Ketika Dewi Sokawati menuju pada kesudahannya, ternyata pintu surga masih tertutup baginya. Surga sudah di depan mata, namun kakinya belum boleh melangkah ke sana. Wujud sempurnanya sudah tergambar di sana, namun hanya dari kejauhan ia boleh melihatnya. Ia masih harus menunggu. Tempat tinggalnya adalah alam pangrantunan, alam penantian, tempat ia harus bersabar, sampai kelak ia boleh masuk ke alam kaswargan. Dalam penantian yang melelahkan, penguasa dewa-dewa memperkenankan dia turun ke marcapada, ke dunia ini, untuk bertemu sejenak dengan anaknya, yang hidup sendirian di rimba raya gunung Jatirasa.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra
Setelah sekian lama waktu berlalu, terbukalah sekarang, siapa dua makhluk yang sedang berpelukan di rimba Jatirasa. Mereka adalah Dewi Sokawati dan raksasa bajang yang dahulu terpaksa dibuangnya. Hampir sepanjang malam, diiringi terang bulan, Dewi Sokawati membawa kembali cerita masa lalunya kepada raksasa bajang itu. Dan pagi membuka cerah, ketika ia menyudahi kisahnya. Dewi Sokawati masih benar-benar mengenal anaknya. Hampir tiada yang berubah pada anaknya. Masih buruk rupa seperti dulu. Wajah raksasanya masih tertinggal padanya.
Lain halnya dengan raksasa bajang itu. Tak pernah ia mengenal Dewi Sokawati, ibunya, karena begitu lahir ia sudah terbuang jauh darinya. Ia pernah menyusu pada Dewi Sokawati. Hanya perasaan itu yang secara naluriah dikenalnya, walau sejak saat itu ia tak pernah merasakan susu ibunya. Mungkin karena perasaan yang tersisa itu, maka ia seakan tak mau lepas dari dada Dewi Sokawati, sejak ia diperkenankan untuk merasakan pelukannya. Sekarang perasaan itu tak lagi tinggal kenangan. Perasaan itu kini boleh dinikmatinya menjadi kenyataan, yang memberinya rasa nikmat, damai, dan tenteram. Maka, ketika ibunya telah menyudahi ceritanya, sama sekali ia tidak memedulikannya, bahkan tak ingin ia merasakan kesedihan dan pahitnya perpisahan di malam yang kelam itu. Ia hanya ingin membenamkan dirinya dalam-dalam di dada ibunya, seakan hendak berkata, janganlah perpisahan itu akan terjadi kembali.
Dengan penuh haru, Dewi Sokawati memandang anaknya dalam-dalam. Dilihatnya, pada leher anaknya tampak untaian permata bunga campaka. Diterpa cahaya matahari pagi, untaian itu memendarkan warna putih dan kuning yang indah. ”Ternyata, kalung bunga campakaku masih melekat di lehermu, anakku,” kata Dewi Sokawati mengelus-elus permata itu. Ia tersenyum, perkiraannya tidaklah salah. Di malam perpisahan yang sedih itu, ia begitu yakin, suatu saat ia masih akan melihat permata campaka yang diuntainya, tanda bahwa anaknya pasti masih hidup, walau sudah terpisah dari dirinya. Dan sekarang ia tambah heran, mengapa permata campaka ini menjadi makin memesona? Mungkin, karena permata itu menyimpan penderitaan anaknya, dan terus mengasahnya menjadi ketabahan tak terkira, demikian Dewi Sokawati mengira dalam hatinya.
