Indikasi Politik Uang, Penukaran Uang Pecahan Melonjak Saat Masa Tenang Pemilu 2019
PPATK menemukan lonjakan transaksi di rekening kampanye peserta Pemilu 2019 justru saat masa tenang. Satu dari sejumlah indikasi politik uang yang harus diwaspadai pada Pemilu 2024.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NIKOLAUS HARBOWO, AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
SURABAYA, KOMPAS - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memetakan sejumlah kejanggalan yang terindikasi sebagai praktik politik uang selama Pemilu 2019. Salah satunya adalah tingginya permintaan penukaran uang pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000 saat masa tenang atau selama tiga hari sebelum tiba waktu pemungutan suara. Berkaca pada pemetaan tersebut, Sentra Penegakan Hukum Terpadu diharapkan bisa mencegah politik uang terulang kembali pada Pemilu 2024.
Dalam Forum Diskusi Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang digelar Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (8/8/2023), Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyampaikan, dari hasil analisis pihaknya pada setiap penyelenggaraan pemilu ataupun pemilihan kepala daerah, angka transaksi keluar-masuk uang selalu tinggi.
Pada Pemilu 2019, di Jakarta, misalnya, angka transaksi yang terkait kontestasi politik mencapai Rp 540 triliun. Adapun di Jawa Timur Rp 367 triliun. ”Yang menarik adalah bagaimana transaksi itu terpantau di RKDK (rekening khusus dana kampanye). Itu kenapa grafiknya justru meningkat saat minggu tenang? Kira-kira transaksi apa? Karena dari sampel 320 RKDK, saldonya selalu habis pada saat minggu tenang,” katanya.
Masih dalam masa tenang, PPATK juga menemukan adanya permintaan penukaran uang pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000 yang melonjak. Di Jakarta saja, jumlah permintaan penukaran pecahan uang besarnya mencapai Rp 113 miliar.
Sementara saat masa kampanye, yang seharusnya angka transaksi di RKDK melonjak karena peserta pemilu banyak menghabiskan uang untuk kepentingan kampanye, PPATK justru menemukan sebaliknya. Pergerakan transaksi justru datar atau rendah. Karena itu, Ivan curiga penggunaan RKDK sebatas formalitas untuk memenuhi aturan perundang-undangan. Adapun kampanye dibiayai dari sumber lain.
Hal-hal itu diharapkan menjadi atensi dari Sentra Gakkumdu pada Pemilu 2024. Begitu pula modus politik uang lain yang dipetakan oleh PPATK. Modus yang dimaksud, antara lain, penampungan dana operasional pemilu atau pilkada ke dalam rekening pribadi penyelenggara atau pengawas pemilu, sumbangan dana pemilu bersumber dari badan usaha milik daerah, dan sumbangan dana pemilu berasal dari pengusaha yang terkait indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Khusus menyangkut TPPU, Ivan juga menyebut, ada sebelas provinsi yang memiliki risiko tinggi. Provinsi dimaksud DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Papua, Bali, dan Bengkulu.
Selain itu, modus memecah transaksi sumbangan dana pemilu melalui rekening bersama, dana sumbangan pemilu melalui pihak ketiga, sumbangan dana pemilu dari pengusaha dan berdampak indikasi TPPU dan korupsi, serta transaksi sumbangan dana pemilu dari pengusaha yang menjadi rekanan pemerintah daerah.
Selain Ivan, forum diskusi dihadiri Menko Polhukam Mahfud MD, Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum Kejaksaan Agung Fadil Zumhana, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Narasumber lain dalam diskusi adalah Guru Besar Ilmu Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso dan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Mahfud MD mengingatkan bahwa ancaman politik uang terulang kembali pada Pemilu 2024, sehingga patut menjadi salah satu hal yang diwaspadai Sentra Gakkumdu. Bahkan, menurut dia, ada pula pejabat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menerima uang untuk memenangkan peserta pemilu tertentu. ”KPU tidak hanya di pusat, tetapi ada juga organnya sampai tingkat TPS (tempat pemungutan suara),” ujarnya.
Fenomena gunung es
Menurut Titi Anggraini, hasil riset PPATK menunjukkan aktivitas kampanye pemilu mengeluarkan anggaran yang luar biasa. Dana dikeluarkan sejak persiapan pencalonan, kampanye, hingga saat sengketa hasil pemilu. Dana kampanye yang tidak seimbang antara realitas dan pelaporan resmi selalu terjadi saat pemilu.
Hasil riset internasional bahkan menunjukkan bahwa dari 17 negara di Asia, Indonesia adalah negara yang paling terpapar politik uang. Karena itu, perlu dievaluasi dari Pemilu 2019 agar penegakan hukum bisa lebih efektif dan menimbulkan efek jera. ”Dari data pada saat Pemilu 2019, ada 69 orang yang diproses hukum karena terbukti terlibat jual beli suara atau melakukan politik uang. Saya percaya ini seperti fenomena gunung es. Artinya, Sentra Gakkumdu bisa berperan lebih aktif dan efektif dalam memerangi tindak pidana konvensional ini,” katanya.
Fadil Zumhana menyampaikan, pihaknya telah meminta atensi seluruh jaksa, terutama yang bertugas di Sentra Gakkumdu, untuk bisa menegakkan hukum secara bermartabat. Dengan demikian, kontestasi pemilu benar-benar menjadi momentum melahirkan pemimpin bangsa yang berintegritas.
“Proses penegakan hukum dalam tindak pidana pemilu itu waktunya dibatasi. Sehingga hal-hal krusial perlu diperhatikan. Penanganan perkara tidak boleh asal-asalan sehingga Sentra Gakkumdu harus duduk bersama untuk memutuskan. Saya berharap dengan keterbatasan waktu akan tercapai kualitas, bukan kuantitas semata,” tegasnya.
Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023).
KPU dilaporkan
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengadukan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena membatasi akses informasi seputar bakal calon anggota legislatif di Sistem Informasi Pencalonan KPU. Menurut Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, pengaduan dibuat karena Bawaslu sudah tiga kali bersurat ke KPU agar diberikan akses untuk mengoptimalkan pengawasan, tetapi tak kunjung diberikan.
Anggota DKPP, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan akan menindaklanjuti setiap aduan yang masuk ke DKPP, termasuk dari Bawaslu.
Adapun komisioner KPU, Idham Holik, mengaku belum mengetahui pengaduan dari Bawaslu tersebut. ”Kami menghormati lembaga DKPP jika memang nanti pengaduan tersebut memenuhi syarat dan disidangkan, ya, kami akan hadir dan menjelaskan terkait apa yang dimaksud oleh Bawaslu tersebut. Kami akan sampaikan semua aturan mengenai pencalonan, termasuk surat kami kepada Bawaslu tertanggal 18 Juli 2023,” ujar Idham.
Dalam surat itu, menurut Idham, dijelaskan bahwa KPU menghormati kewenangan yang dimiliki Bawaslu terkait pengawasan pencalonan. Dijelaskan pula bahwa KPU hanya dapat memberikan akses terhadap data pencalonan anggota legislatif dalam konteks terjadi dugaan pelanggaran pemilu. Alasannya, KPU terikat dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.