Mengantisipasi Kerawanan Pemilu 2024 di Luar Negeri
Pelaksanaan pemilu di luar negeri menjadi bagian dari agenda tahapan Pemilu 2024. Potensi kerawanan di negara lain perlu menjadi perhatian serius semua pemangku kepentingan guna menjaga kualitas hasil pemilu.

Kesimpulan ini tergambar dari potensi kerawanan pemilu yang dirilis Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu pada 31 Agustus lalu. Indeks Kerawanan Pemilu dalam Pemilu 2024 untuk isu tematik pemilu di luar negeri menjabarkan potensi kerawanan berdasarkan pengalaman penyelenggaran Pemilu 2019.
Dalam rilis IKP Pemilu 2024, Bawaslu memetakan lokasi kerawanan saat penyelenggaraan pemilu serentak di luar negeri. Dari 128 negara perwakilan yang menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara pemilu di luar negeri, terdapat 20 negara dengan tingkat kerawanan yang lebih tinggi.
Negara paling rawan secara berturut-turut adalah Malaysia, Amerika Serikat, Hong Kong, Jepang, Australia, Qatar, Taiwan, Belanda, Korea Selatan, Mesir, Singapura, Oman, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Brunei Darussalam, Jerman, dan Filipina.
Malaysia adalah negara paling rawan karena memiliki enam daerah perwakilan dengan jumlah pemilih lebih dari setengah dari seluruh data pemilih di luar negeri. Enam daerah tersebut adalah Kuala Lumpur, Johor Bahru, Kota Kinabalu, Kuching, Penang, dan Tawau.
Kerawanan berikutnya adalah negara dengan masuk keluarnya pemilih yang banyak dan berkelanjutan, yaitu di Taiwan, Hong Kong, Arab Saudi, Singapura, Uni Emirat Arab, Korea Selatan, Brunei Darussalam, Qatar, dan Oman.
Kerawanan lainnya adalah negara-negara dengan tingkat pelanggaran yang tinggi, yaitu Malaysia, Amerika Serikat, Hong Kong, Jepang, Australia, Qatar, Taiwan, Belanda, Mesir, Korea Selatan, Singapura, dan Oman.

