Komisi II DPR Sentil KPU
Perubahan sistem pemilu yang diatur dalam UU Pemilu merupakan kewenangan DPR, pemerintah, dan MK. KPU hanya pelaksana undang-undang sehingga tidak tepat melontarkan wacana perubahan sistem pemilu.
JAKARTA, KOMPAS — Pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari mengenai adanya kemungkinan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka kembali ke daftar tertutup menuai kritik.
Komisi II DPR sampai memperingatkan bahwa KPU adalah pelaksana undang-undang sehingga tidak semestinya melontarkan pernyataan terkait substansi perundang-undangan. Perubahan sistem pemilu hanya bisa terjadi jika ada revisi Undang-Undang Pemilu oleh pemerintah dan DPR serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sejauh ini belum ada rencana pemerintah ataupun DPR untuk merevisi UU Pemilu untuk mengubah sistem pemilu. Perppu Nomor 1 Tahun 2022 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga tidak mengatur perubahan sistem pemilu. Artinya, pemilu masih menganut sistem proporsional daftar terbuka.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengingatkan, sistem pemilu bisa diubah hanya jika UU Pemilu direvisi dan diterbitkannya perppu yang melibatkan pemerintah dan DPR. Perubahan ketentuan undang-undang juga bisa terjadi jika ada putusan MK.
”Jadi, hanya tiga institusi itu yang berwenang mengubah sistem pemilu. Saudara Hasyim (Ketua KPU) dalam kapasitas apa mengeluarkan pernyataan seperti itu? KPU adalah institusi pelaksana undang-undang,” kata Doli di Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Saat memberikan sambutan dalam ”Catatan Akhir Tahun 2022 KPU, Menyongsong Pemilu Tahun 2024”, Kamis (29/12) pagi, Hasyim mengungkapkan kemungkinan pemungutan suara di Pemilu 2024 dilakukan dengan sistem proporsional tertutup. Pemilih tidak lagi memilih calon anggota legislatif ataupun partai politik, tetapi hanya gambar parpol peserta pemilu.
”Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” ujarnya.
Baca juga : Rakernas PDI-P Rekomendasikan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Namun, Hasyim menegaskan bahwa pernyataan tersebut bukan berarti KPU menyarankan agar pemilu digelar menggunakan sistem proporsional tertutup. Pernyataan itu dilontarkan karena ada yang sedang mengajukan gugatan tentang pasal itu ke MK.
Hanya tiga institusi itu yang berwenang mengubah sistem pemilu. Saudara Hasyim (Ketua KPU) dalam kapasitas apa mengeluarkan pernyataan seperti itu? KPU adalah institusi pelaksana undang-undang.
Sebab, dari beberapa kasus uji materi, MK pernah mengubah beberapa aturan di UU Pemilu, misalnya soal verifikasi parpol yang awalnya dilakukan ke semua parpol diubah menjadi hanya parpol nonparlemen dan parpol baru. Begitu pula MK pernah mengubah sistem proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka pada sejak Pemilu 2004.
Uji materi
Saat ini, MK memang tengah menguji materi pasal-pasal yang mengatur sistem proporsional daftar terbuka dalam UU Pemilu. MK diminta untuk mengganti sistem pemilu anggota legislatif dari sistem proporsial terbuka menjadi sistem proporsional tertutup. Pemilih nantinya diharapkan tidak lagi mencoblos gambar dan nomor urut calon anggota legislatif, tetapi cukup memilih gambar partai.
Sistem proporsional terbuka dinilai bertentangan dengan konstitusi serta menimbulkan masalah multidimensi, seperti politik uang, serta memperlemah identitas kepartaian.
Permohonan itu diajukan enam warga negara yang berasal dari beberapa provinsi yang didampingi oleh Sururudin, Iwan Maftukhan, dan Aditya Setiawan selaku kuasa hukum. Mereka mempersoalkan pasal-pasal yang terkait dengan ketentuan sistem proporsional terbuka, baik terkait pencalonan maupun penentuan kursi di UU Pemilu, seperti Pasal 168 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) dan lainnya.
