Jajak Pendapat ”Kompas”: Politik Uang Kian Membelenggu
Turunnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia juga tecermin dari permisifnya publik akan praktik politik uang. Namun, kesadaran untuk melawan praktik tersebut dengan melaporkan ke pihak berwenang masih relatif rendah.
Oleh
Eren Masyukrilla
·4 menit baca
Potensi terjadinya politik uang pada pemilu perlu diantisipasi dengan tanggung jawab bersama untuk turut mengawasi dan melaporkan kepada pihak berwenang. Hasil jajak pendapat Kompas menangkap besarnya kecenderungan publik yang masih permisif. Salah satunya dengan kecenderungan sikap yang enggan melaporkan jika menemukan praktik kecurangan politik uang.
Anjloknya angka Indeks Persepsi Korupsi 2022 yang berada di peringkat ke-110 dari 180 menempatkan skor Indonesia memburuk empat poin dari 38 menjadi 34 poin. Penurunan menjadi alarm bahwa strategi dan program pemberantasan korupsi di Indonesia terbukti belum efektif.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Perilaku korupsi yang makin masif ini menjadi ancaman bagi Indonesia yang tengah menghadapi persiapan pesta demokrasi melalui pemilihan umum tahun depan. Sikap publik yang cenderung abai dengan praktik jual beli suara ataupun politik uang makin menegaskan melawan korupsi tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Barangkali banyak orang telah mendengar bahwa ada harga mahal yang harus dibayarkan untuk dapat menjadi seorang anggota legislatif, kepala daerah, sampai presiden di pemilihan umum. Ungkapan itu secara gamblang menggambarkan betapa tingginya biaya politik yang harus dihabiskan untuk mendulang suara publik.
Pemilu tak ubahnya sebagai arena pertarungan sengit antar kontestan, yaitu partai dan para politisi di dalamnya. Sudah menjadi rahasia umum, berbagai strategi akan dilancarkan untuk bisa memperoleh simpati publik dan mengkonversinya menjadi dukungan di dalam bilik suara, termasuk dengan melegalkan praktik pemberian uang pada calon pemilih.
Politik uang pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk memengaruhi pilihan pemilih dengan iming-iming mendapatkan sejumlah uang. Dengan kata lain, apa yang dilakukan itu masuk dalam kategori praktik menyuap masyarakat untuk kepentingan pemenangan pihak tertentu.
Seolah sulit teratasi, persoalan menyangkut hal tersebut terus muncul pada setiap momentum penyelenggaraan pemilu. Bahkan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) secara gamblang pernah mengungkapkan, sulit untuk memberantas seluruh praktik tersebut karena terjadi begitu masif dan sistematis.
Ada banyak keterbatasan upaya pengawasan yang membuat praktik transaksional di tingkatan paling bawah itu dapat berkesudahan. Meskipun demikian, Bawaslu menyatakan bentuk kecurangan terkait itu dapat diminimalisasi, tentunya dengan kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan.
Potensi terjadinya praktik politik uang yang sangat dimungkinkan berulang tertangkap dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas kepada 505 responden nasional. Sekitar 36,5 persen responden menyatakan pernah mengetahui ataupun mengalami secara langsung pemberian uang yang dilakukan oleh kontestan di pemilu.
Pengalaman oleh lebih dari sepertiga responden itu tentu menjadi cerminan bahwa proses pemilihan yang diselenggarakan masih lekat berada pada bayang-bayang politik transaksional yang kental.
Berdasarkan analisis yang dilakukan Bawaslu, ada berbagai macam hal yang dapat dikategorikan sebagai politik uang dan tentunya juga akan berpengaruh pada pengategorian pidananya.
Pemberian berbagai suap, baik yang ditujukan kepada individu maupun kelompok masyarakat, sangat dimungkinkan bukan berbentuk uang. Dalam berbagai praktik yang pernah terungkap, tindakan memberikan berbagai fasilitas, misalnya pengaspalan jalan, pembangunan jembatan, atau lainnya masih dapat dikategorikan sebagai praktik menyuap pilihan masyarakat.
Dalam konteks yang lebih luas, Indonesia Corruption Watch (ICW) turut menyoroti berbagai modus politik uang saat masa pemilihan. Bahkan, ICW mengungkapkan, transaksi politik sudah terjadi pada tingkatkan persiapan menuju pemilu, misalnya adanya mahar politik yang harus dibayar untuk kepentingan pencalonan.
