Survei ”Kompas”: Calon Anggota Legislatif Beri Insentif Elektoral ke Partai
Survei ”Kompas” menunjukkan sebagian besar pemilih masih menekankan faktor partai politik dalam pilihannya, Namun, tak sedikit pula yang lebih memilih sosok caleg tanpa memedulikan apa partai politik pengusungnya.
Oleh
YOHAN WAHYU
·6 menit baca
Perebutan pengaruh di antara partai politik tidak hanya dihadapkan pada upaya mengampanyekan keunggulan masing-masing partai, tetapi juga dihadapkan pada siapa calon anggota legislatif yang diajukan. Pemilu 2019 memberikan pengalaman, sosok calon anggota legislatif memberikan insentif elektoral kepada partai politik, termasuk partai politik pendatang baru.
Hasil survei periodik Kompas merekam bagaimana cara pemilih menggunakan hak pilihnya ketika menghadapi pemilihan umum legislatif. Sebagian besar pemilih masih menekankan faktor partai politik dalam pilihannya, bahkan melakukan penyeragaman pilihan di semua tingkatan pemilu legislatif, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Namun, tidak sedikit pula yang kemudian lebih memilih sosok calon anggota legislatif (caleg) tanpa memedulikan apa partai politik yang mengusung mereka.
Partai politik memang masih menjadi primadona dalam hal orientasi pilihan di pemilu bagi separuh lebih responden dalam survei Litbang Kompas, Januari 2022. Sebanyak 44,2 persen responden cenderung memberikan pilihan ke partai politik yang sama, baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota. Artinya, ada kecenderungan pragmatisme bagi pemilih untuk lebih mudah menentukan pilihan dengan penyeragaman parpol. Sementara ada pula 20,8 persen responden yang cenderung memilih partai politik yang berbeda untuk pilihan di pemilu legislatif.
Menariknya, hampir senada dengan kelompok yang memilih partai yang berbeda di semua tingkatan, 21,4 persen responden mengaku mencoblos caleg tanpa peduli apa partai politiknya. Tentu, kelompok terakhir yang disebutkan ini menjadi sinyal positif ada upaya kedekatan yang dibangun antara pemilih dan caleg yang dipilih. Sinyal ini menjadi penguatan dari sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak yang berhak menduduki kursi partai yang diterapkan sejak Pemilu 2009.
Sebanyak 44,2 persen responden cenderung memberikan pilihan ke partai politik yang sama, baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota.
Meskipun harus diakui, sebagian besar responden yang lebih memilih sosok caleg ini lebih banyak berlatar belakang pendidikan menengah dan tinggi. Dari kelompok responden pendidikan tinggi, 28,9 persen dari mereka lebih memilih caleg dalam pemilu tanpa peduli partai politiknya. Tidak jauh berbeda, di kelompok responden dengan pendidikan menengah, seperempat di antaranya juga lebih memilih caleg.
Berbeda dengan mereka yang berpendidikan tinggi dan menengah, kelompok responden dengan latar belakang pendidikan bawah hanya sebagian kecil dari yang menggunakan hak pilih di pemilu legislatif dengan memilih caleg. Kelompok ini lebih mengedepankan parpol dalam menentukan pilihan.
Secara teknis, hanya mencoblos logo partai politik di kertas suara memang lebih mudah dan praktis dibandingkan dengan harus melakukan tracking terhadap nama-nama caleg yang jumlahnya lebih dari 100 orang untuk satu daerah pemilihan di satu tingkatan pemilihan. Tampak sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak lebih mengandalkan pengetahuan dan kesadaran pemilih daaripada sekadar pengetahuan tentang gambar partai politik.
Calon anggota legislatif
Meskipun sebagian besar suara pemilih lebih banyak memilih partai politik, potensi pemilih mencoblos hanya nama caleg tetap terbuka lebar. Pengalaman di Pemilu 2019 menyebutkan, ada sejumlah nama caleg yang masuk dalam daftar peraih suara terbanyak dan memberikan dampak insentif elektoral kepada perolehan kursi partai.
Dari 10 nama peraih suara terbanyak, salah satunya adalah Ketua DPR Puan Maharani yang terpilih melalui PDI-P di Dapil Jawa Tengah V (Solo, Sukoharjo, Boyolali, Klaten). Suara Puan tercatat 404.034, paling besar dari semua caleg DPR pada Pemilu 2019. Raihan suara Puan setara dengan 44,9 persen dari total suara partai dan caleg PDI-P di Dapil Jawa Tengah V.
