Sindhunata, Sang Carik Anak Bajang
Pada ”Anak Bajang Mengayun Bulan”, Sindhunata banyak bergelut pada tema nafsu dan cinta yang tidak mungkin terpisahkan, mengenai tubuh dan roh, juga mengenai dunia dan kedewataan.
Anak Bajang menggiring angin, naik kuda sapi liar, ke padang bunga menggembalakan kerbau raksasa. Lidi jantan sebatang disapukan ke jagad raya. Dikurasnya samudera dengan tempurung bocor di tangannya…
Suluk ini indah dan magis ditembangkan dalang begitu goro-goro muncul di pakeliran. Sindhunata terkesima dengan figur Anak Bajang. Dari situlah ia mengambil judul cerita bersambung Ramayana, Anak Bajang Menggiring Angin, yang kemudian dibukukan, empat dekade silam.
Pada mulanya adalah sebuah eksperimen rubrik, ketika edisi Minggu harian ini dirancang. Lalu, salah seorang redaktur iseng bertanya kepada Sindhunata. ”Bagaimana kalau kamu mengisi rubrik dengan cerita bersambung?” Sindhunata lalu mengawali penugasan itu dengan kisah Bharatayudha tahun 1978.
Setelah cerita bersambung Bharatayudha tuntas di harian Kompas, Rustam Affandi, redaktur tersebut, berkata lagi. ”Ini kelihatannya banyak yang suka. Kamu melanjutkan lagi, ya.” Sindhunata kemudian menulis lagi cerita bersambung kedua berbasis kisah Ramayana.
Mungkin tak ada yang mengira bahwa Anak Bajang Menggiring Angin terus terbit dan dicetak ulang dalam bentuk buku hingga 40 tahun. Melihat semua itu, almarhum Jakob Oetama, Pemimpin Redaksi Harian Kompas waktu itu, sempat berseloroh, ”Sindhu, ngapain kamu menulis wayang?”
Lalu, Sindhunata menjawab, ”Saya cuma disuruh Pak Rustam, Pak.”
”Ya sudah, kalau disukai orang ya lanjutkan,” ujar Jakob Oetama.
Ketika menulis cerita bersambung itu, Sindhunata sama sekali tidak berdalih sebagai seorang pencerita, penulis wayang, ataupun sastrawan. Apa yang dilakukannya lebih-lebih karena menjalankan tugas redaksi. Ia mengistilahkan dirinya hanya sebagai juru tulis alias carik.
Bisa dibayangkan bagaimana kultur saat itu. Yang bisa diakui sebagai sastrawan hanyalah orang-orang tertentu saja. Tidak seperti sekarang pada zaman digital, pengakuan lebih mudah disematkan karena begitu banyaknya sarana, dan tidak adanya otoritas yang menentukan.
Dulu dalam bayangan saya, siapa berani menulis sastra? Susah sekali masuk ke Horison (majalah kebudayaan). Justru karena itu, saya malah menjadi lebih bebas. Saya menjalankan tugas saja dengan senang.
”Dulu dalam bayangan saya, siapa berani menulis sastra? Susah sekali masuk ke Horison (majalah kebudayaan). Justru karena itu, saya malah menjadi lebih bebas. Saya menjalankan tugas saja dengan senang. Lalu, lahirlah cerita bersambung itu di Kompas, tanpa kepikiran bahwa ini akan menjadi buku atau karya sastra,” ujar Sindhunata.
Cerita bersambung Ramayana terbit setiap Minggu selama hampir setahun dari 1 Februari 1981 hingga Minggu, 27 Desember 1981. Setiap hari Kamis, Sindhunata yang saat itu menjadi kontributor harian Kompas di Yogyakarta harus cepat-cepat menyelesaikan ketikan dan mengirimkannya ke kantor pos agar segera sampai ke Jakarta. Maklum, saat itu belum ada fasilitas teleks, apalagi surat elektronik.
Di era pradigital, editor tidak memberi tahu tulisan sudah sampai atau tidak, tiba-tiba saja hari Minggu sudah terbit. Prosesnya sangat sederhana.
Apa yang ditulis pada waktu itu lebih berbasis pada inspirasi daripada sebuah kekayaan penguasaan bahan cerita pewayangan. Sindhunata betul-betul hanya menguasai bahan yang lebih kurang standar sesuai pakem. Setelah itu, semuanya mengalir bebas saja sesuai imajinasi yang didapatkannya.
