Asa Publik pada Perusahaan Negara
Jajak Pendapat "Kompas" menangkap penyebab buruknya kondisi sejumlah perusahaan BUMN. Hal itu di antaranya korupsi dan buruknya tata kelola.
Masyarakat menaruh harapan besar terhadap keberadaan Badan Usaha Milik Negara. Asa publik ini harus digunakan oleh perusahaan-perusahaan plat merah untuk bisa bangkit dan berdampak besar pada kemaslahatan masyarakat di tengah sorotan kasus kerugian dan korupsi yang terjadi di sejumlah perusahaan negara tersebut.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Hampir 70 persen responden menilai kinerja perusahaan-perusahaan milik negara ini sudah baik, bahkan sebagian diantaranya memandang kinerjanya sudah sangat baik.
Penilaian ini juga didorong oleh peran perusahaan plat merah tersebut dalam berperan membantu negara bangkit di tengah gempuran wabah Covid-19. Survei menunjukkan, sebanyak 74 persen responden menilai perusahaan BUMN mampu berperan membantu negara menghadapi pandemi. Keyakinan ini juga ditunjukkan dari seperlima bagian dari kelompok responden ini yang merasa perusahaan plat merah ini sangat membantu negara dalam menghadapi kondisi ekonomi yang tidak mudah di tengah pandemi saat ini.
Memang, kontribusi BUMN terhadap pendapatan negara selama ini tak bisa dipandang sebelah mata. Setidaknya, sekitar sepertiga kegiatan ekonomi di Indonesia digerakkan oleh perusahaan-perusahaan milik negara ini. Hal ini nampak pada bertumbuhnya kontribusi BUMN terhadap APBN dari Rp 303 triliun pada 2015 menjadi Rp 470 triliun di 2019.
Baca juga: Jalin Kerja Sama dengan Pertamina, BSI Dukung Pembiayaan Pertashop
Meski berkontribusi besar pada perekonomian, fakta bahwa masih banyak kinerja perusahaan negara yang buruk tak bisa dibantah. Berkaratnya mesin usaha negara ini tak lepas dari pengawasan publik. Jajak pendapat menangkap ada sejumlah penyebab yang melahirkan buruknya kondisi perusahaan tersebut.
Penyebab paling besar adalah maraknya terjadi korupsi di perusahaan BUMN tersebut. Hal ini disebutkan oleh 33,7 persen responden. Selain korupsi, pengelolaan yang buruk atau mismanajemen juga disebutkan oleh responden sebagai penyebab lain buruknya kondisi perusahaan plat merah tersebut. Tentu, faktor lainnya, seperti anjloknya kinerja usaha-usaha BUMN akibat tekanan pandemi juga turut memicu buruknya kondisi keuangan perusahaan negara tersebut.
Namun, sebetulnya sakit di tubuh banyak perusahaan BUMN ini sudah menggejala semenjak beberapa tahun terakhir. Salah satu persoalan yang perlu segera diselesaikan oleh perusahaan-perusahaa BUMN ialah utang yang kian membengkak.
Hal ini memang tidak dapat dimungkiri, pandemi juga menjadi faktor yang memukul kinerja perusahaan-perusahaan plat merah. Dari 13 klaster perusahaan BUMN, sembilan diantaranya menderita kerugian sepanjang tahun 2020. Hanya klaster perusahaan bidang kesehatan, asuransi dan dana pensiun, pangan, dan perkebunan sajalah yang membukukan laba di periode waktu tersebut. Bahkan, beberapa klaster perusahaan BUMN yang sebelumnya menjadi jagoan, seperti klaster migas dan energi, pariwisata, dan jasa keuangan justru yang paling terpukul dengan kerugian masing-masing sebesar Rp 193 triliun, Rp 71 triliun, dan Rp 55 triliun.
Namun, sebetulnya sakit di tubuh banyak perusahaan BUMN ini sudah menggejala semenjak beberapa tahun terakhir. Salah satu persoalan yang perlu segera diselesaikan oleh perusahaan-perusahaa BUMN ialah utang yang kian membengkak. Menurut Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) dari Bank Indonesia, utang luar negeri (ULN) BUMN pada Januari 2021 tercatat 57,5 miliar dollar AS atau setara dengan sekitar Rp 809 triliun.
Baca juga: Selamatkan Garuda Indonesia, Opsi Moratorium Pembayaran Utang Dimatangkan
Menumpuknya utang ini sudah berlangsung setidaknya semenjak lima tahun terakhir. Berdasar data BI, utang BUMN non lembaga keuangan dari Rp 581,3 triliun pada triwulan III tahun 2016 menjadi lebih dari Rp 1.140 triliun di triwulan yang sama pada 2020. Setiap tahunnya, utang-utang ini selalu bertambah hingga nilainya menjadi dua kali lipat hanya berselang empat tahun saja. Parahnya, beberapa dari perusahaan-perusahaan BUMN sudah memiliki rasio utang (DER) hingga 5,76 kali, jauh dari standar perusahaan sehat dengan DER di bawah 1 kali.
