Kompleksitas Isu Strategis Kerawanan Pemilu 2024
Bawaslu mencatatkan ada sejumlah isu strategis di Pemilu 2024 yang disinyalir akan menyumbang potensi kerawanan. Mitigasi penting disiapkan untuk menghadapi potensi kerawanan dari berdasarkan isu strategi tersebut.

Kajian Bawaslu terkait kerawanan Pemilu 2024 memberikan atensi pada isu strategis yang berada pada berbagai lingkup aspek. Kompleksitas tantangan itu menuntut kematangan persiapan, termasuk membangun kerja sama peran yang optimal pada seluruh pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pemilu.
Tantangan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang akan memiliki kompleksitas lebih tinggi sebetulnya nyata terbaca dari sebaran daerah dengan tingkat kerawanan tinggi yang meningkat.
Dalam laporannnya, sama seperti periode sebelumnya, Bawaslu juga memetakan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024 dalam tiga kelompok, yaitu tingkat kerawanan tinggi, kerawanan sedang, dan kerawanan rendah.
Dalam konteks provinsi, ada lima wilayah yang berstatus rawan tinggi, yaitu DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur.
Kelima provinsi itu, berdasarkan hasil pengukuran memang memiliki skor kerawanan yang tinggi pada setiap dimensi pengukuran, yaitu pada konteks sosial politik, penyelengaraan pemilu, kontestasi, dan partisipasi.
Wilayah Papua, misalnya, terus menjadi tiga daerah teratas dengan skor indeks tertinggi untuk dimensi sosial politik, penyelenggaraan pemilu, dan partisipasi. Begitu pula dengan DKI Jakarta yang mendapat skor indeks paling atas pada dimensi kontestasi.

Temuan ini tentulah memberikan catatan tersendiri untuk penyelenggaraan pesta demokrasi mendatang. Lima provinsi yang terpetakan berada pada status kerawanan pemilu yang tinggi itu tergolong meningkat drastis jika dibandingkan dengan temuan pada pengukuran IKP 2019 yang menempatkan seluruh provinsi pada tingkat kerawanan sedang.
Pengukuran IKP yang mendasarkan pada empat dimensi itu mencoba menangkap berbagai potensi kerentanan yang melingkupi banyak aspek. Oleh karena itu, pengukuran indeks yang dapat menyimpulkan tingkat kerawanan pada tiap daerah itu pun tak terlepas dari dinamika isu-isu yang menyertai setiap periode penyelenggaraan pemilu.
Baca juga: Mengantisipasi Potensi Kerawanan Pemilu
Kompleksitas
Sebagai upaya mitigasi untuk menyiapkan berbagai skenario antisipatif, kajian kerawanan pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu pun turut memberikan catatan terkait isu-isu strategis yang menjadi fokus untuk mengoptimalkan kerja penyelenggaraan.
Pada 2024, Bawaslu mendapati lima isu besar yang akan sangat berpengaruh pada pelaksanaan pemilu. Isu-isu tersebut melingkupi netralitas penyelenggara pemilu, pelaksanaan tahapan di provinsi baru, potensi polarisasi masyarakat, mitigasi penggunaan sosial media, hingga menyangkut hak memilih dan dipilih.
Melihat isu yang berkembang tersebut, tantangan pelaksanaan pemilu mendatang bisa dibilang memang akan jauh lebih kompleks. Sejumlah isu yang mendeterminasi kualitas penyelenggaraan Pemilu 2024 berada pada cakupan aspek yang jauh lebih luas.
Jika dibandingkan dengan hasil kajian kerentanan pada Pemilu 2019, Bawaslu masih banyak berfokus pada isu-isu yang berada pada ruang kendali pihak penyelenggara, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun pengawasan dari Bawaslu ataupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, memberikan paparan saat Peluncuran Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 di Jakarta, Jumat (16/12/2022).
Secara garis besar, isu-isu yang menyertai pemilu pada periode itu melingkupi penyelenggaraan yang terkait berbagai tahapan, hak pilih, dan isu partisipasi.
Tantangan penyelenggaraan yang menjadi isu kuat pada penyelenggaraan Pemilu 2019 juga akan tetap menjadi potensi kerawanan sehingga perlu diantisipasi pada pemilu mendatang.
Hal itu bukan hanya menyangkut polemik netralitas penyelenggara pemilu, melainkan berbagai kemungkinan penyelewengan pada setiap tahapan pemilu yang sudah berjalan sampai saat ini perlu mendapatkan pengawasan bersama.
Termasuk pula pada isu partisipasi dan hak pilih yang selama ini juga masih menjadi persolan klasik kepemiliuan di negara ini. Keberhasilan penyelenggaraan tentu tak bisa hanya ditunjukan dari angka capaian partisipasi pemilih.
Kualitas yang menyertai setiap capaian jumlah pemilih sejatinya perlu linear dengan perbaikan kualitas pendidikan politik yang diterima oleh masyarakat. Hal ini menyangkut pula pada kualitas pemilu dan demokrasi secara umum.
Baca juga: Misinformasi Jadi Indikator Kerawanan
Isu strategis
Di luar isu-isu penyelenggaraan, hak pilih, dan partisipasi tersebut, Bawaslu juga menangkap potensi kerentanan lain yang dapat menghambat pelaksanaan pemilu mendatang.
Seperti yang telah dirincikan sebelumnya, dari catatan lima isu strategis, Bawaslu turut menyertakan isu keamanan terkait polarisasi masyarakat, dampak penggunaan sosial media, hingga penyelenggaraan di provinsi baru sebagai tantangan besar yang perlu mendapatkan catatan khusus pada Pemilu 2024.
Melihat kompleksitasnya, ketiga isu ini memang memiliki kerumitan penanganan yang membutuhkan berbagai langkah strategis dari berbagai stakeholder, bahkan sampai di luar domain pokok pihak penyelenggara pemilu.
Antisipasi polarisasi dan keamanan selama masa pemilu, termasuk selama tahapan berjalan perlu melibatkan banyak pihak, mulai dari TNI dan Polri hingga langsung pada komunitas sipil masyarakat itu sendiri.

