Cita-cita yang telah ia kejar ternyata membuat dia menjadi orang yang tersasar. Di ujung cita-citanya ia gelisah.
Oleh
Sindhunata
·4 menit baca
Sumantri telah melakukan apa saja yang diminta, mengapa bukan dia yang sekarang terbaring di sisinya? Apa yang telah diperbuat oleh Raja Maespati, sampai ternyata dia yang sekarang memilikinya? Benarkah cinta itu suka melukai, sampai ia menuntut apa yang mustahil justru pada Sumantri yang dicintainya? Sambil merasa demikian, tiba-tiba Taman Sriwedari muncul dalam pikirannya. Ia tahu, Prabu Arjunasasrabahu pasti akan menyuruh Sumantri memenuhi permintaannya untuk memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati. Kalau tahu begitu, mengapa ia tega mengajukan permintaannya, sampai akhirnya Sumantri juga yang harus memindahkan Taman Sriwedari baginya? Sepintas ia merasa benar dengan permintaannya. Ia membayangkan, tak mungkinlah Taman Sriwedari dipindah ke Maespati. Siapa pun pasti akan gagal memenuhi permintaannya. Kegagalan itu akan menjadi alasan baginya untuk menolak dirinya dijadikan permaisuri Raja Maespati. Dengan demikian, ia mempunyai kesempatan lagi untuk menaruh cintanya pada Sumantri. Di luar dugaannya, Sumantri berhasil menjalankan tugasnya. Taman Sriwedari benar-benar telah pindah ke Maespati. Peristiwa ini tak membuat ia senang. Ia justru merasa bersalah dan bertanya, mengapa lagi-lagi ia menuntutkan beban yang sebenarnya tak mungkin ditanggung pada orang yang dicintainya?
Adanya Taman Sriwedari di Maespati membuat ia mengenal siapa dirinya. Taman Sriwedari adalah helai-helai bunga Wijayakusuma, di mana dia adalah putiknya. Demikian lama ia terpisah dengan bagian dari dirinya. Sumantri telah berhasil mempertemukan dia dengan apa yang hilang dari dirinya itu. Pertemuan itu memberi tahu dan mengingatkannya bahwa dia adalah Dewi Sri, yang sudah menjadi garis nasibnya dipersuntingkan dengan Raja Maespati yang adalah titisan Batara Wisnu. Karena itu, adalah garis nasib bahwa ia harus berjodohkan dengan Raja Maespati. Ternyata, karena Sumantri, di luar garis nasib itu ada kebebasan. Seturut kodrat dan nasibnya, ia adalah istri Raja Maespati. Seturut kebebasan ia membayangkan hidupnya akan sia-sia dan takkan berarti tanpa cintanya akan Sumantri. Dua hal yang bertentangan ini rasanya takkan pernah terdamaikan, dan membuatnya merasa perih, sejak Sumantri memperolehkan baginya Taman Sriwedari. Maka pada waktu Taman Sriwedari benar-benar ada di Maespati, ia berkata pada Sumantri, ”Terima kasih, tetapi asal kau tahu, peristiwa ini sungguh menyiksa aku.”
Akan halnya Sumantri, tak tahu juga dia, apa yang harus diperbuatnya. Ia seperti pasir yang diterbangkan angin, melayang entah akan jatuh di mana. Dirasanya dirinya seperti pohon beringin, yang kokoh mengakar di lereng lembah, sendiri dalam kesepiannya. Pohon itu kokoh menguatkan lembah, tetapi bila sewaktu-waktu hujan sangat deras menimpa, lembah itu akan longsor, dan roboh pula ia. Ia merasa kesendiriannya ternyata sangat rapuh, kapan pun bisa membuatnya terjatuh.
Sekarang ia sudah di puncak cita-citanya. Ia bukan lagi Sumantri, tetapi Patih Suwondo, mahapatih Kerajaan Maespati. Ia bukan hanya menduduki jabatan punggawa yang tertinggi, tapi juga amat dicintai oleh rajanya, Prabu Arjunasasrabahu. Sedemikian sayang sang raja padanya, sampai semua ihwal kerajaan diserahkan padanya. Ia telah mencapai puncak martabat, keagungan dan kemuliaan seorang satria. Tidakkah itu yang dicita-citakannya sejak ia meninggalkan pertapaan Jatisrana? Memang demikian. Namun, di hatinya, Sumantri justru meragu, sungguhkah itu semua adalah cita-cita hidupnya? Ia bertanya, kalau benar itu adalah puncak cita-citanya, mengapa justru di sini ia merasa hidupnya sia-sia? Ia merasa, apa yang dicapainya bisa dibuangnya dengan percuma, tanpa membekaskan rasa kecewa. Ia kecewa, justru di puncak cita-citanya ia dipaksa untuk bertanya, benarkah ini semua yang ingin kaucapai, sampai kau rela meninggalkan Jatisrana yang telah memberimu damai? Dulu ia yakin, cita-citanya adalah benar, mengapa ketika tercapai, cita-citanya bukanlah apa yang sesungguhnya ingin ia kejar? Di puncak cita-citanya ia mendapati dirinya kandas, dan justru cita-citanya itu yang membuat dia terhempas.
Cita-cita yang telah ia kejar ternyata membuat dia menjadi orang yang tersasar. Di ujung cita-citanya ia gelisah. Ia telah menjadi mahapatih Maespati, mengapa ini semua jadi tak berarti karena Dewi Citrawati? Ketika ia meninggalkan Jatisrana, tak terpikirkan sama sekali bahwa ia akan gelisah hanya karena seorang wanita. Satu-satunya yang diinginkannya adalah mengabdi sebagai satria. Ketika keinginannya tercapai, di sanalah Putri Magada berada, dan menjadikan hatinya gundah gulana. Semuanya yang dicapainya menjadi kurang, bahkan kehilangan artinya, jika hasratnya akan Putri Magada belum bisa dipuaskannya.
Bila kau belum memiliki cinta, kau belum mempunyai apa-apa, kendati sekarang kau sudah mempunyai segalanya.
Ia tidak tahu, apakah ia sungguh tergelincir dari cita-citanya, karena itu ia harus malu. Ataukah cita-citanya masih menghendaki lagi apa yang sebelumnya tak diinginkannya karena itu sekarang ia harus memenuhinya. Keduanya kemudian disangkalnya, ketika ia mengakui, betapa ia telah terjerat oleh cinta akan Dewi Citrawati. Ia merasa, tak ada kaitannya sama sekali antara cita-citanya dan cintanya itu. Cinta itu ada sebelum ia bercita-cita menjadi satria. Bahkan, cinta itu tetap ada dan menyala, seandainya ia tidak menjadi satria yang demikian terhormat di kerajaan Maespati. Karena cinta itu ia tak merasa tergelincir dari cita-citanya. Maka, Dewi Citrawati seakan berkata padanya, bila kau belum memiliki cinta, kau belum mempunyai apa-apa, kendati sekarang kau sudah mempunyai segalanya. Dan rasa lega pun datang begitu saja, ketika ia yakin cintalah yang takkan membuatnya merasa bersalah.