Peringatan Hari Demokrasi Internasional jadi momentum meninjau kembali hubungan negara dan warganya. Korupsi dipandang menjadi penghambat paling besar bagi jalannya demokrasi. Di sini, partisipasi publik dinanti.
Oleh
Arita Nugraheni/Litbang Kompas
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga berswafoto dengan latar gapura hias di sekitar TPS 44, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara pada Pemilihan Presiden, Rabu (17/4/2019).
Hari Demokrasi Internasional yang diperingati setiap 15 September menjadi rambu untuk mendorong pemerintah memperkuat dan mengkonsolidasikan demokrasi. Indonesia perlu fokus menghadapi tantangan mensinergikan peran pemerintah, lembaga politik, dan masyarakat sipil. Harapannya, Indonesia dapat menjadi negara yang memiliki kualitas demokrasi unggul di mata dunia.
Jajak pendapat Kompas pada awal September 2022 ini merekam kebanggaan publik pada kualitas demokrasi Indonesia. Separuh responden menilai demokrasi Indonesia relatif sudah baik dan layak sejajar dengan negara-negara di Asia Tenggara. Sebagian besar dari kelompok ini bahkan menyebut kualitas demokrasi di tanah air lebih baik dibandingkan negara-negara sahabat.
Pendapat ini sejalan dengan capaian Indonesia dalam Indeks Demokrasi 2021 dari The Economist Intelligence Unit. Indonesia menjadi satu dari dua negara di Asia Tenggara berpredikat negara dengan peningkatan skor demokrasi terbaik. Penambahan skor Indonesia tercatat sebesar 0,41 poin dan berada di posisi kedua. Sementara Singapura bertambah 0,2 poin dan berada di urutan kesepuluh.
Secara global, Indonesia ada di peringkat ke-52. Sedangkan dalam lingkup Asia dan Australasia, Indonesia menempati posisi kesembilan. Malaysia duduk di peringkat keenam dalam Kawasan regional ini dan menjadi negara paling demokratis se-Asia Tenggara. Kuatnya demokrasi di Malaysia disokong oleh aspek proses elektoral dan kultur politik.
Negara paling unggul di regional Asia dan Australasia adalah Selandia Baru dengan skor 9,37. Angka ini turut menempatkan Selandia Baru di posisi kedua secara global dengan predikat full democracy. Negara lainnya yang menyandang status yang sama adalah Taiwan, Australia, Korea Selatan, dan Jepang. Negara-negara yang dianggap unggul demokrasinya ini berbagi kesamaan dalam kuatnya proses elektoral dan pluralisme.
Proses elektoral didefinisikan sebagai proses pemilihan umum (pemilu) yang diadakan secara berkala. Demokrasi yang sukses ditandai dengan penerimaan hasil pemilu antara pihak yang menang dan kalah, sehingga memungkinkan transfer kekuasaan secara damai. Indonesia perlu mendongkrak aspek ini, mengingat polarisasi pascapilpres masih menjadi batu sandungan bagi demokrasi di Tanah Air.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada Agustus 2022 merekam polarisasi atau keterbelahan masyarakat diakui publik terjadi pada berbagai isu. Misalnya saja, sebanyak 55,2 persen responden menyebut masyarakat sipil terbelah dalam menanggapi persoalan politik. Tidak hanya itu, tercatat 77,3 persen responden juga mengakui keterbelahan memperlemah peran masyarakat sipil. Tentu, fenomena polarisasi ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi wajah demokrasi negeri ini.
Keterbukaan
Meskipun demikian, polarisasi yang terjadi juga tidak lepas dari adanya keterbukaan bagi warga negara untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi. Setidaknya, separuh responden menyampaikan, demokrasi dalam memori mereka lebih dekat dengan kebebasan berekspresi seperti halnya demonstrasi. Bagi sebagian responden lainnya, demokrasi juga dimaknai sebagai suara rakyat untuk mencapai keadilan. Artinya, publik menyadari, partisipasi menjadi jantung dari demokrasi.
