Pilkada Dimajukan, Beban Kerja Penyelenggara Pemilu Diprediksi Bakal Lebih Besar
Keputusan pemerintah memajukan waktu pilkada dari November menjadi September 2024 dinilai akan membawa dampak pada beban kerja yang lebih besar bagi penyelenggara pemilu. Untuk itu, persiapannya jangan tergesa-gesa.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
KOMPAS
Masa Jabatan Penjabat Gubernur Bisa Diperpanjang hingga Pilkada Serentak 2024
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah untuk memajukan waktu pelaksanaan pilkada dari November menjadi September 2024 dinilai akan membawa dampak pada beban kerja yang lebih besar bagi penyelenggara pemilu. Sementara itu, pemerintah berpandangan bahwa majunya pelaksanaan pilkada itu dilakukan dengan semangat penyerentakan.
Dalam rapat kerja antara pemerintah, penyelenggara pemilu, dan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (20/9/2023) malam, pemerintah memaparkan urgensi memajukan pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 dari semula pada November menjadi September 2024.
Salah satunya adalah untuk menyerentakkan sirkulasi elite nasional dan daerah sehingga rencana pembangunan nasional dan daerah bisa sinkron. Jika Pilkada 2024 tetap dilaksanakan pada November, kemungkinan besar pada 1 Januari 2025 sebagian besar daerah masih akan diisi penjabat kepala daerah.
Atas usulan itu, meskipun sempat diwarnai penolakan dan pertanyaan dari beberapa fraksi, kesimpulan rapat yang berakhir pada dini hari itu memutuskan Komisi II DPR dapat memahami pandangan pemerintah yang diklaim selaras dengan masukan asosiasi pemerintah dan asosiasi DPRD.
Salah satunya adalah untuk menyerentakkan sirkulasi elite nasional dan daerah sehingga rencana pembangunan nasional dan daerah bisa sinkron. Jika Pilkada 2024 tetap dilaksanakan pada November, kemungkinan besar pada 1 Januari 2025 sebagian besar daerah masih akan diisi oleh penjabat kepala daerah.
KOMPAS/NINA SUSILO
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan keterangan kepada wartawan di depan Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (31/8/2023). Tito menyerahkan masalah jadwal Pilkada 2024 kepada DPR.
Usai rapat, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, pemerintah segera menindaklanjuti keputusan itu dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pilkada. Perppu Pilkada akan diterbitkan dalam waktu dekat untuk merevisi pasal di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yaitu Pasal 201, Pasal 67, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 154, dan Pasal 199 A.
”Kita harapkan sebelum masa sidang 2023 selesai itu sudah kami ajukan kepada DPR. Dalam perjalanan, kami akan selalu berkomunikasi dan berkonsultasi dengan KPU, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Komisi II,” kata Tito.
Beban penyelenggara pemilu
Pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, jika pilkada serentak dimajukan, dampak yang paling akan dirasakan adalah beban kerja yang lebih besar bagi penyelenggara pemilu. Pilkada Serentak 2024 akan dilaksanakan di 37 wilayah pemilihan gubernur dan 508 kabupaten/kota yang akan ikut serta dalam penyelenggaraannya. Dengan kondisi pesta demokrasi lokal sebesar itu, seharusnya segala sesuatunya tidak dipersiapkan tergesa-gesa.
”Akan ada tumpukan beban antara sisa tahapan pemilu dan persiapan tahapan pilkada. Misalnya saja, pencalonan perseorangan pilkada yang harus dilakukan beberapa bulan prosesnya sebelum hari pemungutan suara,” kata Titi.
Akan ada tumpukan beban antara sisa tahapan pemilu dan persiapan tahapan pilkada. Misalnya saja, pencalonan perseorangan pilkada yang harus dilakukan beberapa bulan prosesnya sebelum hari pemungutan suara.
Ia juga menyoroti pilihan memperpendek masa kampanye serta proses penyelesaian sengketa proses dan sengketa hasil berpotensi mengancam keadilan pemilu yang mestinya dilakukan secara baik dalam waktu yang memadai.
”Tidak ada jaminan pengadilan akan patuh dengan pilihan memperpendek proses penyelesaian sengketa proses dan sengketa hasil. Sebab, memberikan keadilan para pihak mestinya memang dilakukan dengan proses pembuktian yang maksimal,” kata Titi.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini
Selain itu, konsekuensi dari majunya jadwal pilkada adalah tantangan konsolidasi internal pada partai politik. Bagi partai politik, dimajukannya jadwal pilkada bisa memicu pragmatisme dalam pencalonan. Kondisi internal partai yang belum sepenuhnya solid dan pulih pascapemilu legislatif harus segera dipanaskan untuk Pilkada 2024.
Secara finansial dan konsolidasi internal parpol, pasti belum stabil secara keseluruhan. Titi khawatir jika ada politik iming-iming transaksional yang bisa digunakan untuk kepentingan pemulihan kondisi keuangan partai.
Kondisi ini mengkhawatirkan akan menjebak partai politik. Pada akhirnya, pemilih pun akan dirugikan karena hanya ada satu pasangan calon yang berkontestasi di pilkada. Bukan tidak mungkin, pemilih akan apatis dan akhirnya malah tidak mau peduli.
”Kondisi ini mengkhawatirkan akan menjebak partai politik. Pada akhirnya, pemilih pun akan dirugikan karena hanya ada satu pasangan calon yang berkontestasi di pilkada. Bukan tidak mungkin, pemilih akan apatis dan akhirnya malah tidak mau peduli,” ujar Titi.
Sebelumnya, usai rapat kerja dengan Komisi II, Tito menyampaikan, setelah mengkaji UU Pilkada, pemerintah berkesimpulan bahwa filosofinya adalah untuk menyerentakkan pemilu nasional dengan pilkada. Tujuan diserentakkan di tahun yang sama adalah ada sinkronisasi program pemerintah pusat dan daerah.
Jika pemilu dan pilkada tidak dilaksanakan serentak, fenomena yang terjadi, menurut Tito, adalah pemerintah membangun jalan nasional, tetapi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota tidak mau membangun jalan dengan alasan tidak diprogramkan karena masuknya di tengah-tengah. Hal ini menjadi persoalan bagi pemerintah pusat karena menjadikan manajemen pemerintahan dan pembangunan tidak efektif dan efisien.
”Jika pilkada tetap dilaksanakan pada 27 November 2024, kemungkinan kecil hasil pilkada sudah diketahui pada 1 Januari 2025. Berdasarkan pengalaman, rata-rata sengketa 1-3 bulan baru selesai,” imbuh Tito.
Oleh karena itu, pemerintah mengusulkan waktu terbaik untuk pelaksanaan pilkada adalah September 2024. Dengan pemilihan waktu itu, diharapkan pada 1 Januari 2025 sudah ada kepala daerah terpilih atau definitif yang legitimate.
Jika waktu pelaksanaan pemungutan suara pilkada maju ke September 2024, konsekuensi lainnya adalah pelaksanaan kampanye pilkada dipersingkat menjadi 30 hari. Jika kampanye dipersingkat menjadi 30 hari, harapannya durasi sengketa pencalonan juga harus dipersingkat. (DEA)