Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Memperkuat Partisipasi Politik Anak Muda
Memperkuat partisipasi politik anak muda menjadi pintu bagi penguatan demokrasi. Merekalah pemilih yang akan mendominasi di Pemilu 2024 nanti. Sebagai peserta pemilu, partai politik mesti melirik peran anak muda.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Partisipasi politik dari anak muda, yang menjadi bagian terbesar dari porsi pemilih di Indonesia, sangat penting untuk memperkuat bangunan demokrasi di negeri ini. Hanya saja, partisipasi politik generasi muda ini cenderung masih rendah. Perlu upaya nyata dari lembaga-lembaga politik untuk menarik keterlibatan anak muda dalam dunia politik.
Sejumlah ahli politik sepakat bahwa semakin banyak partisipasi dalam pengambilan keputusan semakin kuat demokrasi hadir. Sayangnya, partisipasi politik anak muda sebagai poros penting dalam demokrasi justru terpantau rendah. Tidak hanya di Indonesia, gejala ini muncul juga di Eropa.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada pertengahan Agustus 2022 lalu merekam, lima dari 10 responden muda jarang mengikuti pemberitaan politik, bahkan tidak sedikit yang mengaku tidak pernah sama sekali. Hanya seperempat responden yang mengikuti isu politik nasional maupun lokal, sebanyak 16 persen di antaranya menyebut sering dan 9,4 persen menyebut selalu mengikuti.
Dalam laku politik lainnya, empat dari 10 responden muda mengaku jarang turut serta dalam diskusi atau perdebatan politik di media sosial. Dalam proporsi yang serupa, mereka bahkan tidak pernah mengikuti sama sekali. Hanya 21,7 persen yang mengaku terlibat dalam diskusi daring dengan intensitas tinggi dan sedang (Kompas, 9/9/2022).
Perlu upaya nyata dari lembaga-lembaga politik untuk menarik keterlibatan anak muda dalam dunia politik.
Keterlibatan yang semakin rendah tampak pada keikutsertaan dalam kegiatan kelompok, organisasi, maupun partai politik. Sebagian besar responden muda, yakni 64,5 persen, menyebut tidak pernah mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan politik. Hanya seperempat responden yang menyebut pernah terlibat dengan intensitas rendah. Sementara itu, hanya 1 dari 10 responden muda yang terlibat intensif.
Dari preferensi publik muda di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi anak muda di Indonesia dalam wacana politik cenderung rendah. Semakin intensif kegiatan politik, jumlah yang terlibat pun semakin sedikit.
Partisipasi dalam diskursus maupun kegiatan politik juga masih didominasi laki-laki. Politik juga masih menjadi isu yang elitis. Keterlibatan anak muda dari latar belakang pendidikan dan ekonomi atas terpantau lebih tinggi dibandingkan dari kelompok lain. Artinya, keikutsertaan anak muda dalam politik belum merata pada semua lapisan kelas.
Kegiatan politik kalangan muda selama enam bulan terakhir tersebut menyumbang narasi penting dalam upaya peningkatan kualitas demokrasi. Dalam Models of Democracy (2006), David Held turut menunjukkan bahwa partisipasi politik warga negara yang tertarik dengan cara kerja pemerintah merupakan bentuk yang paling diterima dalam berbagai model demokrasi.
Tidak hanya itu, partisipasi politik juga menjadi penanda kemajuan demokrasi. Misalnya saja, kehidupan kota di Italia pada Renaisans merangsang ide-ide baru tentang kekuatan politik, kedaulatan rakyat, dan urusan sipil.
Roma menawarkan konsepsi politik yang menghubungkan partisipasi politik, kehormatan, dan penaklukan yang dapat mengalahkan klaim yang dibuat oleh pemerintahan monarki yang hanya dinikmati oleh seorang raja atas rakyatnya.
Dalam konteks ini, Held menyebut makna ’kebebasan’ sebagai kebebasan dari kekuasaan tiran yang sewenang-wenang, bersama-sama dengan hak warga negara untuk menjalankan urusan mereka dengan berpartisipasi dalam pemerintahan.
Rendahnya partisipasi anak muda di ranah politik juga menggejala di Eropa. Hasil penelitian European Parliament Youth Survey-Flash Eurobarometer (2021) menunjukkan hanya 26 persen anak muda yang menyampaikan opini politik di media sosial. Sementara itu, hanya 14 persen yang tergabung dengan organisasi kepemudaan.
