Tata Ulang Bisnis dan Percepat Pencairan Pinjaman Modal bagi Garuda Indonesia
Dana IP-PEN bisa membantu memperlancar dan memperpanjang arus kas Garuda Indonesia meski dalam jangka waktu pendek-menengah. Namun, tidak tahu, kenapa pencairannya begitu lambat, seharusnya perlu dipercepat.
JAKARTA, KOMPAS — Industri penerbangan diperkirakan baru akan pulih pada 2023 seiring dengan pulihnya pariwisata secara bertahap. Agar maskapai-maskapai, termasuk Garuda Indonesia, dapat bertahan hingga tahun tersebut, efisiensi, pembenahan bisnis, restrukturisasi utang, dan bantuan permodalan tetap perlu digulirkan.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) dan Tourism Economics merilis perkiraan dan pandangan jangka panjang tentang pemulihan penumpang pasca-Covid-19 berjudul ”Optimism When Borders Reopen” pada 26 Mei 2021. Dalam rilisnya itu disebutkan, masyarakat tetap bersemangat melakukan perjalanan jangka pendek dan panjang.
Pada 2021, jumlah penumpang global diperkirakan akan pulih hingga 52 persen dari jumlah penumpang sebelum Covid-19 pada 2019. Kemudian secara bertahap akan terus miningkat, yaitu sebesar 88 persen pada 2022 dan 105 persen pada 2023 melampui jumlah penumpang global sebelum Covid-19.
Proyeksi itu mempertimbangkan beberapa faktor. Pertama, kemungkinan untuk membuka kembali perbatasan dipenuhi dengan lonjakan pemesanan instan. Contohnya, saat Pemerintah Inggris mengumumkan daftar hijau wilayahnya pada awal Mei ini, terjadi lonjakan pemesanan penerbangan dari inggris ke Portugal sebesar 100 persen.
Kedua, masyarakat global banyak memilih berdiam diri dan mengurangi perjalan selama pandemi Covid-19. Lonjakan akumulasi tabungan selama masa kuncitara (lockdown) untuk beberapa negara diperkirakan melebihi 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) sehingga mereka akan memanfaatkan untuk bepergian saat kasus Covid-19 mereda.
Ketiga, tingkat vaksinasi di negara maju harus melebihi 50 persen dari populasi pada dari triwulan III-2021. Percrpatan vaksinasi akan turut menopang pembukaan penerbangan lintas negara sehingga dapat menggerakkan masyarakat global untuk bepergian.
”Industri penerbangan memang tengah berada dalam krisis terdalam dan terparah dalam sejarahnya. Namun, kemajuan pengujian dan pengadaan vaksin serta percepatan vaksinasi akan mengembalikan kebebasan masyarakat global untuk bepergian,” kata Direktur Jenderal IATA Willie Walsh dalam siaran pers.
Industri penerbangan memang tengah berada dalam krisis terdalam dan terparah dalam sejarahnya. Namun, kemajuan pengujian dan pengadaan vaksin serta percepatan vaksinasi akan mengembalikan kebebasan masyarakat global untuk bepergian.
Baca juga: Industri Penerbangan Global Terpukul
Tahun lalu, dalam laporannya bertajuk ”Reduced Losses but Continued Pain in 2021”, IATA memperkirakan industri penerbangan paling cepat pulih pada 2024. Pada 2020, total kerugian maskapai penerbangan diperkirakan 126,4 miliar dollar AS atau tumbuh minus 33,9 persen dibandingkan dengan sebelum pandemi pada 2019. Agar bisa bertahan, pada 2021, maskapai perlu memprioritaskan menata ulang bisnis dan menekan biaya untuk efisiensi.
Peneliti BUMN Research Group Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LMFEBUI), Toto Pranoto, Jumat (28/5/2021), berpendapat, krisis di sektor penerbangan global sudah berlangsung satu setengah tahun. Pandemi Covid-19 semakin menekan kinerja maskapai-maskapai penerbangan global, termasuk Garuda Indonesia.