Seperti halnya Puan, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera juga masuk dalam 10 besar anggota legislatif yang meraih suara terbanyak pada Pemilu 2019. Hidayat maju melalui Dapil DKI Jakarta II. Suaranya mencapai 281.372 atau 58,9 persen dari total suara partai dan caleg di dapil tersebut. Perolehan suara Hidayat ini meningkat naik dua kali lipat dibandingkan dengan yang diraihnya pada Pemilu 2014 di dapil yang sama.
Lalu, apa dampak perolehan suara Puan dan Hidayat terhadap partainya? Ternyata keduanya turut memberikan insentif elektoral kepada partai dalam perolehan kursi. Suara yang diraih Puan mendongkrak perolehan kursi partai di Dapil Jateng V. Setelah berhasil merebut kursi pertama dan kedua, PDI-P menambah dua kursi lagi, yakni kursi kelima dan kedelapan (kursi terakhir) di Dapil Jawa Tengah V. Perolehan kursi PDI-P di dapil ini meningkat dibandingkan dengan Pemilu 2014, yakni tiga kursi.
Demikian juga insentif elektoral bagi kursi PKS dari perolehan suara Hidayat. Suara yang diraih Hidayat berdampak pada perolehan kursi PKS dari Dapil DKI Jakarta II (Jakarta Pusat dan luar negeri serta Jakarta Selatan).
Perolehan kursi PKS di dapil tersebut bertambah menjadi dua kursi dari sebelumnya hanya satu kursi yang diperoleh Hidayat Nur Wahid. Fenomena ini semakin menguatkan, ada relasi antara perolehan suara caleg dan potensi partai mendapatkan kursi. Jika caleg yang diusung popularitas dan elektabilitasnya melebihi partainya, ia lebih berpeluang memberikan insentif bagi penambahan kursi partai.
Partai baru
Potensi popularitas dan tingkat keterpilihan caleg yang tinggi bisa juga menjadi strategi bagi partai politik pendatang baru di Pemilu 2024. Dari sisi elektabilitas hasil survei periodik Kompas, partai baru memang masih belum mendapatkan perhatian responden survei. Namun, ketertarikan pemilih terhadap hadirnya partai baru berhasil ditangkap dalam survei ini. Hampir sepertiga responden menyatakan tertarik menjadikan partai-partai baru sebagai pilihan di pemilu nanti.
Namun, tantangan bagi partai baru tentu tidak mudah. Belum adanya partai baru yang muncul dalam tren elektabilitas partai di survei ini semakin menandakan pemilih masih cenderung menjatuhkan pilihan kepada partai-partai politik yang selama ini sudah ada, khususnya parpol yang berhasil mendudukkan kadernya di DPR.
Meskipun demikian, peluang partai baru tetap sama dengan partai lain. Sosok caleg akan menjadi kunci dan daya tarik bagi pemilih untuk menjatuhkan pilihan kepada partai politik. Kekuatan calon anggota legislatif ini pun harus merata di semua daerah pemilihan karena sebuah partai tetap akan dihadapkan pada ambang batas parlemen 4 persen agar suara yang diraih di pemilu bisa dikonversikan dalam kursi di DPR.
Pengalaman Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Pemilu 2019 bisa menjadi pelajaran. Di Dapil DKI Jakarta III, misalnya, nama Grace Natalie Louisa tercatat menjadi caleg yang meraih suara terbanyak di dapil tersebut, yakni 179.949 suara. Angka ini tercatat di urutan ke-25 teratas dari semua caleg DPR di seluruh Indonesia.
Hal yang sama dialami oleh caleg PSI lainnya, yakni Tsamara Amany, yang meraih suara terbanyak pertama, yakni mencapai 140.557 di Dapil DKI Jakarta II. Namun, karena PSI gagal melampaui suara minimal nasional 4 persen sebagai syarat ambang batas, suara yang diraih keduanya tidak berarti apa-apa bagi partainya.
Jadi jelas, syarat ambang batas parlemen tidak hanya menuntut popularitas calon caleg, tetapi juga membutuhkan kerja-kerja mesin partai secara nasional guna mendulang dukungan di pemilu. Insentif elektoral caleg akan lebih berdampak jika mesin partai juga bergerak lebih intensif.