Selain menangkap memori responden terkait demokrasi, jajak pendapat Litbang Kompas juga mencatat keyakinan publik terhadap demokrasi Indonesia. Tujuh dari 10 responden yakin kualitas demokrasi di Indonesia akan membaik. Keyakinan ini disokong oleh baiknya proses pemilu dan kuatnya masyarakat sipil.
Sepertiga bagian responden menyebut berjalannya pemilu di Indonesia menjadi pendukung bagi jalannya demokrasi. Temuan ini selaras dengan hasil jajak pendapat satu tahun silam saat publik mengapresiasi pemilu yang bebas, jujur, dan adil.
Selain itu, 30,4 persen responden menyebut pentingnya penguatan masyarakat sipil sebagai tumpuan demokrasi. Responden menilai bahwa saat ini masyarakat sipil telah mengambil peran dalam mengawasi jalannya pemerintahan sebagai bagian dari kebebasan berpendapat.
Meski demikian, tidak sedikit yang menilai demokrasi di Indonesia dinilai masih jalan di tempat. Salah satunya disumbang dari penilaian responden yang menyebut kondisi demokrasi masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya.
Terpidana korupsi mengikuti penyuluhan antikorupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Tangerang, Banten, Selasa (20/04/2021). Penyuluhan yang diikuti 25 narapidana tindak pidana korupsi ini sebagai upaya pembekalan warga binaan agar nantinya bisa berkontribusi dalam pemberantasan korupsi saat nanti kembali ke masyarakat. Kegiatan ini juga untuk memeringatai Hari Kartini.
Korupsi
Salah satu yang menjadi penyumbang terbesar bagi tersendatnya jalannya demokrasi di mata publik adalah karena faktor korupsi. Persoalan laten korupsi dianggap oleh kelompok terbesar responden (43,2 persen) sebagai batu sandung berjalannya demokrasi. Hal ini tidak lepas dengan fenomena masih maraknya praktik korupsi yang melibatkan pejabat publik. Kondisi ini ditambah dengan kecenderungan melemahnya peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama setelah ruang geraknya berubah pasca direvisinya Undang-Undang KPK.
Selain korupsi, dalam proporsi yang hampir sama (22 persen), responden juga menyebut keterpurukan ekonomi dan perlakuan tidak sama di depan hukum, dan persoalan pelanggaran HAM, turut menjadi penghambat jalannya penguatan demokrasi.
Situasi ini perlu dialamatkan kepada pemangku kebijakan. Pemerintah perlu ambil bagian untuk menciptakan iklim demokrasi yang memberikan jaminan kesetaraan bagi publik. Sayangnya, animo masyarakat untuk terlibat dalam proses menguatkan demokrasi juga tidak terlalu kuat.
Hal ini setidaknya dinyatakan oleh hampir sepertiga responden yang memilih diam saat situasi yang tidak baik terjadi. Sebanyak 18,6 persen memilih untuk mengeluh pada orang yang senasib. Artinya, masih ada empat dari 10 publik yang memilih tidak menyuarakan kegelisahan yang tepat sasaran.
Untuk itu, langkah demokratis dari masyarakat sipil perlu diperkuat. Harapan kita bisa jadi tertuju pada sebagian kelompok responden yang cenderung lebih memilih aktif menyuarakan aspirasi kepada pemangku kepentingan, termasuk melalui kanal media sosial, dibandingkan hanya diam dan pasrah.
Tak pelak, mengikis penghambat demokrasi, terutama korupsi, rasanya menjadi prioritas untuk memgembalikan sekaligus memperkuat kepercayaan publik pada demokrasi. Korupsi ibarat racun yang bisa melumpuhkan bangunan demokrasi yang sudah dibangun dengan penuh perjuangan sejak era reformasi lebih dari dua dekade lalu. Peringatan Hari Demokrasi Internasional tahun ini harusnya menjadi momen baik untuk mengungkit stagnasi demokrasi.
Bagaimanapun Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi negara kuat melalui peningkatan kualitas demokrasi.