Kegaduhan Pemberantasan Korupsi
Sebelumnya agenda pemberantasan korupsi mendapatkan perlawanan dari luar. Kini sepanjang kurang lebih empat tahun terakhir, kegaduhan dari dalam KPK justru membayangi masa depan pemberantasan korupsi.
Setidaknya pekan ini Ketua Komisi Pemberantasan Korups Firli Bahuri kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK terkait dugaan pelanggaran etik. Kasus terakhir yang menyeret nama Firli ini terkait dugaan keterlibatannya dalam kebocoran dokumen hasil penyelidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Firli dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas), Senin (10/4/2023), oleh gabungan masyarakat sipil yang terdiri dari pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Public Virtue Research Institute.
Hadir juga sejumlah pimpinan KPK, seperti mantan Ketua KPK Abraham Samad, mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, dan Bambang Widjojanto. Selain itu, ada nama mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua dan Budi Santoso.
Menurut laporan mereka, Firli terlibat lima dugaan pelanggaran etik. Salah satunya yang kini jadi sorotan publik adalah kebocoran dokumen hasil penyelidikan perkara dugaan korupsi tunjangan kinerja tahun anggaran 2020-2022 di Kementerian ESDM. Sebelumnya, Firli dilaporkan ke Dewas terkait kasus pengembalian mantan Direktur Penyelidikan KPK Brigadir Jenderal (Pol) Endar Priantoro ke Polri.
Kasus bocornya dokumen ini dimulai dari hebohnya media sosial dengan peredaran rekaman video percakapan yang diduga oleh salah satu pejabat di Kementerian ESDM bersama penyidik KPK saat penggeledahan.
Rekaman video ini terkait pernyataan mengenai bocornya surat rahasia dokumen penyelidikan kasus korupsi milik KPK. Hal yang membuat heboh, menurut pengakuan pejabat kementerian tersebut, dokumen diperoleh dari pimpinan kementerian yang menurut informasi berasal dari Ketua KPK Firli Bahuri.
Merunut rekam jejak Firli sejak menjabat Ketua KPK pada 2019, namanya tak pernah lepas dari polemik dan kontroversi. Saat awal menjabat, Firli disorot karena melanggar etik. Salah satunya terkait penggunaan helikopter untuk perjalanan pribadi.
Dalam kasus ini, Dewas menjatuhkan sanksi teguran tertulis II kepada Firli pada September 2020. Firli juga dijatuhi sanksi enam bulan tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, dan tugas belajar atau pelatihan.
Bahkan, jauh sebelum menjadi Ketua KPK, Firli juga mendapat sanksi ketika menjabat Deputi Penindakan KPK. Firli terbukti melakukan pelanggaran etik karena kerap bertemu dengan pihak yang beperkara secara tertutup. Salah satunya adalah pertemuan Firli dengan M Zainul Majdi yang kala itu menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat.
Pertemuan itu dinilai melanggar etika karena di saat yang sama KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi divestasi PT Newmont Nusa Tenggara kepada PT Amman Mineral Internasional di wilayah NTB. Dalam catatan Kompas, putusan pelanggaran etik berat itu tidak dilaksanakan karena Firli lebih dulu ditarik kembali ke Polri pada 19 Juni 2019. Kemudian dia kembali mengikuti seleksi komisioner KPK dan terpilih sebagai Ketua KPK.
Baca juga : Mulai Redupnya Pamor ”Anak-anak” Reformasi
Kegaduhan
Kegaduhan di KPK yang terjadi di periode Firli ini bukan yang pertama. Awal kegaduhan terjadi saat KPK tengah melakukan tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK yang berdasarkan revisi UU KPK statusnya beralih menjadi aparatur sipil negara pada Januari 2021.
Polemik TWK ini menguat ketika proses asesmen itu menghasilkan pegawai-pegawai KPK yang gagal lolos, yang sebagian besar sosok-sosok yang selama ini getol dalam pemberantasan korupsi. Ada 75 pegawai gagal dalam tes tersebut. Hasil ini melahirkan kontroversi dan kegaduhan.
Mereka yang tidak lolos, antara lain, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono dan penyidik KPK Novel Baswedan. Sebagian dari mereka, yang gagal tes, menyebut asesmen tak lepas dari dampak pelemahan lembaga KPK melalui revisi undang-undang KPK.
Pelemahan ini juga bukan yang pertama, melainkan bagian dari rentetan aksi-aksi pelemahan terhadap KPK. Sebelumnya, upaya pelemahan sudah terjadi, mulai dari intimidasi terhadap penyidik KPK, termasuk di antaranya peristiwa penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan yang membuat matanya rusak.
