Delapan Fraksi di DPR Tolak Kembali ke Sistem Proporsional Tertutup
Dari sembilan fraksi di DPR, hanya Fraksi PDI-P yang mendorong sistem pemilu dikembalikan ke sistem proporsional daftar tertutup. Delapan fraksi lain menolak dengan alasan menjaga kemajuan demokrasi.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengamati daftar calon sementara anggota DPR RI di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (19/9/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Delapan dari sembilan fraksi partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat menolak wacana perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka ke daftar tertutup. Mahkamah Konstitusi atau MK didesak agar tetap konsisten dengan putusan MK Nomor 22—24/PUU-VI/2008 yang mengamanatkan sistem pemilihan proporsional terbuka. Konsistensi itu penting sebagai wujud komitmen dalam menjaga dan mengambil peran memajukan demokrasi Indonesia.
Delapan fraksi yang menolak wacana penerapan sistem proporsional terbuka untuk pemilihan anggota legislatif adalah Fraksi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada Selasa (3/1/2023), kedelapan fraksi itu membuat pernyataan bersama menolak usulan sistem pemilu dikembalikan ke daftar tertutup. Hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mendukung wacana tersebut.
Pernyataan dimaksud ditandatangani 14 politisi, antara lain Ketua Fraksi Golkar Kahar Muzakkir, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Ketua Fraksi Gerindra Ahmad Muzani, Sekretaris Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa, Ketua Fraksi Nasdem Robert Rouw, Sekretaris Fraksi Nasdem sekaligus Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa, Ketua Fraksi PKB Cucun Ahmad Syamsurijal, dan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKB Yanuar Prihatin. Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono dan sekretarisnya Marwan Cik Hasan, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay, Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi, dan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PPP Syamsurizal turut menandatangani pernyataan tersebut.
Dalam pernyataan bersama itu, kedelapan fraksi menyatakan komitmen mereka untuk mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia ke arah yang lebih maju. Sejak reformasi 1998 atau 25 tahun lalu, demokrasi Indonesia terus berkembang mencari bentuk yang semakin ideal sebagaimana dikehendaki rakyat, tidak terkecuali dalam sistem pemilu. Sistem pemilihan dalam lima kali pemilu pascareformasi pun terus disempurnakan, yakni dengan semakin mendekatkan masyarakat dengan pilihan orisinalitasnya.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Ilustrasi Komisi II DPR RI menggelar rapat bersama Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk membahas pagu anggaran Kementerian Dalam Negeri 2021 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (21/9/2020).
Sebagaimana tertulis dalam konstitusi, Indonesia menganut sistem pemilihan langsung, baik untuk pemilihan presiden (pilpres), pemilihan kepala daerah (pilkada), maupun pemilihan anggota legislatif (pileg). Amanat UUD 1945 itu juga menjadi dasar bagi MK dalam menerbitkan Putusan MK Nomor 22—24/PUU-VI/2008 pada 28 Desember 2008. ”Sejak saat itu rakyat diberi kesempatan untuk bisa mengenal, memilih, dan menetapkan wakil mereka secara langsung orang per orang. Tidak lagi tertutup, tidak lagi menyerahkan sepenuhnya hanya melalui kewenangan parpol semata. Itulah kemajuan sekaligus karakteristik demokrasi kita,” tulis delapan fraksi parpol di DPR.
Capaian demokrasi tersebut semestinya dipertahankan dan terus dikembangkan, bukan malah dimundurkan. Hal itu bisa mewujud salah satunya dengan konsistensi MK. ”Kami meminta MK tetap konsisten dengan putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan Pasal 168 Ayat (2) UU No 7/2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia,” begitu bunyi pernyataan delapan fraksi parpol DPR tersebut.
Wacana penerapan kembali sistem pemilihan proporsional tertutup muncul seiring dengan adanya permohonan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang mengatur soal sistem proporsional terbuka itu dinilai bertentangan dengan konstitusi dan menimbulkan masalah multidimensi, seperti politik uang dan pelemahan identitas kepartaian.
Kami meminta MK tetap konsisten dengan putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan Pasal 168 Ayat (2) UU No 7/2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia
Meski uji materi masih dalam proses, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengungkapkan adanya kemungkinan pemungutan suara di Pemilu 2024 dilakukan dengan sistem proporsional tertutup. Dengan sistem itu, pemilih tidak lagi memilih calon anggota legislatif ataupun parpol, tetapi hanya gambar parpol peserta pemilu. Namun, ia juga mengatakan, itu adalah kemungkinan bukan berarti KPU menyarankan agar pemilu digelar menggunakan sistem proporsional tertutup.
Terkait dengan hal itu, kedelapan fraksi parpol di DPR juga mengingatkan KPU agar bekerja sesuai dengan amanat UU. Penyelenggara pemilu itu diharap tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapa pun, kecuali rakyat, bangsa, dan negara.
Jaga marwah MK
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan, di tengah persoalan ini, MK semestinya bisa menjaga marwahnya sebagai penjaga konstitusi. ”Saat ini tanggung jawab MK harus menjaga stabilitas politik dan harus menjaga marwah sebagai lembaga penjaga konstitusi benar-benar ditegakkan. Bukan sekedar lips service saja,” ujarnya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Sufmi Dasco Ahmad
Di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, sistem proporsional terbuka memberikan kesempatan bagi para kader parpol untuk menyosialisasikan dan mengampanyekan dirinya. Sistem tersebut juga lebih mampu mewujudkan prinsip pemerataan sekaligus memberikan keuntungan bagi parpol baru.
”Banyak partai baru yang ikut berkontestasi, tentunya juga harus diberikan kesempatan untuk ikut dalam pileg. Apabila dilakukan dengan sistem proporsional tertutup, parpol baru akan lebih sulit melakukan sosialisasi kepada masyarakat,” kata Dasco.
Taat konstitusi
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengungkapkan, partainya mendorong sistem proporsional tertutup karena peserta pemilu adalah parpol. PDI-P ingin mengutamakan mekanisme kaderisasi di internal karena partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu bukanlah parpol yang didesain hanya untuk memenangi pemilu, melainkan juga menjalankan fungsi kaderisasi dan pendidikan politik untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Dengan demikian, basis keterpilihan seorang anggota legislatif nantinya adalah kompetensi, bukan popularitas sebagaimana terjadi dalam sistem proporsional terbuka.
Sistem tertutup juga dinilai lebih tepat untuk diterapkan dalam konteks ketidakpastian global yang sedang terjadi. Sebab, sistem tersebut bisa menyederhanakan proses dan menghemat biaya penyelenggaraan pemilu. ”Jadi, ada penghematan sistem menjadi lebih sederhana, kemudian kemungkinan terjadinya manipulasi juga berkurang,” kata Hasto.
Meski demikian, PDI-P berkomitmen untuk selalu taat asas dan konstitusi. Pada 2008, ketika MK menerbitkan putusan yang mengamanatkan sistem proporsional terbuka, pihaknya pun menaatinya. ”Kami ini taat konstitusi. Bagi PDI-P, kami berpolitik dengan suatu prinsip, dengan suatu keyakinan berdasarkan konstitusi,” ujar Hasto.