Integritas KPK tercederai. Diperlukan keberanian politik Presiden Jokowi guna mengembalikan marwah KPK sebagaimana saat lembaga itu didirikan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dampak revisi Undang-Undang KPK yang menempatkan lembaga antirasuah di rumpun eksekutif mulai tampak. Integritas merosot dan institusi melapuk.
Gejala ini sungguh memprihatinkan, terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Terjadinya pungutan liar di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah contoh kecil dan telanjang bahwa integritas dan kejujuran yang selama ini diagungkan KPK merosot demikian dalam.
KPK lahir dalam latar belakang penegak hukum yang korup, sampai muncul analogi ”untuk membersihkan lantai kotor harus dengan sapu yang bersih”. KPK dianggap sebagai sapu yang bersih. Itu cita-citanya. Dulu.
Kini, integritas KPK tercederai. Dibutuhkan keberanian politik Presiden Jokowi untuk mengembalikan marwah KPK sebagaimana saat lembaga itu didirikan. KPK lahir melalui perjuangan masyarakat sipil. Ketika KPK diserang kekuatan politik, masyarakat sipil datang membela.
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 telah memicu sejumlah peristiwa yang bisa mengarah pada pelapukan kelembagaan. Mulai dari pemecatan karyawan KPK dengan alasan tak lolos tes wawasan kebangsaan. Eks karyawan KPK itu ”diselamatkan” Presiden Jokowi dengan menjadi aparatur sipil negara di Mabes Polri.
Muncul laku tercela, penyidik dan penyelidik KPK ”memperdagangkan” pasal dengan bekerja sama dengan pihak lain. Ada juga laku tercela komisioner KPK yang beberapa kali ditegur Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Ada komisioner KPK mengundurkan diri, tetapi ada juga yang selamat di Dewas. Dalam kasus terakhir, dugaan pembocoran informasi penyelidikan, Ketua KPK Firli Bahuri selamat di Dewas, tetapi kini ditangani Polda Metro Jaya. Kepala Polda Metro Jaya adalah mantan pejabat di KPK yang dikembalikan ke Mabes Polri.
Di tengah berbagai prahara di KPK, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun kian menunjukkan absurditasnya. Untuk apa diperpanjang? Meskipun pemerintah menghormati putusan MK, Presiden Jokowi belum menerbitkan keputusan presiden tentang pimpinan KPK. Langkah Presiden Jokowi itu dinilai tepat.
Berbagai peristiwa yang terjadi di KPK seharusnya membuat elite politik introspeksi diri. Langkah politik merevisi UU KPK, memasukkan KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif, dan menjadikan pegawai KPK sebagai ASN patut ditinjau kembali. Kecuali, jika kehendak elite politik adalah membonsai KPK menjadi sekadar ornamen dalam pemberantasan korupsi, yakni ornamen demokrasi.
Bangsa ini membutuhkan keberanian elite politik melawan virus korupsi yang masih jadi endemi bangsa. Pada sisi lain, lembaga antirasuah melapuk, RUU Perampasan Aset dibiarkan mangkrak di DPR, vonis untuk koruptor diberi diskon besar-besaran. Butuh keberanian membikin omnibus law RUU Pemberantasan Korupsi yang intinya mengerahkan sumber daya penegak hukum memberantas korupsi di negeri ini. Jika itu bisa diwujudkan, itulah legacy Presiden Jokowi.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO