Bawaslu Beberkan Sejumlah Kerepotan bila Pilkada Dipercepat
Bawaslu mengingatkan, perubahan jadwal pelaksanaan pilkada akan merepotkan penyelenggara pemilu. Sebab, sejumlah tahapan pilkada dipastikan akan beririsan tahapan pemilu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, IQBAL BASYARI
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat tiba untuk rapat kerja bersama Komisi II DPR di Ruang Rapat Komisi II DPR RI, Jakarta, Senin (21/8/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu membeberkan sejumlah hal yang patut diperhatikan jika pemerintah berkukuh mempercepat jadwal Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024. Tak hanya masalah keamanan, kesiapan penyelenggaraan pemilu dan anggaran hibah untuk penyelenggaran pilkada juga harus dipersiapkan oleh pemerintah daerah. Percepatan pilkada juga akan membuat sejumlah tahapan bersinggungan dengan tahapan Pemilu 2024 sehingga jika tak dipersiapkan dengan baik, kualitas pemilu akan menjadi taruhannya.
Rencana untuk memajukan pelaksanaan pilkada dari November 2024 menjadi September 2024 disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu di Gedung Nusantara, Jakarta, Rabu (20/9/2023) malam. Salah satu urgensi memajukan Pilkada 2024 ialah menyerentakkan sirkulasi elite nasional dan daerah sehingga rencana pembangunan nasional dan daerah bisa sinkron.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja saat wawancara khusus dengan Kompas, di Kantor Bawaslu, Jakarta, Jumat (22/9/2023), mengatakan, perubahan jadwal pelaksanaan pilkada akan merepotkan penyelenggara pemilu. Sebab, sejumlah tahapan pilkada dipastikan akan beririsan tahapan pemilu, apalagi jika pemilihan presiden (pilpres) berlangsung dua putaran.
”Kalau usulan pilkada dipercepat, ya, itu (kami kerja) lebih maraton lagi, apalagi kalau, misalnya, ada pilpres dua putaran. Lebih repot, ya pasti lebih repot kalau dipercepat,” ujar Bagja.
Wawancara lengkap dengan Rahmat Bagja akan dimuat di Kompas.id, Sabtu (23/9/2023), dan harian Kompas (24/9/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja.
Ia mencontohkan, jika pilpres putaran kedua berlangsung pada akhir Juni 2024, maka pada Juli 2024 akan memasuki tahap gugatan hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah itu, pada Agustus 2024, kampanye pilkada dimulai.
”Kami, kan, mengawasi kampanye pilkada juga. Kemudian, September pilkada seluruh Indonesia. Bukan gelombang-gelombang lagi lho, tetapi seluruh Indonesia,” tutur Bagja.
Dalam situasi tersebut, menurut Bagja, ada sejumlah pertanyaan yang patut dijawab oleh pemerintah. Pertama, sejauh mana simulasi keamanan di dua tahapan yang beririsan tersebut. Kedua, sejauh mana Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sudah diturunkan oleh pemerintah daerah ke penyelenggara pemilu. ”Perlu diingat, sembilan bulan sebelum penyelenggaraan, itu berarti bulan Desember, NPHD harus sudah siap semua, seluruh Indonesia,” ucapnya.
Kalau usulan pilkada dipercepat, ya, itu (kami kerja) lebih maraton lagi, apalagi kalau, misalnya, ada pilpres dua putaran. Lebih repot, ya pasti lebih repot kalau dipercepat.
Meski demikian, jika pemerintah sudah dapat memastikan semua kondisi tersebut, percepatan jadwal pilkada tidak menjadi persoalan. ”Tetapi, kalau, misalnya, tidak terpenuhi, itu pertanyaan. Karena yang akan dikorbankan berarti kualitas pilkadanya. Menurut saya, ke depan, ya, harus diselesaikan semuanya dengan waktu yang ada,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat bersama Komisi II DPR, Rabu lalu, menyampaikan, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran kepada para kepala daerah agar segera mengalokasikan anggaran untuk Pilkada 2024. Anggaran itu pun menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan harus dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mereka.
Penimbunan masalah
Dihubungi secara terpisah, Manajer Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Aji Pangestu sependapat dengan Bagja. Jika penyelenggaraan pilkada dimajukan, ada sejumlah hal krusial yang patut menjadi perhatian.
Pertama, dari sisi tahapan, jika pilkada tetap dilaksanakan di November 2024, maka awal tahapan pilkada harus sudah dijalankan sekitar Oktober atau November 2023 dengan tahapan perencanaan, salah satunya NPHD. Itu saja sudah berbenturan dengan tahapan pemilu, mulai dari penetapan daftar calon tetap anggota legislatif dan proses pencalonan presiden. Apalagi, belakangan ini, jelang kampanye, sudah banyak permasalahan yang dihadapi oleh para penyelenggara pemilu.
”Kalau, misal, pilkada dimajukan ke September 2024, harusnya perencanaan pelaksanaan pilkada sudah dimulai awal bulan kemarin. Jadi, ada tahapan yang terpotong sehingga harus maraton teman-teman pemda dan penyelenggara pemilu. Maraton ini artinya, apakah mereka sanggup untuk kejar maraton tahapan yang seharusnya sudah berjalan di awal bulan kemarin kalau, misal, pilkada dimajukan,” ujar Aji.
Kemudian, jika pilkada dimajukan, maka akan terjadi benturan tahapan pengadaan logistik sampai distribusi logistik. Artinya, penyelenggara harus memiliki skema yang matang dalam pengadaan logistik sampai distribusi logistik dengan waktu yang sangat pendek.
Selanjutnya, dari aspek keamanan, para aparat keamanan juga menjadi dobel pekerjaan karena harus mengawasi pelaksanaan pemilu dan juga pilkada. Aparat keamanan harus bisa memitigasi pembagian tugas keamanan ketika ada dobel pekerjaan ini.
”Kalau dari sekarang belum ada simulasi, bagaimana nanti pembagian tugas dalam proses pengamanan pelaksanaan Pemilu 2024 dan tahapan pilkada yang sedang berjalan. Itu agak sulit,” kata Aji.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari (dua dari kiri) didampingi komisioner KPU, Parsadaan Harahap (kiri), bersama Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja (dua dari kanan) didampingi komisioner Bawaslu Herwyn J Malonda mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/9/2023).
Masalah lain adalah penyiapan NPHD oleh pemda. Jik pilkada dimajukan, pekerjaan pemda akan menumpuk di awal. Mereka harus mengejar tenggat waktu untuk bisa menyiapkan alokasi anggaran yang sudah disepakati bersama penyelenggara pemilu di daerahnya.
”Jadi, secara keseluruhan, sebenarnya saya bisa melihat bahwa penyelenggara pemilu akan tidak siap ketika pelaksanaan pilkada dimajukan, melihat fenomena tahapan Pemilu 2024 yang menurut saya masih ada banyak permasalahan yang akan dihadapi. Mereka benar-benar akan kerja maraton,” ucap Aji.
Untuk itu, ia melihat, usulan dimajukan pelaksanaan pilkada ini malah menjadi kegaduhan baru, serta penimbunan permasalahan pada proses pelaksanaan tahapan penyelenggaraan pemilu dan pilkada. Jika semua itu tak dipersiapkan dengan baik, publik akan melihat usulan tersebut terkesan dipaksakan dan sarat dengan kepentingan politik.
”Publik akhirnya akan bertanya-tanya, pasti akan melihat sarat kepentingan politik, baik ngejar masih periodenya Pak Presiden Joko Widodo atau akan timbul ketidakpercayaan pada pemilu serta pilkada. Itu yang dikhawatirkan,” ucap Aji.