Jenis pelanggaran yang berpotensi terjadi adalah terkait pemenuhan hak pilih dan kualitas daftar pemilih. Hal ini tidak lepas dari jumlah warga negara Indonesia di negara itu yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain yang menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara di pemilu.
Salah satunya terkait data keluar masuk atau perpindahan warga negara Indonesia di luar negeri yang menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu dalam merekap data pemilih di luar negeri. Faktor kelengkapan kerapihan data menjadi kunci. Persoalan-persoalan administrasi kependudukan ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelaksanaan pemilu di luar negeri.
Hal ini belum lagi dengan persoalan kepindahan kewarganegaraan WNI yang tidak tercatat, paspor WNI yang masa berlakunya habis lebih dari lima tahun atau tanggal berlaku tidak tercantum, WNI yang tidak memiliki KTP elektronik atau paspor yang valid, ditahannya paspor WNI yang bekerja sebagai buruh migran atau pekerja domestik oleh majikan sehingga tidak dapat menunjukkan paspornya dan potensi data kependudukan yang masih beralamat di Indonesia. Hal-hal ini menjadi kerawanan tersendiri sehingga perlu diantisipasi.
Mengutip pemaparan Inspektorat Jenderal Kementerian Luar Negeri dalam diskusi publik akhir Juni 2023, potensi pelanggaran penggunaan hak pilih juga disumbang oleh masih adanya mantan WNI (yang sudah tidak memiliki hak untuk memilih karena menjadi warga negara asing) yang tetap melakukan pemilihan dengan menggunakan dokumen kewarganegaraan Indonesia yang tidak dikembalikan ke Pemerintah RI.
Untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran tersebut, Kementerian Luar Negeri mencatat perlunya penguatan substansi PPLN, KPPSLN, dan Panwaslu LN terkait status kewarganegaraan Indonesia. Selain itu juga dibutuhkan sosialisasi terkait jenis pelanggaran pemilu, termasuk penyalahgunaan hak memilih.
Baca Juga: Bawaslu Soroti 20 Negara Rawan Saat Pemilu
Pemungutan suara
Pemungutan suara pemilu di luar negeri, terutama terkait hak pilih bagi warga negara Indonesia yang berada di negara lain hanya untuk memilih pasangan calon presiden-wakil presiden serta memilih calon anggota DPR pusat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pemungutan suara melalui luar negeri dilakukan dengan sejumlah metode.
Metode pemungutan suara di luar negeri tersebut adalah, pertama, pemungutan suara di tempat pemungutan suara luar negeri (TPSLN) yang umum juga dilakukan di dalam negeri. Kedua, pemungutan suara model kotak suara keliling (KSK) dan, ketiga, pemungutan suara melalui pos.
Untuk pemungutan suara melalui TPSLN, di atas kertas tidak akan jauh berbeda dengan yang dilaksanakan di dalam negeri. Namun, untuk pemungutan suara keliling ataupun melalui pos, kerawanan berpotensi terjadi. Sejumlah temuan dalam IKP 2024 terkait pemilu luar negeri ini menyebutkan, metode pemungutan suara melalui pos rawan melahirkan pelanggaran.
Dalam hal pemilih tidak dapat memberikan suara di TPSLN yang telah ditentukan, pemilih dapat memberikan suara melalui surat pos yang disampaikan kepada PPLN di Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Afifuddin, dan anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda (tengah, dari kiri ke kanan) saat peluncuran Pemetaan Kerawanan Pemilu Serentak 2024, di Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Pemilihan juga dapat dilayani dengan metode KSK, yaitu pelayanan pemungutan suara bagi pemilih yang dilakukan oleh PPLN dengan cara mendatangi tempat-tempat pemilih berkumpul, bekerja, dan/atau bertempat tinggal dalam satu kawasan.
Pemungutan suara di luar negeri juga berpotensi membuka peluang pelanggaran. Sejumlah pelanggaran di antaranya surat suara kembali ke pengirim karena pemilih sudah pindah alamat.
Hal ini terjadi hampir di setiap wilayah yang menggunakan metode pemilihan melalui pos. Selain itu juga berpotensi terjadi pencoblosan terhadap surat suara yang dikirim. Hal ini pernah ditemukan saat Pemilu 2019 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Baca Juga: Melawan Politik Uang, Perkuat Pengawasan Partisipatif
Buruh migran
Potensi masalah lainnya adalah tidak sedikit buruh migran yang menyalurkan hak pilihnya melalui pos karena atasan tempatnya bekerja tidak memberi tahu atau terlambat memberi tahu surat suara melalui pos sehingga buruh migran tidak jadi menyalurkan hak pilihnya melalui pos.
Hal ini belum lagi dengan kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat terkait pemilihan menggunakan metode pos yang menyebabkan surat suara yang dicoblos menjadi tidak sah.
Selain soal akses dan izin untuk menggunakan hak pilih, potensi pelanggaran juga terpantau bersumber dalam kerumitan pelaksanaan pemilu itu sendiri.
Hasil pemantauan pemungutan suara pendahuluan Pemilu 2019 di luar negeri yang dilakukan Migrant Care, terutama dalam kasus di Malaysia, Singapura, dan Hong Kong, menyebutkan soal kerumitan pelaksaan pemilihan umum yang banyak dikeluhkan warga negara Indonesia di luar negeri.
Berdasarkan pemantauan penyelenggaraan pemilu di Malaysia, Hong Kong, dan Singapura, Migrant Care merumuskan rekomendasi untuk penyelenggaraan pemilu ke depan secara umum.

WNI mengantre saat ikut Pemilu 2019 di KBRI Paris, Perancis, Sabtu (13/4/2019). Berdasarkan catatan pelaksana pemilu luar negeri KBRI Paris, saat itu terdapat 2.292 daftar pemilih tetap yang sudah terdaftar, dengan 153 daftar pemilih tambahan dan 101 daftar pemilih khusus.
Di antara rekomendasi itu adalah penegakan hukum yang tegas terhadap segala potensi pelanggaran pemilu di luar negeri, menyederhanakan metode pemungutan suara di luar negeri, dan mempertimbangkan adanya daerah pemilihan khusus luar negeri sebagai salah satu skema strategis untuk menyederhanakan mekanisme pemilu di luar negeri.
Pada akhirnya, upaya mengantisipasi kerawanan Pemilu 2024 di luar negeri tetap fokus pada tahapan mana yang perlu diantisipasi. Untuk mengantisipasi potensi kerawanan terjadi di hampir semua tahapan, baik pada pendataan pemilih, masa kampanye, hingga pemungutan suara, pada akhirnya dibutuhkan langkah-lankah praktis dan solutif untuk menjadi jawaban atas persoalan yang terjadi di pelaksanaan pemilu di luar negeri.
Pembentukan semacam crisis centre yang dapat ditujukan untuk menangani isu yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu di luar negeri bisa menjadi solusi.
Crisis centre ini terdiri dari beberapa tim dan terbagi ke beberapa wilayah atau negara di luar negeri. Crisis Centre diharapkan dapat berkerja merespons pertanyaan dan masalah yang terjadi, baik sebelum, saat, maupun setelah pelaksanaan pemilu di luar negeri. (LITBANG KOMPAS)