Keserentakan Pilkada Diikuti Keserentakan Pelantikan
Pilkada serentak 2024 semestinya juga diikuti dengan keserentakan pelantikan kepala daerah terpilih. Memajukan jadwal pemungutan suara pilkada menjadi alternatif pilihan untuk keserentakan pelantikan.

Wacana memajukan jadwal pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak dari November 2024 menjadi September 2024 diharapkan dapat menjamin keserentakan pelantikan dari kepala daerah terpilih.
Keserentakan pelantikan diharapkan dapat menjamin kesinambungan program-program pembangunan antara pemerintahan di tingkat pusat dan daerah pasca agenda kontestasi politik nasional.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang digelar di pekan ketiga September lalu. Mayoritas responden (81,9 persen) mengamini jika pemungutan suara di pilkada serentak juga harus diikuti dengan pelantikan kepala daerah secara serentak pula.
Jaminan atas keberadaan pemerintahan di daerah setelah dipimpin penjabat kepala daerah menjadi penting untuk mendukung program-program pemerintah yang nantinya terbentuk dari hasil pemilu.
Tidak heran jika kemudian sikap publik dari hasil jajak pendapat ini juga diikuti dengan kecenderungan mendukung adanya wacana untuk memajukan pelaksanaan pemungutan suara pilkada serentak, yang semula dijadwalkan pada November 2024 menjadi maju pada September 2024. Sebagian besar dari responden jajak pendapat (82,8 persen) juga menyetujui jika jadwal pemungutan suara tersebut jadi dimajukan.
Usulan memajukan jadwal pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak ini muncul dari pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri. Salah satu pertimbangan yang mendasari wacana ini adalah menyerentakkan sirkulasi elite nasional dan daerah sehingga rencana pembangunan nasional dan daerah bisa sinkron.

