua diam dalam kehangatannya.
Mungkin begitulah cinta. Mempunyai beribu kata, ketika jauh, namun tak mempunyai kata sepatah pun jua, ketika berdua.
Atas perkenan suaminya, beberapa kali ia meminta Sumantri untuk menemaninya berjalan-jalan di Sriwedari. Pada kesempatan seperti itu, ingin sekali ia mengungkapkan lamunannya dalam kata-kata dan menyampaikannya kepada Sumantri. Tapi setiap kali ia mau mengucapkannya, kata-kata itu hanya tertahan dalam mulutnya. Ia malu. Tapi mengapa ia harus malu, ia sendiri tidak tahu. Ia hanya merasa, makin ia malu, makin ia merasa, betapa besar cintanya pada Sumantri. Dan ia yakin, Sumantri merasakan sama seperti yang dirasakannya. Karena itu semua, ia hanya berdiam saja, ketika ia bersama Sumantri duduk berdua di bawah pepohonan Taman Sriwedari. Sama seperti dia, Sumantri juga hanya terdiam seribu bahasa. Ia membatin di dalam hatinya, mungkin begitulah cinta. Mempunyai beribu kata, ketika jauh, namun tak mempunyai kata sepatah pun jua, ketika berdua. Persis seperti burung, yang mencicit ramai ketika hendak pulang ke sarangnya di kala senja, namun segera berdiam diri, ketika mereka sudah mendekam dalam kehangatan di sarangnya di kala malam akan tiba. Memang ia tak mempunyai kata-kata, tapi kehangatan itu begitu terasa, ketika Sumantri duduk di sampingnya.