Cerita Ramayana diawali dengan kisah Bagawan Wisrawa yang ingin memenuhi keinginan putranya, Prabu Danareja, untuk melamar Dewi Sukesi, putri Prabu Sumali. Namun, di tengah jalan, Wisrawa dan Sukesi justru hanyut dalam percintaan, tergoda cobaan Batara Guru dan Dewi Uma. Mereka gagal menghayati Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Cinta terlarang Wisrawa dan Sukesi tak melahirkan jabang bayi, tetapi darah, telinga, dan kuku manusia. Darah berubah menjadi sepuluh muka raksasa, yaitu Rahwana; telinga menjadi anak raksasa sebesar gunung anakan, yaitu Kumbakarna; dan kuku menjadi perempuan raksasa yang tak sedap baunya, yaitu Sarpakenaka. Kelak, ketika kembali ke Alengka, Wisrawa dan Sukesi memiliki anak lagi berupa manusia yang baik dan bijaksana, Gunawan Wibisana namanya.
Kemunculan anak-anak Wisrawa dan Sukesi ini menjadi bagian penting dalam epos Ramayana, bagaimana nantinya Rahwana terlibat dalam perebutan Dewi Sinta dari kekasihnya Rama, lalu raksasa Kumbakarna yang berjiwa kesatria harus tewas karena membela Rahwana dalam keragu-raguan, juga Wibisana yang akhirnya memilih berpihak kepada Rama, bukan Rahwana kakaknya.
Detail kisah dalam cerita bersambung ini tidak ada dalam pakem pewayangan. Berbasis cerita pokoknya, Sindhunata mengeksplorasi kembali sosok-sosok di dalamnya. Di sana banyak dipaparkan kisah tentang ketulusan Anoman, persaingan Subali dan Sugriwa, juga Rama dan Rahwana.
Kisah-kisah ini menjadi refleksi bagi banyak orang secara tidak langsung—tidak frontal seperti teori, opini, atau kritik politik—tetapi cukup menyentuh sisi batin. Orang kemudian bertanya-tanya, siapa saya? Jangan-jangan saya ini Rahwana, jangan-jangan saya ini Rama yang sedikit munafik, atau muncul rasa kasihan ketika representasi rakyat kecil yang jujur seperti Anoman dan kera-kera harus mati sia-sia hanya karena membela ambisi junjungannya.
Pada masa represi Orde Baru, Sindhunata justru bisa bebas berkhayal dalam dunia mitos, dunia kultural, dan keindahan sastrawi. Beberapa pejabat menyukai tulisannya yang mungkin tidak mengkritik secara langsung, tetapi mengetuk batin mereka.
Saya ini wong bodho (orang bodoh), Romo. Bacaan saya hanya menanti cerita bersambung di Kompas Minggu, supaya saya sedikit bisa menjadi bijaksana.
”Saya ini wong bodho (orang bodoh), Romo. Bacaan saya hanya menanti cerita bersambung di Kompas Minggu, supaya saya sedikit bisa menjadi bijaksana,” kata almarhum Soepardjo Rustam, mantan Gubernur Jawa Tengah dan Menteri Dalam Negeri Orde Baru, kepada Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, Uskup Agung Semarang, sekitar tahun 1980-an.
Anak Bajang Menggiring Angin menyuguhkan kisah-kisah di bawah sadar yang sebenarnya berkecamuk tentang apa saja, tentang kekuatan, tentang politik, juga ketidakadilan yang bisa menjadi refleksi bagi banyak orang. Maka, tidak heran jika buku ini banyak diteliti dan akhirnya dicetak terus-menerus selama 40 tahun terakhir.
Yang menarik dari cerita ini, figur Anak Bajang justru tidak ada di dalam drama. Figur itu hanya muncul dalam suluk dalang. Ia menggambarkan tentang ciptaan yang tidak sempurna, tetapi justru karena itu, ia mencita-citakan kesempurnaan dan mau membantu siapa saja untuk bisa mencapai kesempurnaan. Sementara manusia, titah yang sempurna justru selalu menyia-nyiakan kesempurnaan.
Kalau mau diidentifikasi, menurut Sindhunata, sisi Anak Bajang juga muncul dalam keutamaan Anoman, Kumbakarna, dan figur-figur yang tidak sombong, tidak oportunistis, tidak bernafsu, tidak mau memperalat, dan sebagainya.
Berbeda dengan narasi wayang pada umumnya, dalam kisah Anak Bajang, sosok-sosok kesatria justru tidak pernah ditonjolkan. Penulis lebih suka menampilkan figur-figur yang selama ini tak pernah tampil menonjol di jagat pakeliran.
Lahir kembali
Sekitar 13 tahun lalu, Sindhunata bertekad menulis kembali banjaran atau kisah tentang Anak Bajang. Namun, setelah berulang kali mencoba, ia selalu gagal.
Menjelang 40 tahun Anak Bajang Menggiring Angin, sebelum pandemi, Sindhunata tiba-tiba ingin memperingati momen empat dasawarsa itu dengan cara sendiri.
