Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 28)
Bunga-bunga angsana yang berguguran itu seakan berkata, tak mungkinlah semua yang telah terjadi kau tarik kembali.
Dewi Sokawati tak bisa membayangkan, ke mana harapan itu akan membawa anaknya. Ia tidak ingin memperjelas apa yang belum jelas. Ia berpikir, sekarang inilah saat, di mana ia harus menjelaskan lanjutan kisah hidupnya sampai tuntas. Maka pada anaknya, raksasa bajang itu, berceritalah ia bagaimana kisah hidupnya setelah ia diminta oleh suaminya, Begawan Swandagni, untuk membuang anaknya di hutan Jatisrana.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 25)
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 26)
- Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 27)
Setelah malam di mana ia harus berpisah dengan anaknya di tepi hutan Jatisrana, pagi yang datang terasa sangatlah muram. Setibanya di pertapaan, Dewi Sokawati hanya terdiam. Rasanya, tak ada lagi isi hati yang bisa dikatakan, kecuali kesedihan. Dan kesedihannya terus merambati dirinya, bagaikan tumbuhan tarulata yang melingkar-lingkar di batang pepohonan. Kesedihannya amat menyesakkan. Namun ia juga tak berniat menghilangkannya. Dalam bayangannya, kesedihannya haruslah senantiasa ada, seperti kesedihan anaknya yang telah terbuang. Ia malah sering berpikir, seharusnya ia hilang atau mati bersama anaknya di hutan Jatisrana. Tiap kali berpikir demikian, ia merasa bersalah. Mengapa ia masih ingin hidup, sementara anaknya harus mati ditelan kegelapan dan keganasan rimba raya? Tiap kali ia bertanya demikian, mega-mega merendah, dan menitikkan air menjadi tangisnya. Ia merasa, semua daya dan rasa sudah pergi dari raganya. Tubuhnya seperti tak mau lagi tersentuh oleh apa pun jua.
Begawan Swandagni tahu akan kesedihan istrinya itu. Dan ia sendiri juga selalu bertanya, mengapa kisah cinta dan asmara yang demikian panjang itu harus berakhir dengan kesedihan? Apa gunanya ia mencari pisang emas dengan segala susah payah, jika akhirnya ia hanya bisa menjumpai kehancuran istrinya. Ia menyesali semua yang telah terjadi. Ia melamun, seandainya ia mau menerima anaknya yang buruk rupa itu, takkan terjadi semua kesedihan ini. Tiap ia melamun demikian, dilihatnya bunga-bunga angsana berguguran di pelataran. Dulu, ketika ia dengan gembira membawa pulang pisang emas untuk istrinya, bunga-bunga angsana mekar dengan indahnya. Sekarang, bunga-bunga angsana yang berguguran itu seakan berkata, tak mungkinlah semua yang telah terjadi kau tarik kembali. Begawan Swandagni pun lalu terbenam dalam guguran bunga-bunga itu, kuning pucat warnanya.
”Sokawati, mengapa kesedihanmu tak juga berakhir? Lupakah engkau, di sisimu masih ada seorang anak yang membutuhkanmu? Dan rupawan pula wajahnya?” kata Begawan Swandagni dengan nada yang menghibur dan menggugahkan harapan pada istrinya.
Dewi Sokawati tidak terhibur oleh kata-kata itu. Mendengarnya, ia justru makin sedih dan tertusuk hatinya. ”Begawan, mengapa masih juga kau sebut anak kita yang rupawan itu? Kau masih membedakan anak kita, seakan yang rupawan lebih baik dan layak daripada yang buruk muka? Bagiku, tak ada bedanya, keduanya adalah anak kita. Maka, dengan membuang anak kita yang buruk rupa, sama saja aku dengan kehilangan semuanya,” kata Dewi Sokawati sedih.
Begawan Swandagni sama sekali tidak mengira, istrinya mempunyai anggapan dan perasaan demikian. Ia terdiam sejenak. Tak tahu, apa yang harus dikatakannya lagi. Ia mulai khawatir, bagaimana nasib anaknya, yang sekarang ini ada padanya. ”Haruskah kesedihanmu meniadakan anak yang kini ada padamu, Sokawati?” katanya lirih dan sedih.
”Tidak, Begawan. Aku akan bersamanya, sampai ia lepas susu, tersapih dari buah dadaku. Setelah itu aku sendiri tidak tahu, apakah aku masih bisa hidup bersama kesedihanku,” jawab Dewi Sokawati. Ia tidak mengira, ia bisa mengatakan dengan demikian pasti tentang apa yang sama sekali belum pasti. Namun ia merasa demikian pasti, kesedihan akan putranya yang terbuang tak bisa tergantikan oleh apa pun. Rasanya, ia tak mempunyai kekuatan untuk melawan kesedihan itu. Dan ia merasa, tak ada gunanya ia melawan kesedihannya itu. Sebab, kesedihan itu kini terasa mempersalahkannya, mengapa dulu kau mau berada di puncak kenikmatan dirimu, dan sekarang membuang buah dari kenikmatan itu. Melawan kesedihan itu sama saja dengan mengingkari dirinya sendiri.
Kesedihan itu sekarang menyatu dengan dirinya, sama dengan dulu ketika kenikmatan menyatu dengan dirinya, saat ia merasa puas dengan nikmat tubuhnya, di puncak asmara bersama suaminya di pelataran Jatisrana pada waktu bulan purnama sedang sangat indahnya. Kesedihan itu sekarang mempunyai wujud, dan wujud itu adalah anaknya yang buruk rupa, yang telah ia buang itu. Wujud anak itu telah hilang, yang tertinggal hanyalah kesedihan yang sekarang melekat pada dirinya. Ia melihat sulur gadung yang merambat di pepohonan, dan membayangkan, betapa kesedihan membelit dirinya bagaikan pohon yang dirambati sulur gadung itu. Bunga gadung itu menebarkan bau harum mewangi, tapi jika kesedihan menjadi bunga bagi hidup ini, hanyalah rasa pedih yang ia rasakan dalam hati.
Tak mungkin Begawan Swandagni bisa menghilangkan kesedihan istrinya itu. Ia menyesal. Dan dalam hati ia mengakui kebenaran kata-kata istrinya. Kesedihan ini justru bermula dari kebahagiaannya, ketika ia memadu asmara di malam yang begitu indah. Kalau ia mau meniadakan kesedihan itu sekarang, ia juga harus meniadakan kebahagiaan yang pernah ia alami. Tak mungkin itu ia lakukan. Ia hanya bisa memandangi istrinya dengan rasa bersalah. Dan tampaklah, betapa kesedihan itu sekarang telah menjadi kemuraman belaka di wajah istrinya.
Kalau ia mau meniadakan kesedihan itu sekarang, ia juga harus meniadakan kebahagiaan yang pernah ia alami.
”Sokawati, aku tahu kesedihanmu. Namun, pintaku, berikanlah kehidupanmu pada putramu yang membutuhkan hidupmu ini. Dia ada dan hidup, Sokawati, maka bolehkah aku memberikan nama padanya?” pinta Begawan Swandagni.
”Begawan, bila kau ingin memberi nama pada putra ini, biarkanlah aku juga memberi nama pada putra yang telah kau buang itu,” sahut Dewi Sokawati. Kata-katanya mengalir, seperti tanpa dipikirkannya lagi.
”Sokawati, masihkah seorang yang telah tiada membutuhkan nama?” Begawan Swandagni sungguh tidak bisa menyelami pikiran istrinya.