Efek Jera Minim, Korupsi Politik Marak
Korupsi semakin marak karena tidak ada efek jera yang optimal untuk menghentikannya. Rekam jejak korupsi bisa menjadi pintu untuk membatasi peluang mereka kembali menjabat jabatan publik.
Praktik korupsi yang kerap menjerat elite politik disinyalir akibat tiadanya efek jera yang membuat orang tidak lagi bersentuhan dengan praktik pencurian uang rakyat tersebut. Menjadikan korupsi sebagai ukuran layak tidaknya elite partai menjadi kontestan di pemilu bisa menjadi alternatif efek jera.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat akhir Kompas pada Mei lalu. Kerapnya korupsi menjerat elite politik ditangkap oleh publik karena tidak adanya efek jera sehingga kasus korupsi mudah terulang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Selain tidak adanya efek jera, sebagian responden jajak pendapat juga menyebutkan, godaan memperkaya diri dan memenuhi biaya politik yang mahal kerap menjadikan para elite ”terdesak” untuk melakukan korupsi.
Jika melihat tren kasus korupsi yang ditangani, ada kecenderungan jumlah kasus yang dilakukan penindakan meningkat dari tahun ke tahun.
Data yang dirilis Indonesia Corruption Watch dalam Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Korupsi Tahun 2022 menyebutkan, ada peningkatan penindakan kasus korupsi sepanjang lima tahun terakhir ini.
Di tahun 2022. jumlah penindakan korupsi mencapai 579 kasus dengan menjerat 1.396 tersangka. Jumlah ini meningkat dari tahun 2001 yang tercatat 533 kasus korupsi yang ditindak dengan melibatkan 1.173 tersangka.
Makin meningkatnya kasus korupsi di tengah pemberitaan media terhadap kasus korupsi yang makin gencar juga membuat miris. Sebab, pelaku tindak pidana korupsi sudah tidak asing lagi bagi memori publik.
Tentu kita ingat bagaimana pelaku korupsi ketika digelandang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, masih menebar senyum di hadapan publik tanpa rasa penyesalan dan bersalah.
Tentu publik masih ingat dengan kasus ditahannya 22 anggota DPRD Kota Malang karena terkait kasus penerimaan suap pembahasan APBD-P Pemerintah Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Setelah diperiksa KPK, wajah mereka senyum bahagia dan menyebar di media sosial sehingga membuat miris publik.
Tidak heran jika kemudian indeks persepsi kita terhadap korupsi cenderung menurun. Poin Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 anjlok dari 38 menjadi 34 poin dan menduduki peringkat ke-110 dari 180 negara. Skor ini memburuk empat poin dari tahun 2021 yang berada pada skor 38. Penurunan ini terhitung paling drastis sejak 1995.
IPK merupakan indikator komposit untuk mengukur persepsi korupsi sektor publik pada skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih) di 180 negara dan wilayah. Indeks ini berdasarkan kombinasi dari 13 survei global serta penilaian korupsi menurut persepsi pelaku usaha dan penilaian ahli sedunia sejak tahun 1995.
Mengutip keterangan Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko, Indonesia hanya mampu menaikkan skor 2 poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak tahun 2012.
Menurut dia, situasi ini memperlihatkan respons terhadap praktik korupsi masih cenderung berjalan lambat, bahkan terus memburuk akibat minimnya dukungan nyata dari para pemangku kepentingan (Kompas.id, 31/1/2023)
Baca juga: Korupsi Politik Masih Marak Terjadi
Korupsi politik
Berdasarkan data IPK, penurunan tertajam poin Indonesia terjadi pada korupsi sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku suap, serta suap untuk izin ekspor-impor.
Dari sumber data yang dikumpulkan, korupsi politik masih marak ditemukan, seperti suap, gratifikasi, hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik, dan pelaku usaha masih lazim terjadi.
Terakhir kasus korupsi yang mengagetkan publik adalah terjeratnya Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate yang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan atas dugaan korupsi pembangunan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1-5 Bakti Kemenkominfo.
Johnny sendiri adalah Sekretaris Jenderal Partai Nasdem dan namanya masuk dalam bagian dari bakal calon anggota DPR dari Partai Nasdem untuk Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Timur I.
Menurut keterangan Ketua KPU Hasyim Asy’ari, status tersangka pada Johnny tidak berdampak pada pencalonannya sebagai caleg Nasdem Dapil NTT I. Syarat pencalonan baru akan terdampak ketika caleg sudah dijatuhi vonis pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Menteri terjerat korupsi bukanlah yang pertama di era Joko Widodo. Sebelumnya, sejumlah menteri juga tersandung masalah yang sama. Sebut saja Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Politikus PDI Perjuangan ini pada 6 Desember 2020 ditetapkan sebagai tersangka terkait korupsi bansos di Kementerian Sosial dalam penanganan pandemi Covid-19.