Di rumah kebudayaan Omah Petroek yang ia kelola, Sindhunata mendirikan Museum Anak Bajang. Dan, untuk meramaikan peresmian museum itu, tiba-tiba muncul ide menulis seri Anak Bajang kedua berjudul Anak Bajang Mengayun Bulan berdasarkan kisah wayang siklus Arjunasasrabahu.
Kisah ini bercerita tentang dua saudara kembar, yaitu Sumantri yang berwajah ganteng dan Sukrosono yang berwajah jelek. Sumantri ingin mengabdi menjadi kesatria kepada Prabu Arjunasasrabahu, Raja Maespati. Demi cita-citanya, ia malu mengakui dan membawa adiknya, Sukrosono si raksasa bajang dengan buruk muka.
Pada seri kedua ini, Sindhunata banyak bergelut mengenai tema nafsu dan cinta yang tidak mungkin terpisahkan, mengenai tubuh dan roh, juga mengenai dunia dan kedewataan. Dalam ketegangan-ketegangan itu, kadang-kadang orang mudah untuk saling menstigma, menjadi doktriner, acuh tak acuh, destruktif, pesimistis, dan merasa benar sendiri. Selalu ada wilayah abu-abu, dan manusia hidup di antara itu semua. Demikian pula, cinta itu tak pernah tulus, selalu ada pamrihnya.
Nasib menentukan bahwa Arjunasasrabahu, titisan Batara Wisnu, harus mendapatkan Dewi Citrawati yang merupakan titisan Dewi Sri. Tetapi, kebebasan meminta manusia bernama Citrawati bisa mencintai Sumantri. Demikian pula di alam nyata, antara nasib dengan keinginan sering kali bertolak belakang.
Jika pada Anak Bajang Menggiring Angin sosok Anak Bajang hanya muncul dalam suluk dalang, pada Anak Bajang Mengayun Bulan, figur Anak Bajang merupa dalam sosok Sukrosono. Figur Sukrosono semakin berwujud melalui tafsiran perupa Susilo Budi yang melengkapi cerita Sindhunata dengan sketsa dan lukisannya.
Meski demikian, Anak Bajang tidak semata-mata hanya dikembalikan pada sosok Sukrosono saja, karena jiwa Anak Bajang ada juga pada diri Anoman, kera-kera, bahkan dalam diri raksasa besar seperti Kumbakarna. Pada prinsipnya, Anak Bajang adalah suatu universalitas bentuk kerinduan akan kesempurnaan.
Dalam figur Sukrosono, Sindhunata memperlihatkan konflik bahwa orang selalu berpikir yang baik akan meruwat yang jelek. Tetapi, di sini sebaliknya, justru yang jelek meruwat yang baik. Meskipun disia-siakan dan dibunuh kakaknya, Sukrosono tetap mencintai Sumantri, bahkan berjanji akan menjemputnya ke surga.
Edisi perdana cerita bersambung Anak Bajang Mengayun Bulan mulai terbit besok pagi dan akan rutin hadir setiap hari hingga 150 episode ke depan. Seperti kelahiran pertamanya 40 tahun lalu di harian Kompas, kini Anak Bajang secara tak terduga minta dilahirkan kembali di harian Kompas, tepat di hari ulang tahun pendiri Kompas Gramedia, Bapak Jakob Oetama.
Gabriel Possenti Sindhunata SJ
Lahir: Batu, 12 Mei 1952
Pendidikan:
- Seminarium Marianum, Lawang, Malang, tamat tahun 1970
- Sarjana filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tamat tahun 1980
- Studi teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarta, tamat tahun 1983
- Studi doktoral filsafat di Hochschule für Philosophie, Philosophische Fakultät SJ, Muenchen, Jerman, tamat tahun 1992
Karya:
- Cikar Bobrok dan Bayang-bayang Ratu Adil
- Aburing Kupu-kupu Kuning
- Ndhèrèk Sang Dèwi ing Èrèng-èrènging Redi Merapi
- Sumur Kitiran Kencana
- Nggayuh Gesang Tentrem
- Anak Bajang Menggiring Angin
- Air Penghidupan
- Semar Mencari Raga
- Mata Air Bulan
- Menyusu Celeng (Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka)
- Air Kata Kata (2003) dan Air Kejujuran (2019)
- Air Mata Bola
- Bola di Balik Bulan
- Bola-bola Nasib
- Dari Pulau Buru ke Venezia
- Segelas Beras untuk Berdua
- Ekonomi Kerbau Bingung
- Petruk Jadi Guru
- Burung-burung di Bundaran HI
- Anak Bajang Mengayun Bulan
Penghargaan:
- Penghargaan Pelestari dan Penggiat Budaya DIY 2016