”Anakku, apa yang harus kuberikan sebagai kenanganku padamu? Ya dewa, tunjukkanlah kemurahanmu padaku, agar aku dapat memberikan tanda cintaku pada anakku,” pinta Dewi Sokawati. Alam mendengarkan permohonan Dewi Sokawati. Cahaya bulan menyibak lembar-lembar malam. Secercah cahayanya cukup memberi terang bagi Dewi Sokawati untuk melihat bunga-bunga campaka yang sedang berguguran. Dan eloknya, bersamaan dengan gugurnya bunga campaka itu, selembar cahaya malam tiba-tiba mengular, dan jatuh di hadapan Dewi Sokawati, menjadi sehelai benang. Dengan sehelai benang malam itu diuntainya bunga-bunga campaka yang berguguran tadi. Jadilah sebentar campakamala, untaian kalung bunga campaka.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra
Angin mendesir perlahan, suaranya menerpa pepohonan, menyenandungkan nyanyian malam bunga campaka, ketika Dewi Sokawati mengalungkan untaian bunga wangi itu di leher anaknya. ”Anakku, di malam bunga campaka ini, kuserahkan kau kepada alam. Aku percaya, alam akan bisa menjaga dirimu dengan lebih sempurna daripada ibumu ini. Manusia bisa kejam terhadap kehidupan, dan menyia-nyiakan. Aku yakin, alam tidaklah demikian, alam memberi kehidupan dan memelihara kehidupan. Di saat aku dilanda kepedihan seperti ini, malam bernyanyi dengan nyanyian gembira bunga campaka. Bagiku inilah tanda, alam akan menghidupi dan memeliharamu, anakku,” kata Dewi Sokawati sambil memandang untaian bunga campaka di leher anaknya.
Anaknya kelihatan indah ketika untaian bunga campaka itu terkalung di lehernya. Dewi Sokawati tersenyum. Sedikit dan hanya sejenak senyumnya. Namun di tengah kedukaan yang dalam, senyum itu tampak bagaikan pelangi gemerlapan ketika malam sedang mencekam. Bayinya yang terbaring di alas daun campaka seakan teraba oleh senyum itu. Dan ia pun ikut tersenyum dalam tidur nyenyaknya. Dewi Sokawati tak bisa menahan haru dan sedih melihat senyum anaknya itu. Didekapnya anaknya erat-erat. Terlihat ada cahaya berkelebat laksana kilat. Cahaya kilat itu kemudian masuk ke dalam untaian bunga campaka. Dan dalam sekejap berubahlah untaian bunga campaka itu menjadi butir-butir mutiara, putih dan kuning warnanya. Mutiara bunga campaka, itulah sekarang kalung yang melingkar di leher anak raksasa yang buruk rupa itu. Dewi Sokawati seakan tak percaya akan apa yang dilihatnya. Namun ini semua meneguhkannya, anaknya akan mekar laksana bunga campaka. Ditatapnya anaknya, dan ia menciuminya untuk terakhir kalinya. Malam kembali menjadi gelap. ”Anakku, akhirnya inilah saat aku harus meninggalkanmu.” Lalu Dewi Sokawati beranjak pergi, dengan kesedihannya yang tak terkira di hati.
Lunglai dan gontai, Dewi Sokawati melangkah. Malam masih menyisakan kegelapannya, ketika ia meninggalkan hutan di tepi Jatisrana. Di kejauhan terdengar jerit tangis sedih. Angin ikut membawa tangis itu dalam desirannya. Dan angin menghampirkan pula tangis itu pada dedaunan pohon-pohon jati serta pohon-pohon cemara hutan Jatisrana. Dedaunan itu ikut bersedih, dan membiarkan kesedihannya menjadi desiran pedih yang makin membuat tangis itu mengiris-iris hati. Dewi Sokawati tahu, tangis itu adalah tangis anaknya, yang tadi tertidur pulas beralaskan daun campaka. Pasti anak itu terbangun dan menangis karena merasa ibunya sudah tidak ada lagi di sisinya. Siapakah yang tahan mendengar tangis yang menyayat hati itu? Andaikan Dewi Sokawati ingin menutup telinganya, pastilah ia tidak bisa menutup pintu hatinya untuk menolak suara anaknya itu.
Perlahan-lahan tangis itu sudah tak terdengar lagi. Bukan karena tangis itu menghilang, tapi karena Dewi Sokawati sudah meninggalkan hutan Jatisrana di kejauhan. Fajar mulai merekah, matahari memberinya warna merah-merah. Mengapa di pagi yang demikian indah, belum juga terdengar kokok ayam alas membangunkan alam semesta? Mengapa justru yang terdengar adalah suara burung cataka yang sedang bersusah? Dewi Sokawati merasa, itu semua terjadi karena tangis anaknya selalu menyertainya. Di fajar yang sedang rekah, tangis itu tidak tertinggal jauh di sana, tapi tetap tinggal jadi nyanyi kesedihan burung cataka.
Kesedihan tak dapat dihapusnya dengan segera. Kesedihan terus menyertainya bagaikan mendung yang menyaput mega.
Akhirnya, sampailah Dewi Sokawati di pertapaan Jatisrana. Kesedihan tak dapat dihapusnya dengan segera. Kesedihan terus menyertainya bagaikan mendung yang menyaput mega. Cukup lama, dengan suaminya ia tak bertegur sapa. Begawan Swandagni, suaminya, juga tak tahu, dengan kata-kata apa ia dapat menghibur istrinya. Dalam hati ia mengaku, ia telah bersalah, sampai istrinya dirundung sedih tak terkira. Namun ia tetap kaku berpegang dalam pendiriannya, ia tak bersalah membuang anaknya yang buruk rupa. Hari demi hari, suasana pertapaan Jatisrana ikut terbenam dalam kesedihan itu juga. Bila pagi, burung-burung enggan bernyanyi. Bila malam, bulan selalu terbenam. Akar-akar pohon beringin tak mau lagi menjadi pegangan. Pohon-pohon asoka melayu daun-daunnya. Bunganya berguguran di tanah, kehilangan warnanya yang merah. Tak kuncup pula bunga-bunga campaka, hingga hilanglah warna-warna indah, putih dan kuning dari pertapaan Jatisrana. Sementara Dewi Sokawati kelihatan makin tua, perlahan-lahan memudar kecantikannya. Kesedihan seakan tinggal mengantarnya menuju pada kesudahannya.