”Maafkanlah aku, anakku,” ucap Dewi Sokawati sambil terus membelai kepala anaknya. Setelah mendengar kisah sedih yang panjang itu, anaknya mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata-kata ibunya itu. Tapi ia seakan tidak mau tahu akan kata-kata itu. Kata-kata itu tak mempunyai arti lagi baginya, hilang segala maknanya, saat ia hanya ingin memuaskan kerinduannya yang terpendam selama ini. Sendiri berada dalam kesepian rimba raya Jatirasa, ia merasakan adanya sesuatu di hatinya. Ia tidak tahu, apakah itu. Baru sekarang ia tahu, itu adalah kerinduan yang berharap untuk dipuaskan. Baru ketika kerinduan itu boleh dipuaskan, ia pun tahu apakah sesungguhnya kerinduan itu. Maka ia tak mau lepas dari perasaan yang memuaskan rindunya itu. Tak dipedulikannya pikiran yang berkecamuk karena kisah hidupnya yang dituturkan ibunya sepanjang malam tadi. Ia hanya peduli akan puasnya rasa rindu yang sekarang ia alami.
”Kerinduanmulah, Nak, yang memaksa penguasa keabadian memperkenankan aku meninggalkan alam pangrantunan untuk berjumpa denganmu.” Dewi Sokawati sejenak mengenang. Aneh, di alam pangrantunan, ia justru tidak menanti, agar pintu surga terbuka untuk nanti menyambutnya masuk. Tidak, ia menanti saat, di mana ia boleh berjumpa kembali dengan anak yang telah dibuang dan ditinggalkannya. Waktu berjalan terasa sangat lambat dan lama. Bukan karena ia menanti surga, tapi karena ia merindukan anaknya. Anaknya juga mempunyai kerinduan yang sama, walau ia tidak tahu, itu adalah kerinduan akan ibunya.
Kerinduan tiba-tiba menjadi bahasa, yang kekayaannya melebihi kata-kata. Dengan bahasa itulah mereka saling berbicara.
Kerinduan mereka berdua menjadi dua anak panah, yang satu dari kayu pohon nagasari, yang lain dari kayu pohon kaniri. Dua panah itu melesat tinggi. Dan angkasa penantian bertebaran dengan bunga-bunga mewangi. Dua anak panah itu beradu. Suaranya menggetarkan, dan cahaya pun berkilatan. Pintu alam penantian, di mana Dewi Sokawati berada, membuka karena getar dan kilatan cahaya itu. Sementara di gua gelap, di mana anaknya, raksasa bajang itu berada dalam sendiri, cahaya berkilatan itu membuka hatinya yang tadinya sunyi. Saat itulah Dewi Sokawati dan anaknya dipertemukan kembali. ”Anakku, kerinduanmu dan kerinduankulah yang mempertemukan aku dan kamu kembali,” kata Dewi Sokawati. Dan bagi mereka berdua, kerinduan tiba-tiba menjadi bahasa, yang kekayaannya melebihi kata-kata. Dengan bahasa itulah mereka saling berbicara.
Kegembiraan dan keceriaan hinggap dalam diri raksasa bajang. Kegembiraan itu juga segera menghilangkan segala kesedihan dan perasaan bersalah yang ada dalam hati Dewi Sokawati. Dewi Sokawati pun larut dalam kegembiraan itu. Berdua, mereka berjalan-jalan di hutan Jatirasa. Pagi ikut bernyanyi gembira. Udara wangi dengan mekarnya bunga-bunga melati dan campaka. Raksasa bajang melompat-lompat, berpegangan pada sulur-sulur pohon jangga, yang memberikan bunganya, tak kalah semerbaknya. Dewi Sokawati heran, melihat bagaimana anaknya bisa bercanda dengan binatang-binatang yang dijumpainya. Dengan gajah, badak, celeng, banteng, orangutan, dan kera, ia dapat berbicara, seperti bercengkerama dengan temannya saja. Ia pun bisa bernyanyi bersahut-sahutan dengan kicau burung kutilang dan kepodang di pagi hari. Dalam hati Dewi Sokawati berkata, ”Ternyata alam dengan binatang dan tumbuhannya bisa melindungi kehidupan dan menjadi teman bagi anaknya yang terbuang. Alam tak pernah membuang, malah memelihara siapa yang disingkirkan oleh manusia yang kejam.”