Mencari Sistem Pemilu Ideal bagi Indonesia, Proporsional Terbuka atau Tertutup?
Kendati sudah diterapkan pada empat kali pemilu, penggunaan sistem proporsional daftar terbuka masih juga diperdebatkan. Dorongan untuk mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup masih terus mengemuka.
Wacana perombakan sistem pemilihan umum selalu saja muncul menjelang perhelatan politik lima tahunan itu. Liberalisasi politik, ongkos politik tinggi, serta maraknya praktik politik uang selalu menjadi alasan untuk mengubah sistem pemilihan proporsional daftar terbuka yang sudah diterapkan pada empat pemilu terakhir.
Gagasan mengevaluasi sistem pemilu pun kembali mengemuka menjelang Pemilu 2024. Banyak kalangan berpandangan permasalahan yang muncul Pemilu 2019 akan kembali terulang di Pemilu 2024 jika masih menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Penerapan sistem proporsional daftar tertutup seperti pada Pemilu 1999 kembali menjadi pilihan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Keinginan untuk mengembalikan sistem proporsional terbuka ke proporsional tertutup itu salah satunya terungkap dalam diskusi publik bertajuk ”Menimbang Sistem Pemilu 2024: Catatan dan Usulan” yang diselenggarakan CSIS bekerja sama dengan Akbar Tandjung Institute, Senin (1/11/2021), secara daring dan luring.
Hadir sebagai pembicara dalam forum tersebut, yakni Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto; Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia; Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati; Komisioner Komisi Pemilihan Umum Viryan Aziz; Direktur Riset dan Publikasi Akbar Tandjung Institute Alfan Alfian; serta Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Philips J Vermonte.
Dalam paparannya, Hasto menjelaskan bahwa secara historis, para pendiri bangsa sudah dengan tepat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Namun, di Indonesia telah terjadi liberalisasi yang menimbulkan besarnya biaya politik. Sebagaimana dialami di internal PDI-P, ketika sistem satu orang hanya menggunakan hak pilihnya sekali dan bernilai satu suara (one man, one vote, one value) digunakan dalam pemilihan struktur pengurus partai, hal itu justru menimbulkan praktik politik uang.
Padahal, kata Hasto, para pendiri bangsa telah mewariskan nilai-nilai, seperti musyawarah mufakat dan demokrasi yang berkeadilan sosial. Di sisi lain, dampak dari liberalisasi politik adalah kapitalisasi kekuasaan politik, penguatan primordialisme sebagai dampak dari demokrasi langsung, konflik Pancasila dengan ideologi transnasional, serta perebutan kewenangan di antara lembaga penyelenggara pemilu.
”Karena itulah dalam menata sistem pemilu kita harus berangkat dari penataan sistem politik yg dilakukan dengan menggali kembali spirit pendiri bangsa sebagai saripati Pancasila. Gotong royong sekarang dipopulerkan dengan istilah kolaborasi, demokrasi musyawarah dipopulerkan dengan demokrasi deliberatif,” kata Hasto.
Terkait dengan sistem pemilu, PDI-P mengusulkan agar dikembalikan ke sistem proporsional daftar tertutup. Alasannya, peserta pemilu adalah partai politik, bukan individu. Selain itu penerapan sistem proporsional terbuka selama ini membuat tokoh atau sosok dengan pemahaman politik dan idealisme kuat justru tersingkir karena kalah secara elektoral.
Dalam sistem proporsional terbuka, penetapan pemenang pemilu didasarkan pada perolehan suara terbanyak. Calon anggota legislatif (caleg) yang mendapat suara terbanyaklah yang lolos masuk parlemen sehingga semua caleg, tanpa melihat nomor urut pencalonan, punya peluang yang sama untuk duduk DPR ataupun DPRD.
Adapun pada sistem proporsional tertutup, pemenang pemilu didasarkan pada nomor urut pencalonan yang ditetapkan oleh partai politik. Dengan begitu hanya caleg dengan nomor urut teratas yang paling berpeluang lolos ke parlemen.
