Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Mendekatkan Pilihan Rakyat
Konsistensi penerapan sistem pemilu proporsional terbuka kembali diuji setelah empat pemilu sistem ini diterapkan. Menambal kelemahan sistem proporsional terbuka bisa menjadi jalan tengah.

Pilihan terhadap sistem pemilihan umum proporsional terbuka sebenarnya upaya untuk membuka partisipasi rakyat sebagai pemilih untuk turut menentukan siapa wakil rakyat yang dikehendaki. Meskipun demikian, efek samping dari penerapan sistem proporsional terbuka dalam tiga kali pemilu terakhir, memang perlu dicarikan solusinya.
Sistem pemilu proporsional terbuka sebenarnya sudah mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2004, namun penerapannya masih belum berdampak pada calon legislatif terpilih.
Pemilih sudah disuguhi nama calon legislatif tapi tidak secara langsung menentukan terpilihnya wakil rakyat. Caleg terpilih tetap ditentukan berdasarkan nomor urutnya.
Penerapan sistem pemilu proporsional terbuka secara penuh yang dibarengi dengan terpilihnya caleg berdasarkan suara terbanyak resmi diberlakukan sejak Pemilu 2009.
Pilihan terhadap sistem pemilihan umum proporsional terbuka sebenarnya upaya untuk membuka partisipasi rakyat sebagai pemilih untuk turut menentukan siapa wakil rakyat yang dikehendaki
Di pemilu ini, pemilih, selain memilih partai, ia juga berhak memilih atau mencoblos calon legislatif yang ia kehendaki. Jadi mekanismenya, kursi yang berhasil diraih partai akan diduduki oleh caleg dari partai tersebut yang memiliki suara terbanyak di daerah pemilihan tertentu.
Artinya, tingkat persaingan caleg sebenarnya relatif terbuka dan cenderung bebas. Caleg justru tidak saja bersaing dengan caleg yang berbeda partai politik, namun juga berkontestasi dengan caleg yang berasal dari partai politik yang sama.
Fenomena persaiangan yang relatif terbuka inilah yang kemudian membuka ruang bagi hadinya praktik politik uang yang lebih masif. Kondisi ini berlangsung hingga tiga pemilu terakhir.
Itulah mengapa ketentuan sistem pemilu proporsional terbuka ini kembali diajukan uji meteri ke Mahkamah Konstitusi. Uji materi terutama terkait ketentuan di Pasal 68 Ayat (2) UU 7 tahun 2017. Pasal itu mengatur, pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Enam pemohon yang didampingi Sururudin, Iwan Maftukhan, dan Aditya Setiawan selaku kuasa hukum meminta Mahkamah Konstitusi mengganti sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Pasalnya, sistem proporsional terbuka dinilai bertentangan dengan konstitusi serta menimbulkan masalah multidimensi seperti politik uang serta memperlemah identitas kepartaian (Kompas, 30/12/2022).
Fakta adanya uji materi inilah yang kemudian menjadi salah satu isu yang dikemukakan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari yang menyinggung soal kemungkinan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka kembali ke daftar tertutup.
Pernyataan ini pun menuai kritik. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang aktif di isu kepemiluan juga menolak wacana kembalinya sistem pemilu ke porporsional tertutup.
Tidak hanya itu, delapan dari sembilan fraksi di DPR menolak penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Mereka adalah Fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.
Hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang setuju dengan penerapan kembali sistem proporsional tertutup atau pemilih hanya mencoblos gambar partai di pemilu.
Baca juga : Survei ”Kompas”: Calon Anggota Legislatif Beri Insentif Elektoral ke Partai
Efek samping
Sikap PDI-P yang mendorong sistem proporsional tertutup beralasan karena peserta pemilu adalah partai politik, bukan calon legislatif. Sistem pemilu proporsional tertutup juga lebih tepat untuk diterapkan di tengah ketidakpastian global. Bagi PDI-P, sistem pemilu proporsional tertutup bisa menyederhanakan proses dan menghemat biaya penyelenggaraan pemilu.
