Indeks Kerawanan Pemilu dari Bawaslu menunjukkan peningkatan sebaran wilayah yang berada pada kondisi kerawanan tinggi. Temuan itu menjadi catatan bagi semua pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan pencegahan.
Oleh
EREN MARSYUKRILLA, Litbang Kompas
·4 menit baca
Merujuk pada laporan kajian Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang disusun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kerawanan pemilu didefinisikan sebagai hal yang berpotensi dapat mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis. Secara garis besar, dimensi yang digunakan dalam mengukur kerawanan Pemilu 2024 tidak berubah dari pengukuran dari periode Pemilu 2019.
Terdapat empat dimensi besar yang menjadi acuan menurunkan berbagai subdimensi dan indikator dalam mengukur tingkat kerawanan pemilu di daerah. Keempat dimensi itu ialah konteks sosial dan politik, penyelenggaraan pemilu, kontestasi, dan partisipasi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hasil pengukuran IKP tahun 2024 yang dirilis Bawaslu pada Jumat (16/12/2022) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan untuk wilayah dengan status kerawanan tinggi. Skor indeks untuk wilayah sangat rawan itu tercatat lebih dari 77, terpaut cukup jauh dengan ambang nilai kategori kerawanan tinggi, yaitu di atas 66 dengan skor 100 sebagai skala tertinggi.
Di tingkat provinsi, ada lima daerah yang dinilai memiliki tingkat kerawanan pemilu yang tinggi. Sebaran ini naik drastis dibandingkan periode Pemilu 2019 yang memetakan penilaian kerawanan pemilu untuk setiap provinsi masih berada di kategori rawan sedang. Kelima provinsi dengan perolehan skor indeks pada tingkat kerawanan tinggi tersebut adalah Provinsi DKI Jakarta (88,95), Sulawesi Utara (87,48), Maluku Utara (84,86), Jawa Barat (77,04), dan Kalimantan Timur (77,04).
Sejalan dengan itu, kondisi yang tak jauh berbeda tertangkap pada hasil pengukuran indeks di tingkat kabupaten/kota yang menunjukkan sebaran daerah dengan kerawanan tinggi melonjak drastis. Bahkan, kondisi itu secara merata terbaca pada empat dimensi besar yang menjadi acuan pengukuran indeks ini.
Pada dimensi konteks sosial dan politik, hasil pemetaan IKP untuk Pemilu 2024 menunjukkan ada 76 kabupaten/kota yang berada pada tingkat kerawanan tinggi. Jumlah itu naik signifikan daripada Pemilu 2019 yang menemukan hanya tiga daerah tingkat dua yang masuk kategori kerawanan tinggi.
Peningkatan yang tak kalah tinggi juga terdapat pada dimensi penyelenggaraan pemilu. Hasil IKP tahun 2024 menunjukkan, setidaknya 84 kabupaten/kota pada situasi sangat rawan. Padahal, pada pemilu sebelumnya, hanya 27 daerah yang berada pada tingkat kerawanan tinggi pada dimensi pengukuran ini.
Begitu pula dengan temuan pada dimensi kontestasi. Dari total 514 kabupaten/kota, sekitar 18 persen atau 95 merupakan daerah dengan tingkat kerawanan tinggi. Sebelumnya, IKP 2019 mencatat daerah dengan tingkat kerawanan tinggi untuk dimensi ini tak sampai 2 persen.
Sama halnya dengan dimensi keempat terkait partisipasi. Jumlah kabupaten/kota yang tergolong sangat rawan melonjak hingga 30 daerah dari sebelumnya hanya satu daerah.
Tahapan pemilu
Peningkatan angka sebaran wilayah dengan kerawanan tinggi di pemilu pada tiap dimensi itu membuktikan, pada dasarnya potensi hambatan ataupun kemunculan berbagai hal yang mengganggu proses pesta demokrasi itu berada pada setiap tahapan. Terlebih memasuki masa di mana nuansa kontestasi perebutan dukungan akan kian menebal seiring dengan telah ditetapkannya 18 partai politik nasional peserta Pemilu 2024 pada pertengahan Desember 2022.
