Tak ada yang tidak indah di rimba raya Jatirasa, ketika ibu dan anak itu bertemu dalam cinta. Pohon-pohon besar dan raksasa tak kelihatan seram. Terkena embusan angin, dedaunan pohon-pohon itu menari-nari, bergerak ke sana kemari, menjadi suara yang menghilangkan sunyi. Binatang-binatang meluapkan kegembiraannya. Bermacam-macam suaranya, memadu jadi lagu, yang senandungnya hanya dapat ditangkap dengan cinta. Burung-burung pun berkicau, burung yang satu tak mau ketinggalan dari burung lainnya. Kicauannya merdu, menggugah bunga-bunga untuk mekar sebelum waktunya. Diiringi kegembiraan itu, Dewi Sokawati dan anaknya sampai di telaga Sulendra. Telaga itu amat jernih. Airnya demikian memesona, hingga mengundang siapa saja untuk berani menceburkan diri ke dalamnya, tanpa peduli akan rasa dinginnya.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra
Raksasa bajang itu segera mencebur ke telaga, dan mengundang ibunya untuk mandi bersamanya. Tak ada sedikit pun rasa enggan dan malu pada diri Dewi Sokawati. Alam sedang telanjang dalam kegembiraan dan keindahannya, mengapa ia harus malu untuk telanjang dalam kejujurannya? Maka Dewi Sokawati pun menanggalkan kainnya, helai demi helai dilepasnya, dan ia pun terjun ke dalam telaga, dalam ketelanjangannya. Betapa segar rasanya air telaga yang indah itu. Ia berenang-renang senang. Anaknya terpesona melihat keindahan tubuh ibunya. Belum pernah ia melihat keindahan seperti itu. Ia pun membenamkan kepalanya pada buah dada ibunya yang tepercik air telaga mekar seperti bunga padma yang tersirami embun-embun pagi.
Di telaga itu terlihat sebuah pancuran. Airnya tercurah dari celah batu-batuan. Memercik ke permukaan telaga, berpendaran bagaikan mutiara. Di dekat pancuran itu ada pohon beringin. Akar-akarnya turun, mendekati permukaan telaga. Berpegangan pada akar-akar pohon beringin itu, Dewi Sokawati berjalan menuju pancuran itu. Anaknya pun ikut ke sana. Dewi Sokawati merasakan kesegaran tak terkira. Perlahan-lahan, kenikmatan merambati tubuhnya, ketika anaknya ikut bermain di pancuran itu bersama dia. Ia seperti merasakan ada sesuatu yang sedang kembali ke dalam tubuhnya. Ia tak perlu mengingat lama, ia merasa sedang berada kembali di bawah pancuran buluh bambu, yang dulu ada di pertapaan Jatisrana. Ketika air pancuran di tepi telaga itu mengguyurnya, ia merasa diguyur air pancuran buluh bambu setelah ia menjalani upacara mitoni di pertapaan Jatisrana.
Sambil merasakan air pancuran telaga itu, ia mendekatkan anaknya di dadanya. Rasanya, ia seperti mendekapkan kelapa muda pada buah dadanya. ”Anakku, adakah engkau buah kenikmatan ragaku?” tanya Dewi Sokawati. Kejadian malam itu berputar kembali. Waktu itu Begawan Swandagni ingin membuang buah kelapa itu, setelah buah kelapa lainnya memberikan tanda, anaknya akan lahir laki-laki. Buah kelapa itu sudah tiada gunanya lagi. Tapi ia tetap menginginkan, dan membawanya ke pancuran buluh bambu. Ia merasakan kenikmatan tak terkira, ketika ia mengusap-usapkan buah kelapa itu di dadanya. Dipandangnya sekarang anaknya yang buruk rupa, anak raksasa itu. ”Anakku, adakah engkau buah kelapa yang memberi kenikmatan itu padaku?”