Pada konteks pemilu, termasuk pada konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) yang lalu telah memberikan banyak catatan evaluasi terkait pentingnya untuk memberikan jaminan kondusivitas di tengah masyarakat, bahkan hubungan sosial yang tetap damai setelah pemilu berakhir.
Perkembangan penggunaan media sosial yang masif juga menjadikan ruang-ruang digital semakin rentan untuk disalahgunakan selama masa pemilu.
Berbagai pelanggaran penyelenggaraan kini justru lebih mudah ditemukan secara daring, seperti kampanye hitam ataupun beredarnya hoaks yang berisiko menimbulkan perpecahan.

Dalam hal ini, KPU dan Bawaslu telah melakukan upaya untuk mengatur kampanye di media sosial. Secara garis besar, aturan yang tetap mangacu pada ketentuan pelaksanaan kampanye yang ditetapkan, termasuk kesesuaian jadwal ataupun larangan untuk melakukan ujaran kebencian atau menyerang terkait suku, ras, dan agama.
Sejak Pemilu 2019, pihak penyelenggara juga telah melakukan kerja sama dengan berbagai perusahaan penyedia platform sosial media untuk turut mengawasi munculnya konten-konten yang melanggar ketentuan pelaksanaan pemilu.
Tantangan pemilu mendatang memang semakin rumit dengan adanya konsekuensi penyelenggaraan di empat provinsi yang baru terbentuk.
Terkait ini, pada Desember 2022, secara resmi KPU telah memberikan wewenang kepada empat daerah otonom baru, yaitu Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya, untuk membentuk KPU di setiap wilayahnya.

Ketua KPU Hasyim Asyari ketika menyerahkan plakat nomor urut kepada perwakilan pimpinan partai politik peserta Pemilu 2024 dalam acara Pengundian dan Penetapan Nomor Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2024 di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Setelah KPU terbentuk, berjalannya proses tahapan penyelenggaraan pun tentu tidak akan mudah dengan segala keterbatasan yang ditemukan di provinsi baru, mulai dari urusan administrasi kependudukan, lembaga pemerintahan, sampai infrastruktur fisik di daerah.
Pada akhirnya, penyelenggaraan pemilu akan berjalan dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi. Kematangan persiapan dengan penuh perhitungan, termasuk dengan mengantisipasi berbagai isu terkini yang berkembang menjadi sangat penting untuk memastikan seluruh aspek penyelenggaraan telah siap dan dapat berjalan sesuai harapan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Analisis Litbang “Kompas”: Urgensi Memetakan Kerawanan Pemilu 2024