Begitu keluar dari pertapaan Jatisrana, Dewi Sokawati tak dapat lagi menahan tangis. Ketabahan dan kekuatan yang tadi dimilikinya sekarang sirna. ”Anakku, mengapa aku harus melahirkanmu jika akhirnya hanya nasib kejam ini yang harus kaualami, bahkan ketika belum sejenak pun engkau mencecap nikmatnya kehidupan ini?” katanya, sambil mengelus-elus kepala anaknya. Samar-samar burung cucur mengeluarkan suaranya yang menyayat hati. Di malam seperti ini, suara itu seakan mengundang alam untuk ikut merasakan kesedihan Dewi Sokawati. Kegelapan malam makin menyayat hati, ketika angin bertiup menderitkan pohon-pohon bambu. Deritnya adalah seruling alam yang ditiup dengan kepedihan. Derit kesedihan ini makin memilukan ketika Dewi Sokawati membayangkan, hanya kematianlah yang bakal dijumpai anaknya nanti.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra
”Tak ingin aku hidup jika kau harus mati, anakku. Atau mestikah kita berdua mati bersama-sama? Tapi mengapa kau harus mati?” kata Dewi Sokawati. Dipandangnya dalam-dalam anaknya. Karena pandangannya yang penuh cinta, anak di depan matanya kelihatan demikian tampan dan menawan. Manakah wajah raksasa yang jelek itu? Wajah itu menghilang, terbang, seperti burung kuwung yang lepas dari genggaman malam, saat pandangan cinta itu menerawang ke kedalaman diri anaknya yang akan terbuang.
Air mata Dewi Sokawati bertetesan. Turunnya air mata itu menjadi hujan yang menguakkan gelapnya mega-mega malam. Air mata itu mengundang bulan untuk kembali bersinar. Sinar bulan perlahan-lahan datang, cahayanya mencarikan jalan bagi langkah Dewi Sokawati, agar ia tidak tersandung-sandung dalam kegelapan di waktu malam.
Sesampainya di tepi hutan, dalam remang-remang malam, ia melihat seonggok batu di tepi jalan. Batu itu redup. Redupnya itu membuat cahaya bulan bisa mengukirkan padanya gambar sekuntum bunga padma, yang terlihat mekar, memberikan harapan bagi Dewi Sokawati yang sedang dilanda kesedihan. Dewi Sokawati duduk di atas batu itu. Ditatapnya bulan dan anaknya, berganti-gantian. Rasanya, tak lagi ia melihat perbedaan di antara keduanya. Mereka berdua adalah terang di waktu malam.
Merasakan terang itu, Dewi Sokawati terasa tenteram.
”Anakku, kematian sudah menantimu. Namun, mengapa justru aku merasa kehidupan yang akan menyertaimu,” kata Dewi Sokawati menimang-nimang anaknya sambil menatap bulan terang di tengah malam. Ia lalu dilanda pertanyaan yang tak dapat ia terangkan: Mengapa ketika membayangkan kematian segera merenggut anaknya, ia justru merasa demikian yakin, kehidupan sedang ingin menjemputnya?
Ia merasa, dalam diri anaknya kematian demikian berdekatan dengan kehidupan dan dalam keadaan demikian anaknya seakan memperoleh daya luar biasa untuk mempertahankan diri, tanpa dirisaukan lagi oleh hidup dan mati.
”Anakku, sebentar lagi kau akan berpisah dariku. Sebelum kau kutinggalkan sendiri, rasakanlah sepuas-puasnya air susu dari buah dada ibumu ini. Hanya air susu inilah yang dapat kuberikan padamu sekarang ini,” kata Dewi Sokawati. Ia membuka buah dadanya lalu menaruhnya di mulut bayinya. Bayinya segera menyusu keras-keras. Dewi Sokawati sama sekali tidak merasa enggan, melihat bayi raksasa itu menempelkan mulutnya di buah dadanya. Saat itu, ia hanya merasa, betapa bahagianya menjadi seorang ibu, yang bisa memberikan susu kehidupannya buat anaknya. Melihat kasih sayang itu, bulan ikut mengendap-endap turun. Terang bulan pun menerpa buah dadanya. Buah dadanya lalu berubah menjadi sepasang cengkir gading yang jatuh dari indahnya awan. Dan menyusulah bayi raksasa itu sekeras-kerasnya. Anehnya, Dewi Sokawati merasa bulanlah yang menyusu pada buah dadanya. Dewi Sokawati bertambah kebahagiaannya karena rasanya sekarang ia sedang memberikan buah dadanya pada terang yang menguasai jagat raya, saat sedang jagat raya berada dalam kegelapan malam.
”Anakku, kaulah yang menyusuku. Tapi mengapa aku merasa bulan yang sedang menyusu buah dadaku? Adakah bulan di dalam dirimu?” tanya Dewi Sokawati pada dirinya sendiri, sementara ia merasakan bahagianya boleh menyusui bulan. ”Tak terbayangkan aku pernah menyusui bulan. Sekarang itu terjadi. Apa artinya aku bagi bulan ini? Aku rela menyerahkan semuanya jika bulan menghendakinya. Ambillah semua dariku, anakku.”
Dewi Sokawati merasa, buah dadanya bagai dibelai dengan helai-helai terang serupa daun-daun bunga sarasija yang mekar di waktu malam.
Dewi Sokawati lalu membiarkan bayinya sepuas-puasnya menyusu padanya. Makin kencang anak itu menyusu, makin gemerlap bulan menjadi terang. Dan Dewi Sokawati merasa, buah dadanya bagai dibelai dengan helai-helai terang serupa daun-daun bunga sarasija yang mekar di waktu malam. Perasaan ini mengingatkan dia kembali, saat ia membawa sebutir kelapa muda, yang tak jadi dipecah pada upacara tujuh bulan kandungannya. Dia membawa kelapa muda itu ke pancuran buluh bambu dan mendekap-dekapkannya di dadanya, sementara ia telanjang bulat di bawah sinar bulan purnama. Ia merasakan kenikmatan luar biasa, seperti dulu ketika ia memadu cinta bersama Begawan Swandagni di pelataran Jatisrana. Kenikmatan itu memuncak, ketika kelapa muda itu pecah, dan airnya mengguyur segar pada ketelanjangannya. Semua perasaan itu kembali sekarang, saat ia menyusui anaknya, bagai menyusui jagat raya.