Dewi Sokawati bertanya pada diri sendirinya lagi. Tiada jawaban bagi pertanyaannya itu. Jawabannya adalah perasaan nikmat seperti ketika ia merasakan puncaknya nikmat, saat buah kelapa itu pecah, dan airnya mengguyur hangat tubuhnya. Rasa nikmat itu mengantarkan Dewi Sokawati pada keindahan tubuhnya, sampai bulan pun mencuri-curi untuk ikut menikmatinya. Diresapi rasa nikmat itu, ia memandang anaknya yang buruk rupa. Dan ia merasa, anaknya sama sekali bukan buruk rupa. Ia tampan luar biasa. Ketampanannya demikian memesona, sampai bunga-bunga padma pun terbangun dari tidurnya, lalu mekar bersama-sama, ingin ikut melihatnya. Aroma bunga menebar wangi, sedang Dewi Sokawati mandi dan bersuka-suka bersama anaknya.
Cahaya siang matahari menembus rimba, ketika Dewi Sokawati keluar dari telaga. Setelah mengeringkan diri dengan cahaya matahari, ia mengenakan busananya. Entah mengapa, hari ini ia berhias secantik-cantiknya. Ia tahu, di rimba raya tak ada manusia yang akan melihat kecantikannya. Tapi bukan itu maksudnya. Maksudnya, ia hanya ingin menikmati dirinya apa adanya. Untuk itu ia perlu becermin. Dan cermin itu tak lain tak bukan adalah anaknya sendiri, yang sekarang bersama. Dilihatnya dirinya dalam diri anaknya yang buruk rupa. Ternyata dari diri anaknya, tecerminlah wajahnya yang bukan main cantiknya. Dewi Sokawati terheran-heran, bagaimana mungkin justru pada wajah yang buruk rupa itu tecermin wajahnya yang demikian cantik jelita?
Dewi Sokawati teringat, sejak ia terpaksa membuang anaknya di tepi hutan, dirinya menjadi lelah dan tua, dan kecantikan pun meninggalkan wajahnya. Tapi sekarang ketika ia boleh bertemu dengan anaknya lagi, ia menjadi segar, merasa muda kembali, dan kecantikan datang menghiasi wajahnya lagi. Ia memperoleh lagi kecantikannya karena anaknya yang buruk rupa itu. Ia seperti tidak memercayainya. Maka ia pun becermin pada air telaga Sulendra. Sungguh, air yang jernih dan tenang itu mencerminkan wajahnya yang cantik jelita. Dan kecantikan itu ternyata juga mengembalikan segala gairah dan kesegaran masa mudanya.
Aku tak pernah menyembunyikan apa yang jelek dalam diriku, Dewi Sokawati, karena itu aku selalu bisa menunjukkan kecantikan diriku.
Suasana menjadi kuning-kuning indah, karena bunga asana pun sedang ikut bersolek, tersapa cahaya siang matahari. Bunga-bunga asana itu seakan menyapa Dewi Sokawati dengan kata-kata, ”Aku tak pernah menyembunyikan apa yang jelek dalam diriku, Dewi Sokawati, karena itu aku selalu bisa menunjukkan kecantikan diriku.” Dewi Sokawati pun memeluk anaknya erat-erat, dan melihat, dalam diri anaknya inilah kecantikannya tersimpan dengan sempurna. ”Apakah nafsu itu mesti jelek dan buruk, anakku, jika dalam dirimu yang terlahir dari nafsuku itu tersimpan kecantikanku yang tak pernah aku punyai dalam kebaikan dan kesucianku?” Dewi Sokawati membatinkan pertanyaan itu dengan penuh haru. Ia tidak mendapat jawabnya. Apa yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata, ”Terima kasih anakku, syukurlah aku mempunyaimu.”
Kalau bisa, Dewi Sokawati ingin menyibakkan dahan-dahan, agar cahaya matahari tak terhalang, dan ia bisa memandang wajah anaknya dengan lebih dalam. Angin mengetahui keinginannya, disapukannyalah tiupannya, dan dahan-dahan menyibak dengan sendirinya. Terang matahari bersinar tanpa halangan, dan tampaklah wajah anaknya, buruk memang, tapi di sanalah wangi bunga campaka tersimpan. Dewi Sokawati mengulurkan tangannya, dielus-elusnya kalung mutiara yang ada di leher anaknya. Kalung itu adalah kalung harapannya, ketika ia terpaksa harus membuang anaknya. Dan kelihatan mutiara-mutiara itu makin bersinar cemerlang. Mungkin karena di dalamnya, harapan tak pernah mau padam.
Baca juga : Sindhunata, Sang Carik Anak Bajang