Hampir 70 persen responden meyakini MK mampu menyelesaikan kasus-kasus sengketa pemilu dengan adil.
Oleh
YOHAN WAHYU/Litbang KOMPAS
·4 menit baca
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberi ruang terjadinya perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 20 Maret lalu. Pasal 474 dalam undang-undang tersebut menyebutkan, peserta pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, di Pasal 475 juga disebutkan, jika terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Keberatan dimaksud hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada pemilu presiden dan wakil presiden.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dalam regulasi undang-undang dan kemudian ditindaklanjuti dalam Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2024 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, waktu penyelesaian sengketa ini juga dibatasi.
Untuk perselisihan perolehan suara di pemilihan presiden, MK memiliki waktu 14 hari sejak diterimanya permohonan keberatan. Sementara untuk perselisihan hasil pemilu legislatif, waktu yang dialokasikan selama 30 hari sejak perkara dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK).
Dengan waktu tersebut, MK diyakini akan mampu menyelesaikannya. Hal ini terungkap dari hasil jajak pendapat Kompas yang digelar pekan lalu yang berbarengan dengan masa KPU menyelesaikan proses rekapitulasi perolehan suara Pemilu 2024. Hampir 70 persen responden meyakini lembaga penjaga konstitusi ini mampu menyelesaikan kasus-kasus sengketa pemilu dengan adil.
Keyakinan ini juga dibarengi dengan kepercayaan responden yang relatif masih terjaga terhadap MK. Hasil jajak pendapat kali ini merekam, sebanyak 71,2 persen responden percaya dengan kelembagaan MK, bahkan sebagian di antaranya menekankan sikapnya yang sangat percaya.
Sikap publik ini tentu menjadi sinyal positif bagi MK setelah sorotan masyarakat yang cenderung minor terhadap lembaga ini pascaputusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Saat itu, MK memutuskan usia capres atau cawapres tetap paling rendah 40 tahun, tetapi ada tambahan syarat pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan ini melahirkan polemik karena publik melihat ada relasi dengan munculnya nama Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, yang kemudian terbukti setelah putusan MK tersebut, Gibran resmi menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto. Pada 20 Maret lalu, KPU menetapkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai peraih suara terbanyak di Pemilihan Presiden 2024.
Tidak heran jika merujuk survei Kompas pada Desember 2023, setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan ada pelanggaran etik pada Ketua MK Anwar Usman, citra lembaga ini merosot. Di survei Desember tersebut, citra positif MK berada di angka 50 persen. Jika merujuk tren citra lembaga dalam 20 kali survei yang digelar sejak Januari 2015, angka tersebut tercatat paling rendah dalam sejarah penilaian publik pada lembaga penjaga konstitusi tersebut.
Polemik MK
Tak heran jika hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang digelar pekan lalu juga menangkap sikap publik yang masih belum bisa melupakan polemik terkait MK di atas. Meskipun kepercayaan terhadap MK relatif masih terjaga dan diikuti dengan keyakinan bahwa lembaga ini mampu menyelesaikan kasus perselisihan hasil Pemilu 2024, publik masih mengakui kasus pelanggaran etik yang menyangkut ketua MK, akhir tahun lalu, masih memengaruhi penilaian mereka.
Separuh responden (50,1 persen) mengakui, kasus pelanggaran etik Ketua MK beberapa waktu lalu memengaruhi pertimbangan mereka dalam menilai lembaga penjaga konstitusi saat ini. Sikap ini dibayangi oleh kelompok responden lainnya (46,9 persen) yang justru mengaku tidak terpengaruh dengan kasus tersebut.
Menariknya, jika dilihat dari latar belakang preferensi politiknya di pemilu lalu, mereka yang memilih pasangan Prabowo-Gibran cenderung tidak menjadikan kasus putusan MK yang mengundang polemik tersebut sebagai pertimbangan menilai kerja lembaga ini dalam menyelesaikan sengketa pemilu. Hal ini dinyatakan oleh hampir 60 persen kelompok responden simpatisan Prabowo-Gibran ini.
Sebaliknya, porsi yang lebih banyak responden mengaku kasus pelanggaran etik yang pernah terjadi di MK menjadi pertimbangan mereka menilai kerja lembaga ini dalam penyelesaian sengketa pemilu, lebih tampak di kelompok responden pemilih Anies Baswedan–Muhaimin Iskandar dengan pemilih pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Di kelompok responden simpatisan Anies-Muhaimin, hampir 70 persen mengaku menjadikan pertimbangan kasus pelanggaran etik di MK dalam menilai kerja-kerja lembaga ini menghadapi sengketa pemilu saat ini. Hal yang sama ditunjukkan dari kelompok pemilih Ganjar-Mahfud yang tercatat mencapai 62,5 persen responden menyatakan sikap yang sama.
Sebagian besar dari dua kelompok pemilih pasangan calon ini menyatakan, pelanggaran etik yang pernah terjadi di MK bisa berdampak pada kemampuan lembaga menyelesaikan kasus-kasus sengketa pemilu.
Sikap dua kelompok responden ini wajar karena fakta di lapangan memang menunjukkan pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud yang selama ini menyebutkan soal dugaan pelanggaran dan kecurangan yang terjadi di Pemilu 2024.
Kedua pasangan ini memang tengah mengajukan permohonan sengketa hasil pemilihan presiden setelah hasil Pemilu 2024 ditetapkan oleh KPU. Sementara itu, kubu Prabowo-Gibran menyatakan siap menghadapi gugatan dengan menjadi pihak terkait.
Pada akhirnya, pengajuan permohonan perselisihan hasil pemilu harus diakui sebagai bagian dari mekanisme tahapan pemilu yang difasilitasi oleh undang-undang. Durasi dan batasan waktu yang disediakan dalam proses penyelesaian sengketa pemilu diharapkan melahirkan hasil pemilu yang berkeadilan. Di tengah sorotan publik pada proses sengketa pemilu inilah, keberadaan MK kembali diuji.