Jalan Sunyi Calon Senator
Sorotan publik pada kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah masih minim. Proses pendaftaran bakal calon senator tersebut juga minim partisipasi publik.

Mural foto-foto presiden RI tergambar di kawasan Cibuluh, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (6/8/2022).
Saat ini tahapan Pemilu 2024 terkait pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah memasuki masa verifikasi faktual dukungan pemilih terhadap bakal calon anggota lembaga perwakilan daerah tersebut. Antusiasme publik pada proses pendaftaran anggota dari lembaga yang lahir sebagai anak kandung reformasi ini relatif rendah.
Hasil jajak pendapat Kompas awal Februari 2023 merekam bagaimana rendahnya perhatian publik pada proses tahapan yang menyangkut pendaftaran calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini.
Tidak seperti pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan anggota DPR/DPRD, perhatian publik pada pemilihan calon senator di DPD ini relatif paling sunyi dari perhatian publik.
Tercatat hanya sebagian kecil responden (8,3 persen) yang mengaku selalu mengikuti pemberitaan terkait proses pemilihan DPD. Intensitas dari kelompok responden ini dimaknai dari mereka yang mengikuti pemberitaan terkait DPD setiap harinya.

Angka ini relatif paling rendah jika pada kategori yang sama dibandingkan dengan proses pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, ataupun pemilihan anggota legislatif DPR.
Khusus untuk pemilihan presiden dan pilkada memang tercatat paling tinggi, rata-rata di atas 10 persen responden mengaku mengikuti selalu atau tiap hari pemberitaan terkait kedua kontestasi ini.
Betapa tidak, hal ini tidak lepas dari obyek dari proses pemilihan keduanya yang lebih menitikberatkan pada sosok orang atau calon yang menjadi daya tarik tersendiri bagi publik.
Hal ini berbeda dengan pemilihan anggota DPR karena variabel partai politik tetap menjadi penopang karena menjadi pintu pencalonan dan pamor partai tetap mengambil peran.
Perhatian publik masih rendah pada proses tahapan yang menyangkut pendaftaran calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kondisi ini juga diperkuat dengan hasil sejumlah survei yang menegaskan publik cenderung lebih tertarik memilih sosok atau orang dibandingkan dengan partai politik ketika masuk bilik suara di pemilihan umum.
Tak heran jika kemudian survei juga pernah merekam bagaimana publik lebih nyaman dengan sistem pemilihan umum proporsional terbuka. Di sistem ini, selain memilih partai politik, pemilih juga bisa memilih calon anggota legislatifnya secara langsung.
Kembali pada kasus pemilihan anggota DPD, meskipun secara teknis pemilih langsung memilih sosok atau orang, antusiasme responden terhadap pemilihan anggota senator ini relatif kurang semarak.
Selain ”kalah pamor” dengan pemilihan presiden ataupun pemilihan kepala daerah, kehadiran DPD sebagai lembaga yang melengkapi sistem lembaga legislatif menjadi dua kamar (bikameral) dan ajang perjuangan kepentingan daerah dinilai belum optimal keberadaannya.
Selain karena kedudukan dan kewenangannya tidak sebesar yang dimiliki DPR, kinerja DPD juga kurang mendapatkan perhatian publik.

Foto-foto anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpasang di Gedung DPD, Senayan,
Setidaknya mengutip hasil jajak pendapat Kompas pada November 2021 saat memperingati 17 tahun kelahiran DPD, kinerja lembaga ini dinilai belum optimal. Kurang dari separuh responden (48 persen) yang menyatakan puas terhadap kinerja DPD, sedangkan 44 persen responden lain merasa tidak puas. (Kompas, 22/11/2021)
Padahal, sebagai anak kandung reformasi, DPD sejatinya memiliki peran penting dalam sistem legislasi. Tidak seperti anggota DPR yang maju melalui partai politik, anggota DPD maju melalui jalur pribadi atau independen.
Jadi, semestinya lebih fleksibel dalam menjaring aspirasi masyarakat secara langsung. Terbelahnya sikap responden dalam menilai kinerja DPD menjadi cermin lembaga ini memang belum terlihat optimal perannya di mata publik. DPD seakan berjalan di jalan sunyi karena perannya ada, tetapi tidak dirasakan oleh publik.
Baca juga : Mulai Redupnya Pamor "Anak-anak" Reformasi
Antusiasme rendah
Selain rendahnya antusiasme publik mengikuti informasi dan berita-berita terkait DPD, jalan sunyi lainnya juga terlihat dari minimnya keterlibatan publik ke dalam proses rekrutmen.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, salah satu syarat pencalonan anggota DPD adalah mendapatkan sejumlah dukungan dari penduduk di provinsi yang akan diwakilinya.
Dalam proses penggalangan dukungan tersebut, bakal calon anggota DPD harus melalui syarat pencalonan. Salah satu syarat pencalonan tersebut adalah mendapat sejumlah dukungan dari warga yang dibuktikan dengan pengumpulan salinan KTP pendukungnya. Jumlah dukungan disesuaikan dengan jumlah penduduk yang diatur dalam undang-undang.
Saat ini tahapan di KPU adalah verifikasi faktual dari dukungan KTP yang dikumpulkan oleh bakal calon DPD. Jajak pendapat merekam, terkait proses pengumpulan dukungan, hampir separuh responden (48,6 persen) mengaku pernah menjumpai tim sukses dari para bakal calon saat mengumpulkan dukungan di lapangan.

