Melawan Politik Uang, Perkuat Pengawasan Partisipatif
Praktik politik uang tak mudah dihilangkan. Pencegahan menjadi strategi awal untuk mengurangi potensi terjadinya transaksi politik yang membutuhkan partisipasi masyarakat sebagai pengawas partisipatif.
Oleh
YOHAN WAHYU
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mural menyambut pemilihan umum 2024 digambar di tembok pembatas di kawasan Margonda, Depok, Jawa Barat, Sabtu (17/6/2023). Kampanye pemilu bersih terus digaungkan sebagai upaya mengajak masyarakat mengawasi Pemilu 2024 agar berjalan jujur, adil, dan bebas dari praktik politik uang.
Politik uang menjadi salah satu dari lima isu yang menjadi perhatian Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2024. Hal ini menjadi bagian dari Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tahun 2024 untuk isu tematik yang diluncurkan pada Minggu 13 Agustus 2023 lalu.
Selain politik uang, empat isu lainnya adalah terkait netralitas aparatur sipil negara; politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan; kampanye hitam di media sosial; serta pelaksanaan pemilihan umum di luar negeri (Kompas, 14/8/2023).
IKP 2024 merupakan hasil analisis dan pengawasan Bawaslu dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020. Sejumlah isu strategis yang terpotret di IKP 2024 ini disinyalir berpotensi menjadi titik kerawanan yang krusial terjadi di Pemilu 2024.
Seperti yang dikutip melalui rilis Bawaslu, anggota Bawaslu Lolly Suhenty menyampaikan, peluncuran IKP Pemilu 2024 di isu politik uang ini untuk mengingatkan sekaligus memetakan kerawanan guna mengedepankan upaya pencegahan.
Lolly menegaskan, politik uang ini amat berbahaya karena bukan mengenai kontestasi menang atau kalah, melainkan menghancurkan mental (akhlak) warga negara dan menghancurkan mental aktor-aktor negara (para pemimpin).
Secara umum, isu politik uang termasuk sumber kerawanan yang rentan terjadi di pelaksanaan pemilihan umum. Praktik politik uang menjadi isu di hampir semua tahapan pemilu. Tidak saja berkutat di masa kampanye, isu ini jauh-jauh hari juga berpotensi terjadi di masa sebelum kampanye.
Di masa sebelum kampanye, area dari obyek pengawasan sangat luas, sedangkan regulasi hanya “membatasi” potensi politik uang terjadi dengan melibatkan pelaksana, peserta dan tim kampanye. Padahal, di luar mereka, bisa saja praktik politik uang terjadi. Hal ini berbeda dengan regulasi yang menyangkut hari pemungutan suara.
Di hari pemilih menggunakan hak pilihnya ini, regulasi menyebutkan frase “setiap orang”. Artinya siapa saja, baik itu tim kampanye maupun bukan, bisa dijerat dengan pemidanaan akibat melakukan politik uang.
Bagaimanapun harus diakui tidak mudah memberantas praktik politik uang ini. Selain sudah menjadi aktivitas yang “biasa”, bahkan cenderung dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kerja-kerja elektoral di pemilu. Setidaknya data menyebutkan, kasus politik uang hampir selalu terjadi di setiap kontestasi politik, baik itu pemilu maupun pilkada.
Politik uang ini amat berbahaya karena bisa menghancurkan mental (akhlak) warga negara dan menghancurkan mental aktor-aktor negara (para pemimpin)
Data Bawaslu menyebutkan, pada Pilkada 2018 tercatat ada 22 kasus politik uang yang diputus pengadilan. Sementara di Pemilu 2019 angkanya meningkat menjadi 82 kasus (Kompas, 6 Juli 2020). Tak heran jika kemudian banyak pihak menyebutkan politik uang ibarat candu, dibenci tapi juga sekaligus mudah tergoda untuk melakukannya.
Hal ini tentu menarik karena tak jarang yang terjadi di akar rumput kerap kali justru “menikmati” praktik ini, bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa.
Sikap permisif publik terhadap praktik politik uang ini juga pernah terekam dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 30 Juni - 2 Juli 2020. Hampir 70 persen responden bersikap ”netral” dengan memilih membiarkan saja praktik politik uang. Bagi mereka, yang penting pemilih memilih sesuai hati nuraninya.
Mengutip IKP Pemilu 2024 yang dirilis Bawaslu pekan lalu terkait isu politik uang, isu ini menempati lima besar dari kasus-kasus yang terjadi sepanjang pilkada dan pemilu yang paling banyak dilaporkan.
Isu-isu lainnya yang banyak muncul adalah terkait laporan penyelenggara pemilu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, gugatan hasil pemilu dan atau pilkada, pemungutan suara ulang, dan terkait netralitas aparatur sipil negara, TNI, dan Polri.