Tak hanya Hasto, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia juga berpendapat bahwa sistem pemilu yang paling ideal bagi Indonesia adalah proporsional tertutup murni. Namun, dari kenyataan yang ada, perlu dipertimbangkan untuk menerapkan sistem campuran dengan mempertahankan sistem keterwakilan. Dengan demikian, kader partai tetap dihargai, sementara tokoh independen juga tetap memiliki peluang.
Baca juga: Mempertimbangkan Sistem Pemilu Campuran
Pendapat para politikus itu diperkuat Direktur Riset dan Publikasi Akbar Tandjung Institute Alfan Alfian. Menurut dia, sistem proporsional tertutup telah memiliki legitimasi historis yang kuat di Indonesia karena pertama kali diterapkan pada pemilu tahun 1955. Sistem dengan daftar tertutup itu pula yang diterapkan dalam pemilu selama Orde Baru, serta pemilu pertama setelah reformasi tahun 1999.
Baru pada tahun 2004 sistem pemilu diubah menjadi daftar terbuka hingga saat ini. Alfan berpandangan, dalam sistem proporsional terbuka, parpol tidak sepenuhnya berdaulat untuk menentukan caleg. Sebab pada praktiknya, parpol malah tergoda dengan realitas populisme politik.
Oleh karena itu, Alfan berpandangan bahwa sistem proporsional tertutup lebih sesuai dengan kondisi Indonesia. Dengan demikian, masyarakat cukup memilih parpol sehingga pelaksanaan pemilu dinilai akan lebih sederhana. ”Menerapkan kembali sistem proporsional tertutup itu memiliki pertimbangan sejarah dan punya basis konstitusi. Kemudian sistem proporsional tertutup menerapkan pertimbangan demografis dan geografis,” katanya.
Ambang batas bertingkat
Selain sistem pemilu, Hasto juga berpandangan perlunya penerapan ambang batas secara bertingkat, yakni minimal 5 persen untuk parpol dalam pemilihan anggota DPR, 4 persen untuk DPRD provinsi, dan 3 persen untuk DPRD kabupaten/kota. Ambang batas tersebut harus terus dinaikkan karena pemerintahan presidensial memerlukan dukungan multipartai sederhana. Dengan demikian, jumlah partai di DPR harus dibatasi.
Doli menambahkan, sistem pemilu sebagai bagian dari demokrasi perlu diperkuat dengan mengingat tiga hal, yakni sistem presidensial yang telah dipilih sebagai sistem pemerintahan, memperkuat sistem kepartaian, serta melaksanakan demokrasi dengan biaya yang tidak tinggi. Sistem pemerintahan presidensial tersebut akan efektif jika dijalankan dengan sistem parlemen multi sederhana.
Karena itu, Doli sependapat dengan Hasto bahwa ambang batas parlemen juga harus ditambah. Selain itu, mengenai besaran alokasi kursi dan daerah pemilihan (dapil), dinilai bahwa semakin kecil atau sempit jumlah kursi per dapil, akan semakin mendekatkan keterwakilan masyarakat.
”Idealnya, jumlah partai itu pada akhirnya 6 sampai 7 atau 8 partai. Kita tidak melarang siapa pun untuk mendirikan partai politik karena itu dijamin UUD 1945. Tapi juga ada proses seleksi yang cukup ketat yang berdasarkan keinginan masyarakat kita untuk mewakilinya di lembaga legislatif,” kata Doli.
Mengenai ambang batas kepemilikan kursi di DPR untuk mencalonkan presiden juga perlu diubah menjadi 10 sampai 15 persen. Besaran ambang batas tersebut dapat memunculkan 7 sampai 8 pasangan meski dalam pelaksanaannya akan tetap terjadi koalisi.