Memang kalau kita lihat dan belajar dari tiga pemilu terakhir, fenomena yang terjadi adalah munculnya efek samping dari sistem proporsional terbuka dengan caleg suara terbanyak ini.
Selain fenomena politik uang, biaya politik yang dikeluarkan caleg juga tidak murah. Sistem ini menekankan pada kontestasi yang bertumpu pada pertarungan antar caleg (candidate center) bukan bertumpu pada partai politik.
Efek samping ini juga diakui oleh organisasasi keagamaan seperti halnya sikap yang dikemukakan oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah yang juga mendorong penerapan sistem proporsional tertutup.

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari (kanan) menjabat tangan Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir (tengah) dalam pertemuan di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Dalam pertemuan yang berlangsung tertutup tersebut, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari disambut langsung oleh Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir. PP Muhammadiyah mengingatkan agar Pemilu 2024 tidak hanya menjadi ajang memperebutkan kekuasaan, tetapi juga untuk membangun persatuan dan kemajuan bangsa.
Bagi Muhammadiyah, sistem pemilu proporsional tertutup bisa mengurangi kanibalisme politik yang berpotensi menimbulkan polarisasi di masyarakat. ”Dengan sistem tertutup atau terbuka terbatas, diharapkan praktik politik uang dapat berkurang,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti (Kompas,4/1/2023)
Selain soal efek samping dengan maraknya politik uang dan pelemahan institusi partai politik, penerapan sistem pemilu proporsional terbuka juga secara teknis lebih merepotkan dan menyulitkan pemilih. Selain teknis pencoblosan surat suara antara partai dan caleg, pemilih juga akan dihadapkan dengan banyaknya partai politik yang menjadi peserta pemilu.
Data KPU mencatat, jumlah suara tidak sah di pemilih legislatif tercatat masih tinggi. Di Pemilu 2019 suara tidak sah mencapai 17,5 juta atau sekitar 11,1 persen dari suara nasional.
Angka ini sedikit lebih menurun jika dibandingkan dua pemilu sebelumnya. Di Pemilu 2014 suara tidak sah di pemilihan umum legislatif mencapai 14,6 juta (10,5 persen dari suara nasional). Sementara di Pemilu 2009 angkanya lebih besar lagi, yakni mencapai 17,5 juta suara tidak sah atau setara dengan 14,4 persen suara nasional.
Baca juga : Delapan Fraksi di DPR Tolak Kembali ke Sistem Proporsional Tertutup
Mandat rakyat
Namun, dari sekian efek samping yang ada, sepanjang tiga pemilu terakhir yang sudah menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka dengan mekanisme suara terbanyak bagi caleg terpilih, adalah potret mendekatkan pilihan rakyat yang memberikan mandatnya secara langsung kepada caleg yang dikehendaki terasa semakin terbuka.
Pemilih bisa menentukan caleg pilihannya, bahkan pamor caleg turut menentukan keterpilihannya, apapun partai politik yang menjadi kendaraannya.
Data KPU juga mencatatkan, ada kecenderungan pemilih lebih antusias menggunakan hak pilihnya dengan mencoblos nama caleg. Data Pemilu 2019 menyebutkan, dari 16 partai politik peserta pemilu, kecenderungan suaranya lebih banyak disumbang oleh suara caleg dibandingkan suara murni partai politik.
Rata-rata suara caleg menyumbang sekitar 70 persen terhadap total suara partai politik. Hal ini mengindikasikan, pemilih cenderung antusias menggunakan hak pilihnya karena bisa mencoblos caleg yang dikehendakinya.

Terkait analisis adanya pelemahan partai politik dengan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka, sedikit banyak juga terpatahkan. Bagaimanapun, daftar caleg tetap menjadi otoritas partai politik, bahkan fenomena munculnya favoritisme caleg oleh partai politik juga terjadi sebagai antitesis dari sistem pemilu proporsional terbuka itu sendiri.