Persoalan laten menyangkut terjadinya politik uang di masa pemilu akan sangat berpotensi terjadi tanpa adanya ketegasan untuk mengantisipasinya. Tanggung jawab terhadap itu tentulah bukan hanya menjadi beban penyelenggara pemilu, terutama bagi Bawaslu dan KPU.
Komunitas masyarakat yang masih memiliki kecenderungan permisif terhadap berbagai bentuk politik transaksional juga turut membuat praktik ini terus tumbuh.
Hal tersebut terkonfirmasi pula dari survei yang dilakukan Kompas, di mana sebagian besar responden yang mengaku pernah memiliki pengalaman langsung atau mengetahui praktik politik uang memilih diam dan tak melaporkan kepada pihak berwenang.
Sekitar empat dari sepuluh bagian responden yang pernah mengetahui atau mengalami langsung praktik politik uang menyatakan tidak akan melaporkan kepada Bawaslu. Mereka menganggap, dengan melaporkan temuan kecurangan itu, maka akan berhadapan dengan urusan politik yang berbelit.
Sikap yang tak jauh berbeda pun ditunjukkan oleh sepertiga bagian responden lainnya. Pada rumpun ini, publik justru memilih untuk acuh pada segala bentuk praktik suap yang terjadi karena bukan merasa bagian dari tanggung jawabnya.
Berkebalikan dengan itu, terbaca hanya muncul di segelintir orang yang menyatakan kesediaan untuk melaporkan praktik politik uang. Hasil jajak pendapat merekam hal tersebut hanya disampaikan oleh 12 persen responden. Dengan kondisi tersebut, bahkan lebih dua perlima bagian responden mengaku bersedia, tetapi tidak mengerti harus melaporkan kepada siapa.
Kondisi demikian merefleksikan betapa praktik politik uang akan masih menjadi persoalan mengkhawatirkan bagi penyelenggaraan pemilu dan kualitas demokrasi di negeri ini.
Tanpa adanya publik yang tergerak untuk bisa peduli melawan segala bentuk politik uang, sangat tidak mungkin tindak kecurangan yang mencederai kemurnian suara masyarakat dapat teratasi.
Itulah sebabnya, kepedulian yang berangkat dari rasa tanggung jawab turut berperan menjaga penyelenggaraan pemilu yang bersih patut ditumbuhkan dengan memasifkan edukasi dan membuka kemudahan akses pelaporan dari publik.
Praktik politik uang perlu dimaknai sebagai musuh bersama. Membaiknya kepedulian dari publik akan menjadi satu kekuatan besar dalam mencegah terjadinya berbagai kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu.
Jika dilihat berdasarkan hasil jajak pendapat, sikap permisif pada politik uang secara merata terbaca setiap kategori usia, baik itu usia pemilih muda maupun mereka yang jauh lebih matang.
Gejala itu kian menekankan, ada pekerjaan rumah yang besar bagi penyelenggara pemilu, khususnya KPU dan Bawaslu, agar perlu terus memasifkan sosialisasi dan secara terbuka mengajak publik terlibat aktif dalam melakukan pengawasan.
Pengalaman di setiap pemilu telah mengajarkan, sebetulnya kampanye mengenai bahaya politik uang telah banyak dilakukan. Namun, hal tersebut seolah tak berdampak banyak karena pada dasarnya penolakan atas politik uang harus tumbuh dan berangkat dari kesadaran kuat.
Hal ini tentu pula lekat pula pada kualitas pendidikan politik hingga di akar rumput sebab pilihan untuk dapat menerima atau menolak berbagai bentuk pemberian yang bertujuan mengintervensi pilihan ada pada masyarakat.
Di samping itu, tentu upaya-upaya untuk menekan praktik kecurangan tersebut juga telah dilakukan pihak penyelenggara dengan menjalin kerja sama pada lembaga lain yang memiliki kewenangan lebih, misalnya Bawaslu telah menjalin kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk turut mengawasi potensi tindak pidana penyuapan selama pemilu.
Seluruh pihak harus mengambil peran dalam mencegah terjadinya praktik politik uang. Terlebih waktu penyelenggaraan yang kian mendekati hari pemilihan, seperti di waktu kampanye dan memasuki masa tenang, justru menjadi momentum yang paling rentan untuk disusupi strategi curang tersebut.
Pemahaman akan bahaya politik uang yang terus membelenggu perlu tak henti disebarluaskan, selain dapat masuk dalam pusaran tindak pidana, praktik itu juga merusak demokrasi, khususnya dalam merusak kemurnian pilihan publik saat pemilu. Sudah saatnya ada perlawanan kuat untuk melepaskan diri dari belenggu politik uang. (LITBANG KOMPAS)