Merugi Rp 10,34 Triliun, Garuda: Ini Titik Terendah
Pandemi Covid-19 mengantarkan industri penerbangan pada titik paling rendah sepanjang sejarah. Tidak terkecuali, Garuda Indonesia pada semester I-2020 rugi bersih Rp 10,34 triliun.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pukulan terhadap industri penerbangan internasional di tengah pandemi Covid-19 turut dirasakan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Sepanjang semester I-2020, maskapai pelat merah itu rugi bersih 712,72 juta dollar AS atau setara Rp 10,34 triliun. Untuk memperbaiki kondisi arus kas, Garuda akan melakukan efisiensi dan berupaya mendongkrak kembali okupansi penumpang.
Kondisi keuangan Garuda Indonesia turun tajam dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada semester I-2019, perseroan itu membukukan laba bersih 24,11 juta dollar AS atau setara Rp 349,5 miliar.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, Minggu (2/8/2020), mengatakan, pandemi Covid-19 mengantarkan industri penerbangan pada titik paling rendah sepanjang sejarah. Tidak terkecuali Garuda Indonesia. Tekanan dirasakan akibat kondisi keuangan perusahaan yang merugi serta tumpukan kewajiban utang yang harus dilunasi.
”Ini titik terendah. Namun, meski sulit, kami tetap optimistis dan terus berupaya memulihkan kinerja. Untuk itu, kami membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah serta soliditas semua pemangku kepentingan terkait,” ujarnya.
Ini titik terendah. Namun, meski sulit, kami tetap optimistis dan terus berupaya memulihkan kinerja. Untuk itu, kami membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah serta soliditas semua pemangku kepentingan terkait.
Pada semester I-2020, Garuda hanya mencatatkan pendapatan usaha sebesar 917,28 juta dollar AS, turun hingga 58,18 persen daripada periode sebelumnya, sebesar 2,19 miliar dollar AS. Pendapatan itu ditunjang pertumbuhan pendapatan penerbangan tidak berjadwal sebesar 392,48, dari periode sebelumnya sebesar 4,37 juta dollar AS menjadi 21,54 juta dollar AS.
Adapun pendapatan penerbangan berjadwal tercatat sebesar 750,25 juta dollar AS. Garuda juga membukukan pendapatan lainnya sebesar 145,47 juta dollar AS. Liabilitas Garuda pada semester I-2020 juga bertambah menjadi 10,37 miliar dollar AS dari sebelumnya 3,73 milliar dollar AS pada akhir 2019.
Menurut Irfan, pandemi berdampak signifikan terhadap kinerja perseroan karena ada pembatasan pergerakan dan penerbangan pada masa pandemi. Rata-rata frekuensi penerbangan menurun drastis dari yang sebelumnya melayani lebih dari 400 penerbangan per hari menjadi hanya berkisar di angka 100 penerbangan per hari. Jumlah penumpang juga menurun tajam hingga 90 persen.
Garuda terus memperkuat langkah pemulihan kinerja demi memulihkan kondisi arus kas. Terlebih, Garuda memiliki liabilitas cukup tinggi, termasuk kewajiban melunasi pinjaman sebesar Rp 8,5 triliun berbentuk obligasi wajib konversi (mandatory convertible bond/MCB) dari pemerintah dalam waktu tiga tahun.
Garuda juga masih memiliki kewajiban memenuhi pembayaran Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) yang jatuh tempo pada 27 Juli 2020. Garuda harus menunda pembayaran sebagian kewajiban pokok akibat likuiditas perusahaan yang tertekan pandemi Covid-19.
Irfan memastikan, kewajiban-kewajiban itu akan tetap dipenuhi. Oleh karena itu, berbagai cara ditempuh, termasuk langkah efisiensi di seluruh lini operasional, mulai dari upaya negosiasi biaya sewa pesawat hingga efisiensi terhadap biaya operasional seperti ketenagakerjaan.
”Kami terus memperkuat langkah pemulihan kinerja seoptimal mungkin agar perseroan segera rebound,” ujarnya.
Pemulihan tertunda
Meski demikian, upaya memulihkan kinerja industri penerbangan dengan bergantung pada okupansi penumpang dinilai sulit dicapai. Asosiasi Transportasi Udara International (IATA) memprediksi, pemulihan industri penerbangan akan tertunda.
Awalnya, pada April 2020, IATA memprediksi, industri penerbangan global sudah akan pulih pada 2022. Namun, melihat kondisi perkembangan Covid-19 terkini, pemulihan diperkirakan baru mulai tampak pada 2023.
Pada April 2020, IATA memprediksi, industri penerbangan global sudah akan pulih pada 2022. Namun, melihat kondisi perkembangan Covid-19 terkini, pemulihan diperkirakan baru mulai tampak pada 2023.
Kepercayaan konsumen yang menurun, masih adanya larangan bepergian di berbagai negara, serta buruknya penanganan Covid-19 di sejumlah negara termasuk Amerika Serikat, membuat pemulihan tidak bisa terjadi dalam waktu dekat. Pada 2020, angka penumpang global diprediksi akan menurun 55 persen dibandingkan dengan tahun 2019, lebih buruk daripada prediksi sebelumnya yang dilakukan IATA pada April, yakni 46 persen.
IATA memprediksi jumlah penumpang pesawat mulai naik 62 persen pada 2021, tetapi kondisi itu tetap tercatat 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan kondisi pada 2019 sebelum pandemi terjadi.
Dalam menghadapi titik rendah industri penerbangan ini, IATA pun merekomendasikan ada skema bantuan dan dukungan dari pemerintah tiap negara untuk mencegah maskapai penerbangan mengalami kebangkrutan. Pemerintah juga perlu melakukan berbagai langkah ekstra untuk menumbuhkan rasa kepercayaan penumpang, yaitu penanganan dari aspek kesehatan.
”Pengetesan secara cepat dan akurat dibutuhkan untuk mengelola penyebaran virus, sembari membuka lagi ekonomi dan secara perlahan memulihkan lagi akses perjalanan dan pariwisata,” kata CEO IATA Alexandre de Juniac dalam keterangan pers.