Pemohon mendalilkan, sistem proporsional terbuka bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 yang memberi tempat yang penting bagi partai politik dalam pemilu. Sebagai salah satu aktor utama dalam pemilu, partai merekrut bakal calon anggota legislatif sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UU Partai Politik. Dengan demikian, pengurus partailah yang seharusnya menentukan seleksi caleg, membuat daftar urut, sekaligus menentukan caleg terpilih.
Sistem pemilihan proporsional terbuka dinilai pemohon membuka banyak persoalan, termasuk kerumitan di dalam pemilu. Banyaknya daftar caleg membingungkan pemilih dan juga penyelenggara karena harus membuat desain surat suara dengan banyak gambar caleg.
Sistem tersebut juga berperan dalam pemborosan keuangan negara karena menyebabkan praktik pemilu berbiaya tinggi.
MK sudah menggelar tiga kali sidang dalam perkara tersebut. Sidang terakhir dengan agenda mendengarkan keterangan dari DPR, pemerintah, dan Komisi Pemilihan Umum sedianya digelar pada 20 Desember lalu. Akan tetapi, sidang diundur karena DPR berhalangan hadir mengingat tengah reses dan pemerintah belum siap dengan keterangannya.
Doli berharap MK bisa bersikap netral dan obyektif dalam memutus uji materi UU Pemilu. MK juga perlu memahami posisi UU Pemilu yang sangat kompleks.
Perubahan pasal-pasal UU Pemilu secara parsial dan sporadis berdasarkan putusan MK justru akan menimbulkan kerumitan baru dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Padahal, saat ini tahapan pemilu sudah berjalan.
Kemunduran demokrasi
Kritik terhadap pernyataan Hasyim juga disampaikan Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya. ”Selain tidak patut dan tidak etis, pernyataan tersebut juga melangkahi wewenang dan kapasitasnya,” katanya.
Lebih dari itu, tambahnya, wacana kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi. Sebab, sistem proporsional terbuka adalah antitesis dari sistem proporsional tertutup yang diterapkan sebelumnya.
Sistem proporsional terbuka dipilih untuk menjawab permasalahan kesenjangan representasi, kelemahan pengenalan, dan saluran aspiratif antara rakyat dan wakilnya akibat penerapan sistem proporsional tertutup.
”Jika benar kembali ke sistem proporsional tertutup, maka (akan) terjadi kemunduran luar biasa. Selain menutup peluang rakyat untuk mengenal caleg, rakyat juga dipaksa memilih kucing dalam karung,” katanya.
Baca juga : Mencari Sistem Pemilu Ideal bagi Indonesia, Proporsional Terbuka atau Tertutup?
Tidak bisa dimungkiri, masih ada berbagai pekerjaan rumah dalam implementasi sistem proporsional terbuka. Namun, itu bukan alasan untuk memundurkan terobosan yang sudah pernah dibuat.
Willy mengingatkan, sistem proporsional tertutup merupakan representasi kekuatan oligarki. Dalam sistem tersebut, upaya mendapatkan nomor urut caleg menjadi pertarungan tersendiri di internal partai. Aspek kedekatan dengan penguasa umumnya lebih berpengaruh ketimbang kompetensi seorang caleg. Sebaliknya, dalam sistem proporsional terbuka setiap orang dari berbagai latar belakang dimungkinkan untuk bisa terlibat dalam politik elektoral.
Sementara itu, dugaan adanya manipulasi hasil verifikasi faktual parpol calon peserta Pemilu 2024 berbuntut panjang. Hingga saat ini setidaknya sudah 20 anggota KPU pusat, provinsi, dan kabupaten/kota diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Salah satunya adalah anggota KPU, Idham Holik.
Mereka dinilai tak bisa menjaga integritas dan kehormatan sebagai penyelenggara pemilu. Kuasa hukum pelapor, Ibnu Syamsu dari Themis Indonesia Law Firm, menegaskan, laporan dugaan pelanggaran etik ke DKPP bukan merupakan upaya untuk menunda pemilu. Laporan itu merupakan upaya dalam memastikan pemilu yang berintegritas dan bersih bisa terwujud.