Jika diukur dari sisi popularitas, kegiatan menulis opini daring berada di posisi ketiga dan bergabung dengan organisasi berada di posisi ke sembilan. Anak muda terlihat lebih menyukai untuk menandatangani petisi (42 persen) sebagai aksi politik. Responden muda yang dimaksud pada survei ini berusia 16-30 tahun.
Flash Eurobarometer juga merekam penggunaan hak pilih kalangan muda. Terekam 46 persen anak muda pernah menggunakan hak suara untuk pemilihan di level lokal, nasional, maupun Eropa. Tindakan politik ini merupakan yang paling banyak dilakukan dibandingkan dengan kegiatan politik lainnya.
KOMPAS/AMANDA PUTRI
Para pemilih muda melakukan simulasi pemilu di halaman perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, Minggu (4/12/2016) dalam rangkaian kegiatan Rock The Vote Indonesia bertema Pemilih Muda Sadar Gender”. Para pemilih muda tidak hanya menentukan dalam turut memilih pemimpin yang baik, tetapi juga akan menjadi pemimpin masa depan.
Preferensi penggunaan hak suara ditunjukkan lebih rinci pada survei yang dilakukan European Values Study (2020). Tercatat hampir 50 persen anak muda menggunakan hak pilih untuk pemilihan di tingkat nasional.
Sementara itu, masing-masing sekitar 42 persen menggunakan hak pilih untuk pemilihan di tingkat lokal dan Eropa. Anak muda yang dimaksud dalam riset ini berusia 15-29 tahun.
Hasil dari European Values Study turut menunjukkan rendahnya partisipasi anak muda dalam menggunakan hak suara jika dibandingkan kelompok usia lainnya.
Misalnya saja, tingkat penggunaan hak pilih di level nasional kelompok berusia 30-49 tahun mendekati 60 persen dan kelompok berusia 50 tahun ke atas sekitar 74 persen. Ketimpangan animo juga nampak pada penggunaan hak pilih pada pemilihan di level lokal dan Eropa.
Sembilan dari 10 anak muda berencana untuk menggunakan hak memilih pada Pemilu 2024 mendatang.
Di Indonesia, sembilan dari 10 anak muda berencana untuk menggunakan hak memilih pada Pemilu 2024 mendatang. Animo yang tinggi ini patut disikapi secara hati-hati mengingat pemilihan umum masih 519 hari lagi. Perubahan sikap anak muda untuk tidak menggunakan hak suara masih mungkin terjadi.
Berkaca dari Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut tingkat partisipasi pemilih dalam tiga pemilihan presiden dan legislatif ada di kisaran 82 persen. Harapannya, animo pemilih muda yang mewakili 41,1 persen dari calon pemilih terjaga hingga hari pemungutan suara nanti.
Untuk pemilihan presiden pada 2024 mendatang, empat dari 10 responden muda menyebut telah memiliki calon favorit. Nama-nama yang disebut cenderung merupakan nama-nama yang saat ini populer digadang menjadi calon presiden oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sementara itu, sebanyak 29,3 persen masih menyebut tidak ada yang calon yang difavoritkan dan 23,5 persen menjawab tidak tahu. Potret ini kembali menguatkan pentingnya partai politik untuk mengeksplorasi tokoh-tokoh berkualitas untuk diperkenalkan ke hadapan publik. Harapannya, sosok-sosok baru tersebut menambah preferensi calon presiden sehingga makin menyemarakkan kontestasi.
Tidak hanya untuk meningkatkan partisipasi dalam penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan, partai politik juga memiliki tugas untuk melakukan pendidikan politik bagi masyarakat dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan jender. Jika dilaksanakan dengan baik, ketimpangan pengetahuan politik masyarakat dapat teratasi.
Sebagai penutup, anak muda merupakan poros penting dalam kemajuan kondisi politik di Tanah Air. Anak muda juga menunjukan jati diri sebagai entitas yang memiliki pendirian.
Sebanyak 63,5 persen responden muda menyebut tidak terpengaruh oleh keluarga maupun teman dalam pilihan politik. Artinya, baik generasi Z maupun generasi X mulai mewujud sebagai masyarakat yang mampu memutuskan pilihan politik secara lebih rasional.
Pada akhirnya, memperkuat partisipasi pemilih, terutama dari kalangan anak muda, menjadi sebuah keniscayaan guna membangun masa depan demokrasi yang lebih baik lagi. Pemilih muda yang mendominasi porsi pemilih di Indonesia ke depan akan menentukan kemana demokrasi di negeri ini diarahkan. (LITBANG KOMPAS)