Tidak efisien
Tidak hanya soal utang, hal lain yang juga masih jadi persoalan ialah organisasi yang tak efisien. Saat ini, terdapat lebih dari 140 perusahaan beserta 800 anak, cucu hingga cicit perusahaannya. Masalahnya, banyak dari perusahaan-perusahaan ini membentuk anak perusahaan yang tidak terkait dengan inti bisnisnya sama sekali.
Salah satu contohnya adalah Pertamina. Sebagai perusahaan yang inti bisnisnya bergerak di energi, Pertamina memiliki 142 anak perusahaan yang bergerak di berbagai sektor, seperti PT Patra Jasa yang berbisnis properti dan PT Pertamina Pedeve Indonesia yang melakukan usaha modal ventura. Hal serupa juga dilakukan dengan Pelindo dan Telkom yang juga memiliki anak perusahaan bergerak di bidang modal ventura.
Menjamurnya perusahaan-perusahaan BUMN beserta anaknya di seluruh sektor industri ini membuat iklim usaha semakin keruh. Di satu sisi, banyaknya anak perusahaan BUMN ini justru berujung pada kompetisi antar unit usaha milik negara yang sebetulnya tidak terjadi jika mereka menahan diri dan tetap bergerak di industri intinya. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan negara membanjiri hampir seluruh sektor industri, sehingga peluang bagi sektor privat untuk berkembang pun kian tergerus.
Baca juga: Tata Ulang Bisnis dan Percepat Pencairan Pinjaman Modal bagi Garuda Indonesia
Seperti yang sudah disinggung dengan hasil jajak pendapat di atas, selain utang dan inefisiensi, permasalahan lain yang juga menjadi kerak di perusahaan-perusahaan plat merah ialah soal transparansi dan korupsi. Selama 2020 hingga saat ini ada dua kasus korupsi besar melibatkan perusahaan pelat merah, yakni korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara Rp 16,8 triliun dan korupsi di PT Asabri yang merugikan negara sebesar Rp 22,7 triliun.
Jika digabung, nilai kerugian negara akibat dua kasus ini nyaris mencapai Rp 40 triliun. Tak hanya itu, hanya setahun sebelumnya, publik juga sempat dihebohkan dengan manipulasi laporan keuangan Garuda Indonesia tahun 2018 dengan keuntungan Rp 11,3 miliar yang ternyata merugi sebesar Rp 2,45 triliun setelah direvisi.
Walaupun tantangan yang dihadapi tidak mudah, masyarakat sebetulnya masih menyimpan asa yang besar terhadap perusahaan-perusahaan pelat merah ini. Hasil jajak pendapat menunjukkan, lebih dari 72 persen responden percaya perusahaan-perusahaan BUMN akan berhasil memperbaiki kinerjanya.
Asa Publik
Walaupun tantangan yang dihadapi tidak mudah, masyarakat sebetulnya masih menyimpan asa yang besar terhadap perusahaan-perusahaan pelat merah ini. Hasil jajak pendapat menunjukkan, lebih dari 72 persen responden percaya perusahaan-perusahaan BUMN akan berhasil memperbaiki kinerjanya di kemudian hari.
Hal ini selaras dengan pendapat masyarakat yang masih tetap mendukung bisnis pemerintah yang hampir kolaps. Menanggapi isu kerugian dan utang Garuda misalnya, sebagian besar responden (59,4 persen) menyatakan, pemerintah harus membantu Garuda agar tidak pailit. Pendapat sebaliknya disampaikan oleh hampir seperlima responden yang setuju jika perusahaan yang hampir ambruk seperti kasus Garuda saat ini sebaiknya dipailitkan.
Baca juga: Bersinergi Masuki Era Baru Perwakafan Nasional
Hingga kini, sebetulnya telah ada langkah serta rencana pemerintah yang patut diapresiasi terkait perbaikan kinerja BUMN. Restrukturisasi BUMN yang telah dimulai sejak tahun lalu, misalnya, menjadi langkah yang tepat untuk mengatasi persoalan inefisiensi organisasi yang selama ini kerap membebani kinerja perusahaan.
Tak hanya itu, langkah Kementerian BUMN yang terus menjadikan perusahaan-perusahaan plat merah menjadi korporasi terbuka juga menjadi langkah positif untuk mendorong transparansi yang berpotensi menekan praktik korupsi dan manipulasi di tubuh perusahaan.
Tentu, upaya-upaya ini perlu untuk terus dikawal. Ke depannya, langkah-langkah perbaikan ini harus terus mengarah pada profesionalisme serta efisiensi. Hal ini penting dilakukan agar perusahaan-perusahaan plat merah bisa semakin sehat. Harapannya, dengan semakin meraksasanya usaha milik negara, semakin besar pula dampak ekonomi dan sosial yang diberikan kepada masyarakat.