Dari jumlah tersebut, hanya separuhnya saja (20,2 persen) yang mengaku pernah dimintai KTP untuk syarat dukungan dan bersedia memberikannya. Sisanya tidak bersedia memberikannya.
Tidak heran jika kemudian dalam proses verifikasi faktual syarat pencalonan yang menyertakan bukti dukungan ini ditemukan KTP dukungan yang sama yang disertakan oleh bakal calon DPD yang berbeda.
Selain itu, juga ditemukan ketika proses verifikasi, pemilik KTP merasa tidak tahu-menahu jika KTP miliknya dicatut atau diklaim sebagai bentuk dukungan kepada calon tertentu.
Fenomena ini juga tidak lepas dari masih minimnya pengawasan publik pada proses penggalangan dukungan. Jajak pendapat juga mencatat, sebanyak 43,3 persen responden mengaku cuek dan membiarkan jika namanya dicatut sebagai pendukung salah satu calon.
Hanya separuh responden (20,2 persen) yang mengaku pernah dimintai KTP untuk syarat dukungan bakal calon anggota DPD dan bersedia memberikannya. Sisanya tidak bersedia memberikannya.
Namun, tidak sedikit, yakni sekitar 36,7 persen responden lainnya, yang mengaku akan protes dan mengklarifikasi ke penyelenggara pemilu jika namanya dicatut.
Banyaknya kasus pencatutan ini membuat publik kurang yakin proses penggalaman dukungan bagi bakal calon DPD murni sebagai ekspresi dukungan masyarakat.
Hal ini tampak dari sikap separuh lebih responden (53,4 persen) yang meyakini proses penggalangan dukungan yang dilakukan bakal calon anggota DPD itu tidak murni berangkat dari dukungan warga, tapi lebih karena mobilisasi.
Baca juga : Citra Tiga Lembaga Pilar Reformasi
Partisipasi publik
Untuk memantau potensi pencatutan nama ini, KPU sendiri sudah membuka ruang partisipasi bagi publik untuk mengecek apakah nama KTP yang dimilikinya masuk ke dalam bukti dukungan yang diserahkan oleh bakal calon anggota DPD tersebut.
Melalui laman https://infopemilu.kpu.go.id/Pemilu/Cari_nik_pendukung, warga bisa mengakses dengan memasukkan Nomor Indentitas Kependudukan (NIK) yang dimiliki ke dalam link tersebut.
Jika namanya ada, berarti ia masuk bagian pendukung. Jika merasa tidak memberikan dukungan, bisa memberikan informasi ke penyelenggara pemilu.
Jadi, selain dari pihak penyelenggara pemilu, yakni KPU yang melakukan verifikasi terhadap bukti dukungan yang diberikan, Bawaslu yang melakukan pengawasan terhadap proses verifikasi, publik juga bisa terlibat aktif dengan secara mandiri melakukan pengecekan apakah namanya dicatut atau tidak dalam proses pemberian dukungan tersebut.
Baca juga : Menjaga Eksistensi DPD
Peminat
Jumlah peminat menjadi anggota DPD sendiri sebenarnya relatif cukup banyak. Total kursi yang diperebutkan di Pemilu 2024 ini mengalami kenaikan.
Merujuk Pasal 196 UU Nomor 7 Tahun 2017, jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat). Pada Pemilu 2019 dengan 34 provinsi, jumlah kursi DPD RI sebanyak 136 kursi. Di Pemilu 2024 nanti, dengan adanya empat Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua, maka ada penambahan 16 kursi, sehingga total menjadi 152 kursi.
Saat ini data di laman KPU tercatat dari 38 provinsi yang menjadi daerah pemilihan anggota DPD, sudah sebanyak 1.034 orang yang terdaftar dan mendapatkan akun yang digunakan untuk proses pendaftaran calon DPD. Data per 26 Maret 2023 menyebutkan, dari jumlah tersebut, sebanyak 838 orang sudah menyerahkan berkas dukungan, 196 belum melakukan penyerahan berkas.

Provinsi Jawa Barat tercatat paling tinggi jumlah peminat sebagai anggota DPD, yakni tercatat sebanyak 82 orang atau 20 kali lipat dari kebutuhan. Tingkat persaingannya lebih ketat dibandingkan provinsi lain. Sementara peminat paling rendah ada di Provinsi DI Yogyakarta dan Sulawesi Utara yang masing-masing hanya tercatat 12 peminat.
Hal ini menjadi gambaran di satu sisi DPD seakan melewati jalan sunyi karena masih berjaraknya proses rekrutmen, keberadaan lembaga, dan kinerjanya yang masih jauh di mata publik. Namun, di sisi yang lain DPD masih menjadi jalan ramai bagi elite-elite politik yang ingin menjadikan lembaga perwakilan daerah ini untuk mengembangkan karier politiknya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Peminat Kursi DPD Terendah sejak Pemilu 2004