Potensi gangguan keamanan, berkaitan pula dengan otoritas penyelenggaraan pemilu dan berjalannya pemerintahan dalam konteks dimensi sosial dan politik, sangat dimungkinkan terjadi. Bahkan berbagai kondisi aspek mengenai hal ini sangat ditentukan sejak tahap awal pemilu dimulai.
Tahapan pemilu kini telah memasuki proses penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan. Berbarengan dengan itu, sejak Oktober 2022 dilakukan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih yang baru akan selesai pada Juni 2023. Dua tahapan itu secara langsung menjadi bagian dari aspek yang ada pada dimensi konteks sosial dan politik ataupun bagian dari dimensi penyelenggaraan pemilu yang perlu berjalan secara transparan.
Lebih lanjut dalam tahapan pemilu yang ditetapkan, nantinya akan memasuki proses pencalonan anggota legislatif, pencalonan presiden dan wakil presiden, hingga memasuki tahapan kampanye. Pada situasi tersebut, tentulah kerja-kerja penyelenggara akan berjalan dengan beban tugas yang lebih berat yang akan dihadapkan pada munculnya potensi-potensi pelanggaran.
Sejak 14 Juni 2022, Bawaslu menindaklanjuti ratusan dugaan pelanggaran pemilu. Dari dugaan pelanggaran pemilu yang ditangani itu, terdapat 81 kasus yang bersumber dari temuan langsung jajaran Bawaslu dan 19 dari aduan masyarakat.
Langkah antisipatif
Kehadiran IKP selayaknya dapat memberikan catatan penting bagi penyelenggara, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu, dan juga semua pemangku kepentingan terkait. Hal ini sesuai dengan tujuan utama dari IKP, yaitu sebagai proyeksi dan deteksi dini terhadap potensi pelanggaran pemilu. Selain itu, temuan IKP dapat menjadi basis mengoptimalkan program-program yang tidak hanya berwujud pengawasan, tetapi juga pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran pemilu.
Bawaslu juga telah berupaya melakukan fungsi pencegahan. Konsep pencegahan Bawaslu diartikan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran serta sengketa proses pemilu melalui tugas yang dilakukan jajaran kelembagaan ataupun yang melibatkan partisipasi masyarakat dan media sosial.
Terkait itu pula, Bawaslu telah menerbitkan pedoman pencegahan yang mengatur bentuk pencegahan pelanggaran pemilu yang terdiri dari identifikasi kerawanan, pendidikan, partisipasi masyarakat, kerja sama berbagai pihak, hingga terkait imbauan yang dapat dilakukan.
Selain upaya pengawasan dan pencegahan bersama, salah satu yang juga menjadi catatan isu strategis yang sangat menentukan kualitas pemilu dari hasil kajian IKP adalah terkait dengan pihak penyelenggara. Polemik netralitas dalam penyelenggaraan pemilu menjadi hal yang mendapat catatan penting dalam evaluasi beberapa periode pemilihan lampau.
Pada pekan awal Desember 2022, DKPP melaporkan telah menerima 83 aduan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu. Dari jumlah itu, sebanyak 34 aduan telah diputuskan menjadi perkara pelanggaran etik yang melibatkan 81 teradu. Sekitar 47 teradu telah dijatuhi berbagai sanksi sesuai pelanggaran yang diperbuat, mulai dari teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap.
Perbaikan kualitas penyelenggara yang netral dan bebas dari kepentingan apa pun, serta mengedepankan profesionalitas, menjadi hal yang tak bisa ditawar. Peran aktif semua pemangku kepentingan, termasuk keterlibatan publik dalam setiap tahapan pemilu, perlu terus ditingkatkan guna mengantisipasi berbagai potensi kerawanan yang dapat menghambat jalannya pemilu dan demokrasi.