Krisis ini masih akan berlanjut sehingga agar dapat bertahan lama setiap maskapai membutuhkan pembenahan bisnis, efisiensi biaya operasional, restrukturisasi utang, dan bantuan permodalan. Dalam konteks Garuda Indonesia, misalnya, penyertaan modal negara memang tidak bisa diberikan secara langsung lantaran perusahaan berpelat merah ini sudah go public dan sebagian sahamnya dimiliki investor lain.
Menurut Toto, mekanisme yang bisa ditempuh Garuda Indonesia adalah mendapatkan pinjaman modal melalui progam Investasi Pemerintah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (IP-PEN). Garuda Indonesia menerbitkan obligasi senilai Rp 8,5 triliun dan dieksekusi oleh badan usaha milik pemerintah, PT Sarana Multi Infastruktur (Persero) atau SMI.
”Dana ini sebenarnya bisa membantu memperlancar dan memperpanjang arus kas Garuda Indonesia meski dalam jangka waktu pendek-menengah. Namun, saya tidak tahu, kenapa pencairannya begitu lambat, seharusnya pemerintah mempercepat pencairannya,” ujarnya.
Dana ini sebenarnya bisa membantu memperlancar dan memperpanjang arus kas Garuda Indonesia meski dalam jangka waktu pendek-menengah. Namun saya tidak tahu, kenapa pencairannya begitu lambat, seharusnya pemerintah mempercepat pencairannya.
Tahun lalu, pemegang saham Garuda Indonesia sebenarnya telah memberikan izin untuk menerbitkan obligasi wajib konversi (mandatory convertible bond) senilai Rp 8,5 triliun dengan tenor maksimal tujuh tahun. Dana yang didapat dari surat utang itu akan digunakan untuk mendukung likuiditas, solvabilitas, dan pembiayaan operasional guna memulihkan kinerja perseroan.
Pemerintah menunjuk PT SMI sebagai pembeli siaga (standby buyer) obligasi tersebut. Namun, hingga kini dana tersebut baru cair Rp 1 triliun (Kompas, 27/5/2021).
Baca juga: Kaji Mendalam Persoalan Garuda Indonesia
Di samping itu, lanjut Toto, Garuda Indonesia harus bisa lebih mengoptimalkan diversifikasi bisnisnya, yaitu angkutan kargo, guna mengimbangi hilangnya pemasukan dari bisnis angkutan penumpang. Mau tidak mau, Garuda Indonesia juga membutuhkan restrukturisasi utang entah dengan memperpanjang utang yang jatuh tempo atau melakukan renegosiasi dengan kreditor.
”Renegosiasi dengan kreditor bank wajib dilakukan. Termasuk juga dengan para vendor/supplier, seperti Angkasa Pura dan Pertamina, sembari menunggu injeksi tambahan pinjaman modal dari PT SMI. Hal ini diperlukan supaya tekanan terhadap arus kas berkurang,” katanya.
Sementara pengamat penerbangan Alvin Lie menuturkan, strategi menurunkan harga tarif tiket pesawat bisa jadi alternatif strategi jangka pendek Garuda Indonesia. Saat ini, Garuda Indonesia masih menerapkan harga tiket premium dengan batas atas. Harga tiket Garuda Indonesia ini sekitar dua kali lipat dari harga tiket Citilink dan Batik Air di rute penerbangan yang sama.
Pertahankan Garuda Indonesia
Padahal, dari sisi sejumlah layanan, seperti makan dan minum di pesawat dan konter-konter tiket di bandara sudah dikurangi. ”Hal ini menyebabkan banyak penumpang Garuda Indonesia beralih ke maskapai lain lantaran harga tiketnya lebih murah. Lion Group tingkat keterisian tempat duduknya sekitar 60-70 persen dan Citilink 50 persen, sementara Garuda hanya sekitar 25-30 persen saja,” katanya.
Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah dan manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menempuh opsi penyelamatan yang tetap mempertahankan keberadaan Garuda sebagai maskapai nasional Indonesia. Aksi korporasi dan langkah efisiensi, seperti pemangkasan armada dan perampingan karyawan dapat didahulukan untuk mencegah kebangkrutan.
Komisi VI DPR akan segera menjadwalkan rapat dengar pendapat dengan Kementerian BUMN, Garuda Indonesia, dan BUMN transportasi secara keseluruhan. Persoalan yang saat ini dihadapi Garuda Indonesia juga dinilai dapat terjadi pada perusahaan transportasi pelat merah lainnya di tengah pandemi.
”Prinsip dasar yang harus dipegang adalah Garuda Indonesia harus tetap ada sebagai national flight carrier kita. Urusan Garuda Indonesia ini tidak hanya sekadar persoalan menguntungkan pemegang saham (negara), tetapi juga masalah kehormatan bangsa,” kata Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima, Jumat.
Baca juga: Garuda Indonesia Segera Terbitkan Surat Utang Rp 8,5 Triliun
Sebelumnya diberitakan, terdapat empat opsi penyelamatan Garuda Indonesia yang disiapkan oleh pemerintah. Opsi pertama, pemerintah terus mendukung Garuda Indonesia melalui pemberian pinjaman ekuitas. Opsi kedua, proses legal bankruptcy atau menyatakan perusahaan bangkrut secara hukum untuk merestrukturisasi sejumlah kewajiban Garuda Indonesia.
Opsi ketiga, restrukturisasi Garuda Indonesia sembari mendirikan perusahaan maskapai nasional (national flag carrier) baru yang melayani rute domestik. Opsi keempat, melikuidasi Garuda dan menyerahkan layanan penerbangan sepenuhnya pada sektor swasta.
Baca juga: Opsi Penyelamatan Garuda Dikaji
Menurut Aria, kajian dan pengambilan keputusan mengenai opsi-opsi penyelamatan itu ada di ranah pemerintah dan Garuda Indonesia. Namun, menurut dia, sebelum mempertimbangkan langkah penyelamatan yang radikal, Garuda Indonesia terlebih dulu harus melakukan efisiensi besar-besaran.
Beberapa langkah restrukturisasi yang saat ini ditempuh direksi, seperti perampingan karyawan melalui penawaran program pensiun dini serta pemangkasan separuh armada dan renegosiasi harga sewa pesawat dengan lessor (perusahaan penyewa pesawat), dinilai sudah tepat.
Apa pun langkah efisiensi untuk menstabilkan Garuda Indonesia sekarang, yang penting berorientasi pada penyelamatan perusahaan agar tidak sampai jatuh bangkrut dan ditutup.
Apalagi, mengingat biaya operasional dari sewa pesawat selama ini merupakan salah satu komponen pengeluaran terbesar perseroan. Adapun terkait perampingan karyawan tetap perlu melalui perundingan bersama dan memperhatikan pemenuhan hak pekerja agar tidak memancing resistensi.
Lebih lanjut, Aria menilai, opsi pertama berupa pinjaman ekuitas dapat memunculkan ketergantungan Garuda Indonesia secara terus-menerus terhadap suntikan dana dari pemerintah. Oleh karena itu, langkah ini sebaiknya tidak didahulukan. ”Langkah restrukturisasi lebih penting daripada opsi tambal sulam seperti itu,” katanya.
Restrukturisasi yang dimaksud, baik dari segi keuangan, aset, maupun organisasi. ”Apa pun langkah efisiensi untuk menstabilkan Garuda Indonesia sekarang, yang penting berorientasi pada penyelamatan perusahaan agar tidak sampai jatuh bangkrut dan ditutup,” ujarnya.
Baca juga: Merugi Rp 10,34 Triliun, Garuda: Ini Titik Terendah