Rasanya, ia tak ingin kehangatan itu pergi dari dirinya, juga ketika selesai sudah saat berdua, dan ia harus kembali bersama suaminya. Ia tidak mau dianggap wanita yang kehilangan gairah. Bila gairahnya hilang, ia akan meredup seperti bunga yang layu. Maka, di hadapan suaminya pun, ia berusaha agar gairahnya tetap membara. Tidakkah suaminya juga mencintainya? Lalu mengapa ia tidak ingin membalasnya? Ia merasa tidak terlalu sulit menyalakan gairahnya. Tidakkah suaminya, Raja Maespati ini, mirip sungguh dengan Sumantri? Bagi mata banyak orang, juga bagi penglihatannya, Raja Maespati dan Sumantri itu bagaikan saudara kembar. Ia sendiri sering sulit membedakannya, apalagi di kala gairah asmaranya sedang membara. Baginya, Raja Maespati ataupun Sumantri sama-sama tampan dan menawannya. Keduanya juga sama perkasanya, dan pandai memanjakannya. Ia bahkan berkhayal lebih jauh, jangan-jangan Raja Maespati sendiri juga sering menganggap dirinya adalah Sumantri, sampai Sumantri disayanginya seperti ia menyayangi dirinya sendiri. Kalau demikian, apa bedanya Raja Maespati dan Sumantri? Sedangkan bagi banyak orang, mereka tak dapat dibedakan lagi, apalagi bagi dia di kala ia harus menyerah pada berahi.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 115)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 116)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 117)
Maka, setiap selesai saat berdua bersama Sumantri, Dewi Citrawati mengharap agar malam cepat menjemputnya untuk melakukan perbuatan cinta. Ia membaringkan diri di peraduannya, dan membiarkan berahi berkecamuk dalam dirinya. Suaminya, Raja Maespati, tak pernah bertanya, mengapa setiap kali selesai saat berdua dengan Sumantri, ia tampak begitu bergairah untuk melakukan perbuatan asmara? Mengapa ia harus bertanya, sedangkan di hadapannya terbaring istrinya yang begitu menantang dengan begitu gairahnya. Pertanyaan itu hanya akan membuyarkan kesempatan untuk segera menikmatinya. Karena tak pernah menaruh curiga pada Sumantri, ia pun memandang Dewi Citrawati dengan setulus hati. Hatinya bergetar, merasakan betapa istrinya sungguh hendak memberikan berahinya bagi dirinya, dan mengharap, agar ia membalas setimpal dengan berahinya pula.
Maka, ia mendekati Dewi Citrawati yang menanti di peraduannya. Dibelainya Dewi Citrawati dengan mesra. Dewi Citrawati memejamkan matanya, dan merasakan belaian suaminya seperti belaian Sumantri sendiri. Makin ia terusap oleh belaian itu, makin ia terisap oleh berahi. ”Mengapa cantikmu makin jelita, ketika kurasa berahimu sedang membara, Citrawati? Tak sabar lagikah kau menungguku untuk melakukan perbuatan asmara?” bisik Raja Maespati di telinga istrinya sambil membelai rambutnya. Gelung rambut istrinya lepas, mengurai indah laksana sayap burung merak. Tubuh istrinya terasa menghangat dan bedaknya menebar wangi dengan harum bunga campaka. Ia memeluk istrinya erat-erat. Dan merasakan tubuh istrinya menggeliat laksana ranting asoka yang dimanjakan oleh terpaan angin. Dan dalam nafsunya yang makin bergemuruh, Dewi Citrawati sendiri merasa dirinya kuncup bunga kumuda yang hendak keluar dari air lumpurnya. Rasanya, bunga itu akan segera mekar bila ia membiarkan dirinya makin terbenam dalam lumpur nafsunya. Tubuhnya memberontak, tak sabar lagi untuk menunggu, sampai turunlah kain yang menutupi buah dadanya.
