Ketika KPK Tak Lagi Bersama Publik
Citra KPK semakin menurun di mata publik. Revisi Undang-Undang KPK menjadi jalan untuk memperkuat lembaga antirasuah ini.
Pengujung 2023 menjadi puncak dari penurunan citra Komisi Pemberantasan Korupsi di mata publik. Citra lembaga antirasuah yang sejak lahir dan perjalanannya kerap dekat dengan aspirasi dan suara publik ini kian hari kian menjauh dari harapan masyarakat.
Merosotnya citra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terekam dari hasil survei tatap muka Litbang Kompas periode Desember 2023. Pada survei ini, citra baik lembaga pemberantas korupsi tersebut berada di angka 47,5 persen. Angka ini yang terendah, setidaknya dari 22 kali survei sejak Januari 2015.
Penurunan ini memang bukan yang pertama. Sebelumnya, pada survei periode Oktober 2019, citra baik KPK juga menurun, terutama setelah pengesahan revisi Undang-Undang KPK pada September 2019.
Citra lembaga ini menurun pada angka 76,5 persen pada periode survei Oktober 2019 dibandingkan dengan periode Maret 2019 yang berada di angka 77,3 persen. Citra baik KPK yang paling tinggi pada 22 survei Litbang Kompas tercatat pernah berada di angka 88,5 persen pada survei Januari 2015.
Penurunan citra KPK ini tak lepas dari rentetan kejadian yang mengarah ke lembaga ini sepanjang empat tahun terakhir. Tidak dimungkiri, era KPK dalam empat tahun terakhir ini berkaitan erat dengan posisinya sebagai turunan UU KPK hasil revisi. Padahal, upaya revisi tersebut saat itu menghadapi penolakan luas dari publik.
Salah satu bentuk kontroversi kebijakan KPK terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK yang, berdasarkan revisi UU KPK, statusnya beralih menjadi aparatur sipil negara pada Januari 2021.
Hasil tes itu cenderung menyingkirkan sosok-sosok yang selama ini terkenal menonjol dalam meringkus para koruptor. Terdata 75 orang yang gagal dalam tes tersebut. Dua di antaranya ialah mantan Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono dan penyidik KPK Novel Baswedan.
Kontroversi lain di tubuh KPK ialah sosok Ketua KPK Firli Bahuri. Saat awal menjabat, misalnya, Firli terbukti melanggar etik karena menggunakan helikopter untuk perjalanan pribadi. Dewan Pengawas (Dewas) KPK kemudian menjatuhkan sanksi teguran tertulis II kepada Firli pada September 2020.
Sanksi ini bukan yang pertama menjerat Firli. Sebelum menjadi Ketua KPK, Firli pernah dijatuhi sanksi ketika menjabat Deputi Penindakan KPK karena terbukti melanggar etik dengan bertemu pihak beperkara. Putusan pelanggaran etik berat itu tidak dilaksanakan karena Firli ditarik ke Polri pada 19 Juni 2019. Hingga kemudian Firli kembali mengikuti seleksi komisioner KPK dan terpilih sebagai ketua.
Baca juga: Efek Jera Minim, Korupsi Politik Marak
Pelemahan
Pelemahan secara keorganisasian sebagai dampak dari revisi terhadap UU KPK juga makin menguat karena perilaku para komisionernya.
Selain Firli, salah satu komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar, juga menjadi sorotan publik setelah pada Agustus 2021 menjalin komunikasi dengan salah satu tersangka suap yang sedang ditangani KPK. Akibatnya, Dewan Pengawas KPK menjatuhkan sanksi berupa pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan terhadap Lili.
Tidak berhenti dalam kasus ini, pada Juni 2022 Lili dilaporkan lagi ke Dewan Pengawas KPK karena dugaan menerima gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Lili pun lantas memilih mengundurkan diri dari KPK. Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 71/P/2022 yang berisi pemberhentian Lili sebagai Wakil Ketua KPK, sejak 11 Juli 2022.