Dalam sebuah webinar, Giri Suprapdiono menyebutkan ada upaya delegitimasi terhadap penyidik dan pegawai KPK dengan isu radikalisme. Tak kalah kontroversial lagi adalah adanya pengangkatan perwira aktif polisi menjadi pimpinan dan pejabat di KPK.
Seusai tes wawasan kebangsaan (TWK), kegaduhan justru disumbang perilaku para komisionernya. Selain Firli yang mendapatkan sanksi dari Dewas, salah satu Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar juga memicu kegaduhan. Bahkan, ia dua kali terjerat kasus yang mengakibatkannya harus mengundurkan diri dari KPK.
Kasus pertama yang menjerat Lili adalah pada Agustus 2021 dimana ia membuka komunikasi dengan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai, Sumatera Utama, M Syahrial dalam urusan penyelesaian masalah kepegawaian adik iparnya, Ruri Prihatini Lubis, di PDAM Tirta Kualo Tanjungbalai.
Padahal, saat itu Syahrial sedang terjerat kasus dugaan suap dari dirinya kepada mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju dalam kasus jual-beli jabatan di Tanjungbalai. Akibat berkomunikasi secara aktif dengan Syahrial, Dewas KPK menjatuhkan sanksi berupa pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan terhadap Lili.
Setelah mendapat sanksi tersebut, belum genap satu tahun kemudian Lili kembali menjadi sorotan publik. Pada Juni 2022 Lili dilaporkan ke Dewas KPK karena dugaan menerima gratifikasi dari sebuah perusahaan milik negara. Gratifikasi tersebut berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Kegaduhan pun kembali muncul atas kasus ini.
Dewas KPK pun memanggil Lili untuk dimintai keterangan dan dilakukan persidangan etik terhadap dirinya. Namun, Lili tidak memilih menghadiri panggilan Dewa tersebut karena ia memilih mengundurkan diri dari KPK.
Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 71/P/2022 yang berisi pemberhentian Lili sebagai Wakil Ketua KPK terhitung sejak 11 Juli 2022. Dewan sendiri menyatakan, Lili tidak bisa dimintai keterangan karena statusnya bukan lagi komisioner KPK.
Baca juga : TWK dan Agenda Pemberantasan Korupsi
Pamor turun
Kegaduhan demi kegaduhan yang melanda KPK ini pada akhirnya juga semakin menyulitkan lembaga antirasuah ini untuk kembali bangkit di tengah pamornya yang makin menurun. Hasil survei Litbang Kompas mencatatkan, di awal lembaga ini didirikan, KPK bagai menjawab kerinduan publik akan ketegasan dan keberanian dalam menumpas koruptor. KPK pun relatif sukses mendapat simpati publik.
Sayangnya, dalam perjalanannya, sejumlah upaya pelemahan KPK terus terjadi, terutama dari luar lembaga. Sebut saja kasus cicak buaya tahun 2009, kasus korupsi simulator SIM tahun 2012, penetapan tersangka calon Kepala Polri Budi Gunawan pada 2015, dan revisi UU KPK yang disahkan pada September 2019 lalu.
Semestinya di tengah pamornya yang mulai meredup, KPK tidak malah terjebak pada kegaduhan-kegaduhan yang justru dipicu oleh perilaku orangorang dalam sendiri.
Apalagi sosok Ketua KPK Firli Bahuri justru kerap menjadi sorotan publik dengan sejumlah kasus di atas. Hasil survei Kompas yang merekam turunnya pamor KPK ini semestinya menjadi alarm bagi lembaga ini.
Data survei Kompas mencatat, sepanjang delapan tahun terakhir, citra KPK paling rendah tercatat pada periode Oktober 2022 yang mencapai 55,9 persen. Di periode tersebut KPK memang disorot dengan kegaduhan akibat polemik peralihan pegawai KPK dan munculnya kasus-kasus pelanggaran etika yang menjerat komisioner KPK.
Di titik ini KPK bisa berpotensi kehilangan simpati publik. Sudah saatnya kegaduhan ini diakhiri. Jangan sampai agenda pemberantasan korupsi justru lebih banyak kegaduhan yang tidak berarti. Lebih baik sepi dan sunyi, tetapi agenda perlawanan korupsi tetap kokoh berjalan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Malaadministrasi dalam Tes Wawasan Kebangsaan