Raja Maespati melihat, payudara istrinya menyelinap laksana sepasang cengkir gading yang sedang masak. Ia membenamkan kepalanya ke dada istrinya. Malam pun mengaduh, dan di langit awan membasah, darinya turun hujan yang mendesah ketika Dewi Citrawati melepas berahinya dalam jeritan-jeritannya yang tak lagi malu menikmati gelisah asmaranya. Namun, begitu ia terkulai lemah, wajahnya tampak menyimpan susah. Mengapa sedih itu datang lagi ketika ia berada di ujung berahi? Ia membuka matanya, dan melihat nyata, lelaki yang di hadapannya bukanlah Sumantri, tapi Raja Maespati. Ia seperti menyesal karena menipukan dirinya pada berahi. Sekarang berahi pula yang membukakan matanya, ternyata bukan Sumantri yang telah memuaskan dirinya. Tidakkah tadi ia telah dibawa pada puncak kenikmatan berahinya? Apa yang kurang pada nikmat berahinya sehingga tersisa kesedihan padanya setelah ia melakukan perbuatan asmara? ”Di ujungnya, berahiku ternyata menyiksa, karena tak beserta dengan cinta,” begitulah pedih yang dirasakan sebagai jawaban atas pertanyaan di hatinya.
Ia merasa, ternyata bukan berahi, tapi cintalah yang membuat ia bisa dengan tajam membedakan siapakah lelaki yang diinginkannya. Ketika berahinya membara, ia bisa menganggap tak ada bedanya lagi Raja Maespati dan Sumantri. Namun ketika berahinya mereda, dan ia harus berhadapan lagi dengan dirinya, cinta segera membukakan matanya dan berkata, tak mungkin kau menggantikan Sumantri dengan Raja Maespati. Teguran cinta itu tak dapat membuat ia menahan air matanya. ”Citrawati, mengapa engkau sedih setelah bercinta? Tidurlah bila kau lelah,” kata Raja Maespati sambil menutupkan selimut ke tubuh istrinya. Citrawati menyusupkan kepalanya ke dalam selimut itu. Tangisnya makin menderas, merasakan ketulusan hati suaminya, namun pada saat yang sama ia merasa, betapa tulus pula cintanya akan Sumantri, setulus rintik-rintik embun yang turun di helai-helai bunga asana.
Ia sudah jatuh hati ke Sumantri, dan tak sedikit pun terpikir akan Raja Maespati.
Ia membiarkan suaminya masuk ke dalam selimutnya. Tangisnya belum juga reda. Di balik selimut, ia malah diserang rasa iba akan Sumantri. Sumantri telah membuat apa saja yang dimintanya, mengapa bukan dia yang sekarang di sisinya? Ia merasa bersalah, karena meminta Sumantri memenuhi tuntutannya yang sama amat mustahil. Sebenarnya tak hendak ia meminta agar dicarikan delapan ratus putri domas untuk mengiringi kepergiannya ke Maespati. Bagaimana putri cantik sebanyak itu bisa didapat? Lagi pula perempuan mana yang sengaja mau dimadu dengan selir sedemikian banyaknya? Ia meminta itu semua kepada Sumantri agar ia mau diboyong ke Maespati. Sesungguhnya bukan demikian yang ada di hatinya. Syarat itu semata-mata hanyalah cara untuk menghindar agar ia tidak dipersunting oleh raja yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia sudah jatuh hati ke Sumantri, dan tak sedikit pun terpikir akan Raja Maespati. Pada Sumantri tak hendak ia menuntutkan syarat sama sekali. Maka, waktu itu, ia berharap agar Sumantri gagal dalam memenuhi tuntutannya. Ternyata, karena kesetiaannya pada rajanya, Sumantri berusaha habis-habisan mencari delapan ratus putri domas itu. Dan akhirnya ia berhasil menjalankan tugas yang mustahil itu. Dengan keberhasilan itu, ia tak punya alasan untuk menolak untuk diboyong menjadi permaisuri Raja Maespati. Dan dengan demikian, ia tak lagi boleh berharap akan Sumantri.