Menyusul Lili, keberadaan Firli juga kembali disorot publik setelah namanya menjadi tersangka kasus pemerasan atas dugaan tindak pidana korupsi. Kasusnya berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji oleh pegawai negeri terkait penanganan masalah hukum di Kementerian Pertanian (Kementan) pada 2020-2023 saat dipimpin Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Pada 28 Desember 2023, Presiden Jokowi memberhentikan Firli Bahuri dari jabatan ketua dan anggota KPK periode 2019-2024. Putusan Dewan Pengawas KPK yang menilai Firli telah melakukan pelanggaran etik berat menjadi salah satu pertimbangan.
Baca juga: KPK yang Terus Melapuk
Sikap publik
Menurunnya citra baik KPK yang tergambar dari survei tatap muka juga dikuatkan dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas melalui telepon yang digelar awal Desember 2023. Hiruk-pikuk KPK sepanjang periode Firli memimpin dalam empat tahun terakhir turut memengaruhi terkoyaknya kepercayaan publik.
Sebanyak 60,2 persen responden dalam jajak pendapat itu menyatakan kurang percaya lagi kepada lembaga pemberantas korupsi ini. Bahkan, separuh lebih responden menilai kemandirian KPK juga tidak lagi diyakini mampu membawa lembaga ini bekerja secara profesional dan berintegritas karena bisa saja diintervensi pemerintah.
Sikap publik ini tentu menjadi lampu kuning bagi KPK sebab selama ini lembaga ini sejak berdiri begitu dekat dengan aspirasi publik. Upaya-upaya pelemahan KPK yang datang dari luar, seperti kasus Cicak Vs Buaya, termasuk upaya kriminalisasi terhadap komisioner KPK pada periode-periode selanjutnya, sedikit banyak mendapatkan dukungan dari publik.
Namun, seiring pelemahan KPK yang justru terjadi dari dalam lembaga, seperti perilaku komisioner yang kerap kontroversial sehingga terkena sanksi dari Dewan Pengawas KPK, sedikit banyak makin membuat publik tak lagi membela KPK.
Hal ini pula yang disadari Ketua KPK sementara Nawawi Pomolango setelah mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Senin (27/11/2023). Nawawi ditetapkan Presiden Jokowi sebagai pengganti sementara Firli yang tersandung kasus dugaan pemerasan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Nawawi mengatakan, tugas berat saat ini adalah memulihkan kepercayaan publik kepada KPK. ”Terpenting, ya, itu tadi, bagaimana sedikit, dalam tanda kutip, sedikit saja memulihkan tergerusnya rasa kepercayaan masyarakat ini kepada lembaga KPK,” tutur Nawawi (Kompas, 28/12/2023).
Bagaimana cara menaikkan kembali kepercayaan publik? Hasil jajak pendapat menyatakan bahwa merevisi kembali UU KPK menjadi salah satu peta jalan untuk menguatkan kembali kelembagaan KPK.
Mayoritas responden (89,3 persen) menyetujui langkah revisi undang-undang yang bertujuan memperkuat lembaga ini dalam pemberantasan korupsi. Bagaimanapun secara rekam jejak, penurunan citra KPK dimulai sejak lembaga ini cenderung melemah pascarevisi Undang-Undang KPK tersebut.
Upaya KPK yang akan mengundang tiga calon presiden peserta Pilpres 2024 untuk memaparkan visi-misinya dalam pemberantasan korupsi bisa menjadi pintu awal guna membangkitkan kembali harapan publik.
Bagaimanapun penting untuk mengetahui bagaimana masa depan KPK pascapemilu. Apakah KPK tetap seperti sekarang menjauh dan tidak lagi bersama aspirasi publik atau kembali seperti dulu, di awal pendiriannya, yang menyatu dengan hati publik. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kegaduhan Pemberantasan Korupsi