Ketimpangan dan Korupsi Menyandera Demokrasi Indonesia
Konsolidasi demokrasi Indonesia tak kunjung rampung, malah kondisi demokrasi di Indonesia dinilai menurun. Korupsi dan ketimpangan dinilai masih menjadi dua penyebab utama merosotnya demokrasi.

Sekolah Demokrasi, forum diskusi daring yang diselenggarakan LP3ES, Universitas Diponegoro Semarang, dan KITLV, diselenggarakan mulai 23 Juli 2022. Sebagai penanda, Dekan FISIP Universitas Diponegoro Hardi Warsono menyerahkan buku kepada Direktur KITLV Diana Suhardiman.
JAKARTA, KOMPAS
—
Kualitas pemerintahan dan demokrasi di Indonesia dinilai tak membaik setelah lebih dari dua dekade reformasi. Korupsi yang melembaga dan ketimpangan dinilai sebagai akar masalah.
Hal ini menjadi benang merah dalam forum Sekolah Demokrasi bertajuk Pemilu 2024, ”Pertaruhan Demokrasi Indonesia” secara daring, Kamis (23/6/2022). Hadir sebagai pembicara antara lain Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini, Direktur KITLV Leiden Diana Suhardiman, Peneliti KITLV Prof Ward Berenschot, dan Direktur LP3ES Wijayanto.
Berenschot menyampaikan beberapa indikator dari World Governance Indicators, baik dari kualitas peraturan, penegakan hukum, maupun pengendalian korupsi. ”Kalau melihat skor Indonesia, kualitas pemerintahan tidak naik seperti diharapkan, korupsi masih tinggi, rule of law lemah, kapasitas pemerintah (dalam) mengimplementasikan aturan juga masih lemah,” tuturnya.
Kenyataannya, hampir setiap hari, kasus korupsi baru muncul di media massa. Kerugian negara pun tak habis-habis terjadi.
Korupsi di Indonesia, menurut Diana, yang meneliti korupsi yang melembaga di masa Orde Baru dan masa awal Reformasi, melembaga, bahkan terjadi secara sistemik dan endemik. Ini disebabkan adanya sistem upeti yang menjadi budaya. Pada masa feodal, para pengikut memberikan upeti sebagai tanda penghormatan kepada raja.
Baca Juga: Demokrasi dan Korupsi
Sistem upeti ini kemudian masuk ke birokrasi dan melanggengkan korupsi. Dicontohkan, para menteri di masa Orde Baru menjadi ”sumber” Presiden dalam berkampanye dan menjaga kekuasaan politiknya. Karena itu, dana proyek menjadi penting dan seleksi kepala proyek pun menerapkan sistem upeti.
Sistem upeti bisa mengalahkan upaya pemberantasan korupsi sebab tertanam di budaya birokrasi pemerintahan. Karena itu, perlu pendekatan kritis terhadap korupsi supaya lebih berlandaskan politik dan budaya, tidak hanya pada landasan teknis dan administratif.
”Sistem upeti bisa mengalahkan upaya pemberantasan korupsi sebab tertanam di budaya birokrasi pemerintahan. Karena itu, perlu pendekatan kritis terhadap korupsi supaya lebih berlandaskan politik dan budaya, tidak hanya pada landasan teknis dan administratif,” tutur Diana.
Jebakan informalitas
Korupsi ini, menurut Berenschot, berkelindan dengan politik dan memunculkan politik uang yang massif. Dalam penelitian Burhanuddin Muhtadi, seperti dikutip Berenschot, Indonesia adalah negara dengan tingkat politik uang nomor tiga paling tinggi di dunia.
Kebiasaan politik uang dalam pemilu Indonesia diakibatkan sistem politik di Indonesia. Seorang politisi yang maju dalam pemilihan kepala daerah, misalnya, harus melakukan ”serangan fajar” atau setidaknya menyediakan alokasi anggaran untuk konstituen.

Peneliti KITLV, Prof Ward Berenschot, memaparkan jebakan informalitas (informality trap) yang membelenggu demokrasi di Indonesia saat ini. Hal ini disampaikan dalam diskusi bertajuk Pemilu 2024: Pertaruhan Demokrasi Indonesia yang diselenggarakan secara daring, Kamis (23/6/2022).
Akhirnya, terbentuk ”lingkaran setan” yang disebut Berenschot sebagai jebakan informalitas (informality trap). Pemilih meminta ada ”manfaat” langsung saat pemilu, politisi menggunakan strategi klientelisme alih-alih mengampanyekan program kerja dan korupsi serta aturan lemah terus terjadi. Ketiga hal ini membentuk lingkaran yang terus saling mendorong hal lainnya.
Diperlukan reformasi cerdas (smart reform) yang sekaligus menganalisis dan mengubah struktur politik. Dicontohkan, untuk menghentikan politik uang, kewenangan Bawaslu bisa diperkuat.
Informality trap di Indonesia, menurut Berenschot, tak lepas dari sejarah kolonialisme. Saat dijajah, semua institusi dibentuk negara penjajah sebagai alat untuk mengeksploitasi. Saat Indonesia mandiri, banyak aturan perundangan tidak disiapkan orang Indonesia sendiri sesuai keinginan masyarakatnya.
Karena itu, diperlukan reformasi cerdas (smart reform) yang sekaligus menganalisis dan mengubah struktur politik. Dicontohkan, untuk menghentikan politik uang, kewenangan Bawaslu bisa diperkuat. Para akademisi juga bisa berkumpul dan membawa proposal reformasi politik ke DPR.
Berenschot masih meyakini para politisi akan mendukung gerakan reformasi cerdas ini. Sebab, katanya, politisi pun saat ini seperti penjudi yang harus mengeluarkan uang sangat banyak saat pemilu tanpa tahu apakah akan terpilih atau tidak.
Keadilan sosial
Di sisi lain, ketimpangan dilihat juga sebagai masalah besar di Indonesia. Ketimpangan bukan hanya akan menjadi masalah saat ini, melainkan juga ketika Pemilu 2024 dilangsungkan.
Didik, dalam pemaparannya mengenai tantangan ekonomi saat Pemilu 2024, menjelaskan, Indonesia secara ekonomi cukup kuat. Karena itu, kendati mengalami tekanan besar akibat pandemi Covid-19, krisis ekonomi dan politik seperti di Sri Lanka dan Pakistan dinilai tak akan terjadi.
Ini rentan mengganggu stabilitas sosial.

Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini memaparkan ketimpangan lahan yang terjadi di Indonesia. Ketimpangan dinilai sebagai salah satu faktor paling kuat dalam mengakibatkan instabilitas sosial. Hal ini disampaikan dalam diskusi daring bertajuk Pemilu 2024: Pertaruhan Demokrasi Indonesia, Kamis (23/6/2022).
Baca Juga: Korupsi Menenggelamkan Demokrasi
Namun, Didik lebih merisaukan kesenjangan kepemilikan tanah yang rasionya mencapai 0,64. ”Ini rentan mengganggu stabilitas sosial,” ujarnya.
Diana menambahkan, masalah politik uang juga sulit diatasi tanpa pemerataan ekonomi. Sebab, saat kondisi ekonomi timpang, perbedaan persepsi korupsi sebagai negatif atau positif akan terus muncul. Selain itu, ketimpangan ekonomi mengakibatkan kelas masyarakat yang berbeda persepsi dalam menilai pemimpin. Masyarakat dari kelas kurang mampu akan memiliki persepsi berbeda mengenai bagaimana seorang pemimpin harus berperilaku dengan kelompok elite akademisi, misalnya. Karena itu, kata Diana, keadilan sosial perlu diimplementasikan.