Menurut pertimbangan pemerintah, jika Pilkada 2024 tetap dilaksanakan pada November, besar kemungkinan ada potensi per 1 Januari 2025, sebagian besar daerah masih akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah.
Salah satu upaya jika wacana ini disetujui adalah melalui diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Perppu Pilkada ini direncakanan akan diterbitkan dalam waktu dekat untuk merevisi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Salah satu poin yang tercantum dalam pasal di pilkada adalah terkait pelaksanaan pilkada yang disebutkan pada November 2024.
Jika mengacu UU Pilkada keserentakan yang dimaksud baru mengacu pada keserentakan pemungutan suara, belum pada keserentakan terkait pelantikan kepala daerah terpilih.
Wacana memajukan jadwal pilkada dengan tetap menyerentakkan pemungutan suara, tetapi sekaligus menjamin pelantikannya juga serentak, pada akhirnya bisa menjamin keserentakan sirkulasi dan rekrutmen politik antara pimpinan pemerintahan di tingkat nasional dan pimpinan di tingkat daerah.
Atas usulan itu, dalam rapat kerja antara pemerintah, penyelenggara pemilu, dan Komisi II DPR, Komisi II DPR akhirnya dapat memahami pandangan pemerintah yang diklaim selaras dengan masukan asosiasi pemerintah dan asosiasi DPRD.
Hasil rapat ini kemudian akan ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menyiapkan penerbitan Perppu Pilkada dalam waktu dekat untuk merevisi pasal di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yaitu Pasal 201, Pasal 67, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 154, dan Pasal 199 A (Kompas.id, 21/9/2023)
Baca juga: Bawaslu Beberkan Sejumlah Kerepotan bila Pilkada Dipercepat
Pro-kontra
Meskipun demikian, wacana memajukan jadwal pilkada juga melahirkan pro dan kontra. Bagi kelompok yang pro, memajukan jadwal pemungutan suara untuk menjamin keserentakan pelantikan pada akhirnya juga positif untuk menjamin keberlangsungan program-program pembangunan yang sinergis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Sementara bagi kelompok yang kontra, muncul isu politis dan isu teknis penyelenggaraan. Di isu politis, tidak bisa dihindari anggapan memajukan jadwal pilkada dari November 2024 menjadi September 2024 akan melahirkan penilaian lebih menguntungkan kepentingan politik Presiden Jokowi.
Di sinilah sisi politis itu muncul. Jika digeser lebih maju menjadi September 2024, ada anggapan politik akan menguntungkan Presiden Jokowi dari sisi kepentingan politiknya.
Hal ini terutama menyangkut kepentingan politik keluarganya di mana anggota keluarganya, yakni Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka dan Wali Kota Medan Bobby Nasution yang berpeluang berlaga kembali di pilkada, tentu memunculkan anggapan di mata publik lebih menguntungkan ketika pilkada digelar ketika Jokowi masih berstatus sebagai presiden.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F31%2Feb3d6edd-ac10-4e82-b7a9-93c99833d214_jpg.jpg)
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan keterangan kepada wartawan di depan Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (31/8/2023). Tito menyerahkan masalah jadwal Pilkada 2024 kepada DPR.
Soal isu politis ini, Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat berharap, rencana memajukan pilkada tidak serta-merta ditarik untuk kepentingan-kepentingan pribadi, termasuk isu mengenai keinginan Presiden Joko Widodo mengamankan anak dan menantunya, Gibran dan Bobby, pada pilkada mendatang (Kompas, 22/9/2023).
Sementara jika tetap digelar November, pilkada dilakukan di era rezim baru hasil Pemilu 2024. Pilkada 2024 akan menjadi agenda pertama dari pemerintahan presiden terpilih.
Jika ini berlaku, bisa dibayangkan beban presiden terpilih makin berat karena di saat yang sama ia tengah membangun konsolidasi politik pascapemilu, termasuk dalam pembentukan pemerintahan, memilih nama-nama menteri yang nanti masuk dalam kabinet. Beban politik makin dihadapi presiden dan wakil presiden terpilih karena harus memperhatikan kepentingan koalisi partai politik pengusung.
Baca juga: Perppu Segera Diterbitkan, Pilkada 2024 Maju ke September dari Sebelumnya November 2024
Beban penyelenggara pemilu
Selain isu politis yang mengiringi sikap mereka yang kontra terhadap rencana memajukan jadwal pilkada, muncul juga pertimbangan teknis penyelenggaraan. Pilkada yang dimajukan akan menambah beban bagi penyelenggara pemilu.
Salah satunya disampaikan oleh pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini. Mengutip kembali pemberitaan Kompas, Titi menilai jika pilkada serentak dimajukan, dampak yang paling akan dirasakan adalah beban kerja yang lebih besar bagi penyelenggara pemilu.
Bisa dibayangkan dengan tahapan yang sebagian beririsan antara tahapan pemilu dan pilkada, penyelenggara pemilu harus menggelar pilkada serentak di 37 provinsi untuk pemilihan gubernur-wakil gubernur dimana di dalamnya terdapat 508 kabupaten/kota yang akan ikut serta dalam penyelenggaraannya. Hal ini belum lagi dengan pemilihan wali kota/wakil wali kota dan bupati/wakil bupati di 508 kabupaten/kota tersebut.
Meskipun demikian, tanpa mengurangi potensi beban berat yang akan dipinggul oleh penyelenggara pemilu, sebagian besar responden dalam jajak pendapat meyakini Komisi Pemilihan Umum, sebagai penyelenggara pemilu yang bertanggung jawab melaksanakan tahapan pemilu, diyakini mampu mengemban beban jika pilkada tersebut dimajukan. Hal ini disampaikan oleh 80 persen responden jajak pendapat kali ini.

Menariknya, sikap meyakini penyelenggara pemilu mampu melaksanakan tahapan pemilu dan tahapan pilkada secara bersamaan dengan jadwal pilkada yang dimajukan dari November 2024 menjadi September 2024, tidak hanya disampaikan oleh mereka yang setuju dengan wacana memajukan jadwal, tetapi juga disampaikan oleh mereka yang tidak setuju pilkada dimajukan.
Dari kelompok responden yang setuju pilkada dimajukan, sebanyak 81,6 persen yakin KPU mampu melaksanakan agenda tersebut. Hal yang sama juga dari kelompok responden yang tidak setuju pilkada dimajukan, sebagian besar (71,4 persen) meyakini KPU mampu melaksanakannya.
Hal ini menjadi gambaran konsistensi publik yang memberikan dukungan penuh bagi penyelenggara pemilu dalam menjalankan agenda dan tahapan pemilihan umum dan pilkada serentak 2024. Sebelumnya, modal sosial yang diberikan publik sebagai bentuk kepercayaan ini juga tertangkap dari hasil survei tatap muka nasional Litbang Kompas.
Pada akhirnya, harapan publik agar keserentakan pemungutan suara pilkada juga diikuti dengan keserentakan pelantikan kepala daerah hasil pilkada akan ditumpukan pada kualitas kerja-kerja penyelenggara pemilu yang mendapatkan kepercayaan penuh dari publik. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pilkada Dimajukan, Beban Kerja Penyelenggara Pemilu Diprediksi Bakal Lebih Besar