Kasus ini mendapatkan atensi luas publik, termasuk warganet, sehingga memunculkan wacana hukuman mati karena korupsi terjadi di tengah masyarakat tengah menghadapi pandemi yang membuat ribuan orang kehilangan nyawa.
Munculnya harapan hukuman mati karena dana yang dikorupsi diperuntukkan untuk penanganan pandemi. Sayangnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya mengganjar Juliari dengan vonis 12 tahun penjara.
Selain Juliari, Menteri Sosial yang bermasalah di era Jokowi yang juga terjerat kasus korupsi adalah Idrus Marham. Politikus Partai Golkar ini menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap PLTU Riau 1 pada akhir Agustus 2018. Idrus divonis 2 tahun penjara berdasarkan kasasi Mahkamah Agung.
Kemudian sebut juga Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi yang juga politisi Partai Kebangkitan Bangsa. Imam dijerat kasus suap dana hibah KONI oleh KPK.
Terakhir putusan kasasi MA menolak kasasi yang diajukan Imam sehingga ia harus menjalani hukuman 7 tahun penjara. Kasus korupsi serupa juga menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang juga politisi Partai Gerindra. Edhy terjerat kasus suap izin ekspor benih lobster. Vonis terakhir Edhy adalah penjara 5 tahun dari putusan kasasi MA pada 7 Maret 2022.
Baca juga: Kasus Korupsi Rawan Terjadi dalam Politik Dinasti
Efek jera
Tentu, jika berpijak maraknya kasus korupsi, terutama korupsi politik yang melibatkan elite politik, tak lepas dari gagalnya sistem kita melahirkan efek jera.
Jajak pendapat menangkap sikap publik yang juga melihat korupsi yang melibatkan elite politik tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik dari partai meskipun secara kelembagaan partai menyebutkan bahwa itu murni tindakan personal.
Ada pesan menarik terkait efek jera ini. Setidaknya jika sistem politik belum mampu melahirkan efek jera, seperti ketentuan syarat calon legislatif yang masih bisa maju meskipun menjadi tersangka korupsi selama belum ada keputusan hukum berkekuatan tetap, boleh jadi efek jera itu datang langsung dari publik.
Salah satunya bisa melalui penolakan atau gerakan tidak memilih calon legislatif pelaku korupsi. Setidaknya hal ini terbaca dari hasil jajak pendapat.
Hampir separuh responden dalam jajak pendapat (47,6 persen) mengaku tidak akan memilih partai politik yang kadernya terjerat korupsi. Namun, sikap ini juga dibayangi oleh lebih dari sepertiga bagian responden yang menyatakan sebaliknya.
Tentu bagi publik tidak cukup jika efek jera itu lebih mengandalkan pada sikap publik, dalam hal ini diwakili oleh pemilih, untuk tidak memilih caleg atau partai yang pernah terjerat korupsi. Mau tidak mau harus bertumpu pada sistem atau aturan yang bisa menjerat seseorang tidak bisa lagi berlaga dalam kontestasi politik.
Sebagian besar responden (84,7 persen) mengapresiasi jika ada ketentuan pencabutan hak politik bagi pejabat publik yang terjerat kasus korupsi.
Namun, sayangnya dalam praktik di lapangan, vonis pencabutan hak politik ini dibatasi durasi waktu. Pencabutan hak politik selamanya bisa jadi solusi efek jera agar elite politik lebih takut untuk melakukan korupsi.
Selain itu, juga perlu upaya efek jera bagi partai politik. Jajak pendapat menangkap keinginan responden terkait larangan partai politik menjadi peserta pemilu jika ada kader dari partai politik tersebut yang terjerat kasus korupsi. Hal ini agar menjadi efek jera juga bagi partai politik agar lebih mewaspadai perilaku elite-elite partainya.
Pada akhirnya, seketat apa pun aturan yang berlaku, semua berpulang pada penindakan. Sebaliknya, selentur apa pun aturan yang membuat ruang tindakan korupsi mudah dilakukan, semua bergantung pada kesadaran moralitas individu, apakah mereka menyadari itu baik atau buruk jika melakukan korupsi.
Apa pun pilihannya, hari ini bangsa ini masih dihadapkan oleh pekerjaan rumah bahwa ketika efek jera minim, kasus korupsi politik akan makin marak. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Korupsi Politik