Hasil analisis tematis isu strategis politik uang dalam IKP Pemilu 2024 ini merekam, dari 34 provinsi yang dijadikan unit analisis (sebelum ada daerah otonom baru), setidaknya ada lima provinsi yang masuk kategori kerawanan tinggi terjadinya praktik politik uang.
Kelima provinsi tersebut adalah Maluku Utara dengan skor tertinggi 100, kemudian disusul Lampung (55,56), Jawa Barat (50,00), Banten (44,44), dan Sulawesi Utara (38,89).
Sementara itu 29 provinsi lainnya masuk kategori rawan sedang terjadi politik uang. Data menunjukkan, tidak ada provinsi yang masuk kategori rawan rendah untuk potensi terjadinya politik uang. Hal ini menegaskan politik uang menjadi pemandangan umum yang terjadi di semua wilayah di Indonesia dengan derajat dan gradasi kasus yang berbeda.
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO
Perwakilan dari seluruh penyelenggara pemilu dan beberapa lembaga terkait, membuka acara peluncuran "Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024: Isu Strategis Politik Uang" di Bandung, Jawa Barat, Minggu (13/8/2023). Hadir dalam acara di antaranya, anggota Bawaslu Lolly Suhenty, anggota KPU Parsadaan Harahap, dan anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo.
Hal yang sama juga terjadi di tingkat kabupaten/kota. Tidak ada kabupaten/kota yang masuk kategori rendah di indeks kerawanan terjadinya politik uang. Dari 514 kabupaten/kota yang dianalisis datanya, sebanyak 24 kabupaten/kota (4,7 persen) masuk kategori rawan tinggi terjadinya praktik politik uang.
Dari 24 kabupaten/kota tersebut, lima diantaranya tersebar di Kabupaten Jayawijaya, Papua (100), Kabupaten Banggai (69,49) dan Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah (72,86), Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat (67,80), dan Kabupaten Lampung Tengah, Lampung (47,46). Sementara itu sebanyak 490 kabupaten/kota sisanya masuk kategori kerawanan sedang terjadinya praktik politik uang.
Modus politik uang juga terekam dalam data indeks ini. Setidaknya ada tiga modus yang biasa dilakukan dan terjadi di lapangan, yakni pertama, memberikan uang secara langsung, baik uang fisik maupun uang elektronik (termasuk voucher). Kedua, memberikannya dalam bentuk barang. Ketiga, memberikan janji. Ketiga modus ini marak terjadi dan disinyalir hampir di semua tahapan pemilu maupun pemilihan.
Modus-modus di atas semakin mengindikasikan praktik politik uang mengalami banyak komodifikasi. Mulai dari penggunaan uang elektronik digital yang sudah menjadi fenomena keseharian di masyarakat kita.
Selain itu, praktik transaksi politik uang juga dibungkus dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial, mulai dari pemberian bantuan bahan bangunan, sembako, dan bantuan-bantuan sosial lainnya.
Dengan mayoritas wilayah rawan terjadi praktik politik uang, baik dengan kategori tinggi maupun sedang, tidak mudah bagi upaya untuk melakukan pencegahan dan penindakannya. Selain rekam jejak politik uang yang begitu melekat, sikap permisif masyarakat terhadap praktik politik uang juga menambah deretan tantangan dalam pencegahan dan penindakan.
Pada akhirnya, partisipasi publik sebagai pemangku kepentingan utama terwujudnya pemilu yang jujur, adil, dan bersih, harus diwujudkan.
Bagaimanapun, partisipasi publik menjadi modal bagi upaya pencegahan dan penindakan politik uang. Salah satunya dengan upaya meningkatkan kesadaran betapa politik uang itu menjadi bahaya dan ancaman bagi masa depan demokrasi yang bersih.
Dengan terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya dan kerugian politik uang terhadap demokrasi di Indonesia, diharapkan kesadaran masyarakat semakin menguat dan lebih optimal terlibat dalam upaya pencegahan dan pengawasan.
Salah satunya bentuk partisipasi publik yang penting untuk diwujudkan adalah dengan lahirnya pengawas-pengawas partisipatif di lapangan untuk secara aktif melaporkan jika menemukan dan melihat aktivitas transaksi politik uang.
Upaya meningkatkan keterlibatan masyarakat tentu juga perlu didukung oleh komitmen pemangku kepentingan, baik penyelenggara pemilu, peserta pemilu beserta tim suksesnya, serta pemerintah untuk bersama-sama menjadikan pelaksanaan pemilihan umum 2024 dilakukan secara jujur, adil, dan bersih. (LITBANG KOMPAS)