Ini Pandangan Muhammadiyah dan NU Soal Sistem Pemilu
Diskursus mengenai uji materi sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi; proporsional daftar tertutup atau daftar terbuka, mengisi ruang publik beberapa waktu terakhir. Bagaimana sikap Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama?
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
Muhammadiyah mendukung perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup atau terbuka terbatas.
Sistem proporsional tertutup atau terbuka terbatas dianggap bisa mengurangi kanibalisme politik dan praktik politik uang.
Nahdlatul Ulama menyerahkan wacana sistem pemilu kepada pembentuk undang-undang maupun penyelenggara pemilu.
JAKARTA, KOMPAS — Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, turut berpendapat mengenai polemik sistem pemilu. Muhammadiyah mendukung perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup atau proporsional terbuka terbatas, sedangkan NU menyerahkan sepenuhnya pilihan sistem itu ke pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, sesuai keputusan Muktamar Muhammadiyah, ada dua usulan mengenai sistem pemilu. Muhammadiyah mengusulkan agar sistem proporsional terbuka diganti dengan proporsional tertutup sehingga pemilih hanya memilih tanda gambar partai politik. Sementara usulan kedua, menggantinya dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Pemilih bisa memilih parpol atau nama calon anggota legislatif yang penghitungannya menggunakan bilangan pembagi pemilih.
”Dengan sistem proporsional terbuka terbatas itu, suara pemilih masih terakomodasi dan masih ada peluang bagi calon anggota legislatif untuk memiliki kesempatan terpilih, tidak di nomor urut yang teratas,” ujarnya seusai pertemuan dengan pimpinan Komisi Pemilihan Umum di gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (3/1/2023).
Saat memberikan sambutan dalam ”Catatan Akhir Tahun 2022 KPU, Menyongsong Pemilu Tahun 2024”, Kamis (29/12), Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengungkapkan kemungkinan pemungutan suara di Pemilu 2024 dilakukan dengan sistem proporsional tertutup. Namun, hal itu bukan berarti KPU menyarankan agar pemilu digelar menggunakan sistem proporsional tertutup. Pernyataan itu dilontarkan karena ada yang sedang mengajukan gugatan tentang pasal itu ke MK (Kompas, 30/12/2022).
Mu’ti menuturkan, usulan proporsional tertutup dan proporsional terbuka terbatas sudah mengemukan sejak 2014. Perubahan sistem proporsional terbuka, diharapkan bisa mengurangi kanibalisme politik karena saat ini sesama caleg saling menjegal satu sama lain. Praktik-praktik seperti ini berpotensi menimbulkan polarisasi politik di masyarakat.
Selain itu, perubahan sistem pemilu itu diharapkan bisa mengurangi praktik politik uang. Sebab saat ini, kata dia, kekuatan kapital memiliki peran yang cukup kuat dalam memenangi kontestasi. ”Juga bisa mengurangi populisme politik yang kadang-kadang pemilih menentukkan pilihan bukan berdasarkan kualitas, tetapi berdasarkan popularitas,” tuturnya.
Melalui perubahan sistem pemilu, lanjut Mu’ti, diyakini parpol akan bersungguh-sungguh menyiapkan kadernya di lembaga-lembaga legislatif. Penguatan institusi parpol juga bisa terjadi karena mereka harus mendidik dan menyiapkan kader sebagai negawaran yang memikirkan masa depan bangsa.
Saat ditanya wartawan di Istana Negara Jakarta, Senin (2/1/2023), Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, NU menganggap wacana perdebatan mengenai sistem pemilu merupakan domain dari pembentuk undang-undang dan KPU. ”Terserah, terserah. Itu domain dari para politisi, partai-partai politik, dan KPU. Silakan ditetapkan aturannya dan kemudian laksanakan segala sesuatunya sesuai dengan aturan yang sudah disepakati,” ujarnya.
Ke depan, Gus Yahya menegaskan bahwa demokrasi harus dikonsolidasikan menjadi demokrasi yang rasional, transparan, dan adil bagi semua pihak. ”Itu soal kesepakatan. Jadi namanya gim harus ada aturan dasar yang disepakati dan gim itu dilaksanakan sesuai aturan. Jangan dilanggar aturan yang sudah disepakati. Soal aturan isinya apa saja, terserah. Sama saja sebetulnya,” ucapnya.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, kewenangan KPU sebatas pelaksana undang-undang. Oleh sebab itu, apa pun yang ditetapkan dalam undang-undang akan dilaksanakan oleh KPU. ”Kalau kemudian ketentuan atau norma-norma dalam undang-undang termasuk sistem pemilu diuji materi ke MK, KPU ikut apa yang kemudian diputuskan, jadi tidak ada kemudian KPU mengajukan ini itu. Demikian,” tuturnya.