Tantangan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa menyampaikan bahwa tantangan Pemilu 2024 adalah mengombinasikan sistem proporsionalitas terbuka dengan dapil besar serta pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, serta DPD menjadi satu. Hal itu menyebabkan kompleksitas bagi pemilih serta aspek manajerial yang berat.
Baca juga: Sistem Pemilu di Indonesia Perlu Dikaji Komprehensif
Selain itu, lanjut Khoirunnisa, menaikkan ambang batas tidak serta-merta membuat jumlah partai semakin sedikit. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk menyederhanakan partai adalah memperkecil daerah pemilihan. Masalah lainnya yang juga mesti dievaluasi adalah peningkatan suara tidak sah yang terus meningkat sejak Pemilu 1999. Terakhir, pada 2019, persentase suara tidak sah mencapai 11,12 persen atau 17,5 juta suara.
”Jangan-jangan pemilu kita memang pemilu yang kompleks, pemilih dikondisikan pada situasi yang rumit,” kata Khoirunnisa.
Pada Pemilu 2024, Khoirunnisa berharap agar suara tidak sah dapat diminimalkan atau tidak membesar. Salah satunya adalah dengan menyederhanakan surat suara.
Pemilu 2024 menjadi sangat penting karena setelah itu, generasi kepemimpinan di Indonesia akan berubah. Dalam konteks Indonesia yang plural, pemilu menjadi alat penyelesaian perbedaan, yakni melalui cara elektoral.
Anggota KPU, Viryan, mengingatkan, beban berat penyelenggaraan pemilu adalah adanya petugas pemilu yang wafat. Pada 2014, terdapat 144 orang wafat, sementara pada 2019 meningkat menjadi 817 orang. Itu belum termasuk petugas pemilu yang jatuh sakit
Dari aspek teknis, kata Viryan, sistem proporsional terbuka cenderung tidak memudahkan pemilih meski proporsional tertutup pun bisa demikian jika jumlah peserta pemilu sangat banyak. Dari pemilu yang sudah berjalan, pemilih banyak yang kesulitan menemukan calon yang hendak dipilih. Hal itu terkonfirmasi dengan jumlah surat suara tidak sah yang tinggi. Masalah lainnya adalah daftar pemilih tetap (DPT).
”Dengan kondisi itu, jika tidak ada perubahan signifikan, berapa petugas Pemilu 2024 yang akan wafat?” ujarnya.
Saat ini, KPU berupaya agar surat suara dapat disederhanakan. Selain itu, agar tidak mengulangi peristiwa petugas pemilu yang wafat, pelaksanaan pemilu dapat dilaksanakan secara bertingkat. Dengan demikian, waktu yang diperlukan akan dapat ditekan. Selain itu, persyaratan bagi petugas juga akan disederhanakan.
Sementara itu, Philips berpandangan, Pemilu 2024 menjadi sangat penting karena setelah itu, generasi kepemimpinan di Indonesia akan berubah. Dalam konteks Indonesia yang plural, pemilu menjadi alat penyelesaian perbedaan, yakni melalui cara elektoral. Oleh karena itu, sistem kepartaian dengan sistem pemilihan sudah semestinya saling menopang, bukan menegasikan.
”Apa persoalannya? Intinya, tidak ideal presidensialisme dengan partai yang banyak. Sistem proporsional terbuka didukung karena kepercayaan kepada partai masih rendah,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Philips, yang mesti dilakukan adalah mengadopsi sistem yang memperkuat parpol secara demokratis. Selain itu, Philips juga tidak setuju jika pileg dipisah dari pilpres. Sebab, hal itu akan mengorbankan pemilih.
Dari sisi pemilih, koalisi yang gemuk akan membuat pemilih tidak bisa melihat siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kegagalan atau sebaliknya. Padahal, pemilu menjadi ajang yang menyenangkan karena pada saat itu terjadi mekanisme pemberian hadiah bagi partai yang dianggap berhasil dan hukuman bagi yang tidak dengan tidak dipilih.