Pengalaman ini terjadi di Pemilu 2019. Gejala favoritisme ini tampak dari kasus pergantian calon legislatif terpilih di Pemilu 2019 lalu. Sejumlah nama calon legislatif, baik DPR maupun DPRD, menjadi korban atas keputusan sepihak partai politik.
Mereka yang berjuang untuk mendapatkan suara pemilih harus rela tunduk pada keputusan partai yang memutuskan calon legislatif lain untuk terpilih menduduki kursi legislatif dengan sejumlah alasan.
Gejala penggantian caleg terpilih cenderung diduga atas peran elite partai di tingkat pusat yang semakin mengindikasikan ada gejala favoritisme dalam tubuh partai terhadap caleg.
Ada caleg yang memiliki akses dan dekat dengan pengurus partai di tingkat pusat yang cenderung lebih diuntungkan terkait kepentingan elektoral di pemilu. Sementara di satu sisi, ada caleg yang boleh jadi tidak memiliki akses sekuat dari caleg satunya, yang kemudian cenderung dirugikan terkait urusan elektoral mereka di pemilu.
Baca juga : Evaluasi Pemilu Dilema Sistem Proporsional Terbuka
Solusi
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana solusi untuk menengahi “perdebatan” antara tetap mempertahakan sistem pemilu proporsional terbuka atau kembali ke sistem pemilu proporsional ini ? Pada akhirnya apapun pilihan sistem pemilu tetap mengandung kelemahan dan kelebihan.
Pertimbangan terbesar penerapan sistem pemilu proporsional terbuka dengan penerapan caleg terpilih berbasis suara terbanyak adalah untuk mendekatkan pada pilihan rakyat. Tentu, saat itu semangatnya adalah upaya melawan tertutupnya akses pemilih untuk turut menentukan wakil rakyat ketika sistem pemilu masih proporsional tertutup.
Pemerhati pemilu dan demokrasi, Masykurudin Hafidz, menawarkan jalan tengah untuk menjadi jembatan antara keduanya. Jalan tengah itu dengan menambal kelemahan-kelemahan yang ada sebagai efek samping dari proporsional terbuka. Misalnya, proporsional terbuka menyuburkan politik uang.
Menurut Masykurudin, kelemahan ini bisa diatasi dengan tiga cara, yaitu menerapkan teori supply-demand, patuh terhadap pengumpulan dan distribusi biaya kampanye, membangun soliditas calon serta kebersamaan dalam kampanye.

Mural tentang pemilu menghiasi tembok di Dukuh Atas, Jakarta, Rabu (26/1/2022). Jadwal pemilu yang telah disepakati, 14 Februari 2024, diharapkan akan membuat persiapan pelaksanaannya lebih matang agar persoalan yang terjadi pada Pemilu 2019 tak terulang.
“Sekuat-kuatnya permintaan (demand) masyarakat pemilih terhadap politik uang, jika partai politik atau calon tidak memberi (supply) maka politik uang tidak terjadi. Kunci ada atau tidak adanya politik uang bukan pada penerima, tetapi pada pemberi. Jika peserta pemilu bersama dengan pelaksana kampanyenya sepakat untuk tidak memberikan uang, maka politik uang tidak terjadi”, ungkapnya.
Solusi lainnya tentu adalah mengembalikan “perdebatan” ini setelah perhelatan pemilihan umum. Bagaimanapun, saat ini sejumlah tahapan pemilu sudah berjalan.
Perbincangan soal diubah tidaknya sistem pemilu ada baiknya dilakukan saat revisi undang-undang pemilu nanti setelah selesainya semua proses tahapan Pemilu 2024.
Apalagi delapan fraksi DPR meminta Mahkamah Konstitusi konsisten pada putusan sebelumnya dengan mempertahankan Pasal 168 dengan penerapan sistem pemilu proporsional terbuka. Terlepas apapun pilihannya, mendekatkan pilihan rakyat terhadap proses pemilu, tetap harus diutamakan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Ini Pandangan Muhammadiyah dan NU Soal Sistem Pemilu