Membaca Data Kemiskinan di Masa Covid-19
Sejauh mana pandemi Covid-19 memperkuat fenomena kemiskinan penduduk saat ini?
Profil kemiskinan yang belum lama dirilis Badan Pusat Statistik tak hanya mengungkap akar persoalan lama dan problem baru akibat pandemi Covid-19, tetapi juga peluang untuk melawan kemiskinan.
Secara logika, pandemi Covid-19 akan berdampak pada gangguan ekonomi sehingga kemiskinan akan meningkat tajam. Laporan Bank Dunia bertajuk ”Ex-ante Poverty & Distributional Impacts of Covid-19 in Indonesia” yang diterbitkan Juni 2020 juga memperkuat logika tersebut.
Bank Dunia memproyeksikan angka kemiskinan Indonesia bisa meningkat mencapai 10,7 persen hingga 11,6 persen tahun 2020. Proyeksi itu menunjukkan bahwa persentase kemiskinan bisa meningkat 1,48-2,38 poin dari persentase kemiskinan tahun 2019 (9,22 persen).
Namun, data kemiskinan sepanjang masa pandemi tidak mencerminkan logika tersebut. Berdasarkan publikasi BPS tahun 2019-2020, persentase kemiskinan secara nasional hanya tercatat 10,19 persen. Persentase kemiskinan Indonesia hanya meningkat 0,97 poin jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Data kemiskinan di dua provinsi bahkan menunjukkan anomali. Provinsi pertama adalah Sulawesi Tengah. Kemiskinan di Provinsi Sulteng justru menurun -0,12 persen di saat pandemi Covid-19. Hal serupa terjadi di Provinsi Kalimantan Barat, yang mencatat penurunan kemiskinan -0,04 persen.
Baca juga : Rangkaian Peristiwa Pertama Covid-19
Aceh yang sempat menjadi pembicaraan jagad maya karena menjadi provinsi termiskin di Sumatera pun sebenarnya tidak menunjukkan kenaikan persentase kemiskinan secara signifikan. Dalam dua tahun terakhir, persentase kemiskinan di Aceh hanya naik 0,42 poin, masih berada di bawah angka nasional.
Walaupun tidak menunjukkan peningkatan tajam selama pandemi, persentase kemiskinan di Aceh dan Sulteng tetap tergolong tinggi. Hal ini mengingat selama ini pemerintah mengupayakan persentase kemiskinan berada di bawah 10 persen.
Dalam dua tahun belakangan, persentase kemiskinan di Sulteng dan Aceh masing-masing mencapai 13 persen dan 15 persen. Sebaliknya, persentase kemiskinan di Kalbar terbilang rendah, yakni sekitar 7 persen.
Aceh dan Sulteng pun konsisten menempati peringkat kemiskinan 10 teratas dari 34 provinsi di Indonesia selama dua tahun belakangan. Kemiskinan di Sulteng konsisten menempati peringkat ke-9, sedangkan Aceh di urutan ke-6.
Adapun peringkat kemiskinan Kalbar jauh lebih baik. Kemiskinan Provinsi Kalbar berada di urutan ke-23 pada tahun 2019, kemudian urutan ke-24 pada tahun 2020.
Baca juga : Problem Pelik Kemiskinan di Desa
Kemiskinan dan IPM
Bagi Indonesia, IPM merupakan indikator strategis karena menjadi ukuran kinerja pemerintah sekaligus salah satu faktor penentu penyaluran anggaran pusat ke daerah. Dalam konteks tersebut, nilai IPM yang semakin tinggi idealnya mencerminkan persentase kemiskinan yang semakin rendah.
Hasil korelasi menggunakan metode analisis Pearson pada data kemiskinan dan IPM dari BPS tahun 2020 membuktikan hal tersebut. Nilai korelasi sebesar -0,491 menunjukkan bahwa IPM mempunyai hubungan yang signifikan dan cukup kuat menjelaskan tingkat kemiskinan.
Arah korelasi negatif bermakna jika IPM semakin tinggi, maka persentase penduduk miskin akan semakin rendah. Namun, kondisi ideal yang tecermin dari korelasi negatif IPM dengan kemiskinan hanya terjadi di sebagian provinsi.
Hal itu dapat dianalisis melalui peta matriks korelasi antara IPM dengan persentase kemiskinan. Peta matriks tersebut membagi 34 provinsi ke dalam empat kategori kuadran terpisah. Kategori pertama adalah provinsi dengan IPM dan persentase kemiskinan yang tinggi, sedangkan kuadran kedua untuk provinsi dengan kategori IPM rendah tetapi persentase kemiskinannya tinggi.
Sementara itu, kuadran provinsi yang masuk dalam kategori ketiga memiliki besaran IPM dan persentase kemiskinan yang rendah. Kategori terakhir yang paling ideal adalah provinsi yang memiliki besaran IPM tinggi tetapi persentase kemiskinannya rendah.
Hasil analisis peta matriks korelasi menunjukkan hanya ada 14 provinsi yang masuk dalam kategori ideal. Dari ke-14 provinsi tersebut, enam di antaranya berada di Pulau Sumatera, tiga provinsi di Jawa, dan selebihnya ada di wilayah Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi.
Provinsi Sulteng dan Kalbar yang mencatat penurunan persentase kemiskinan serta Aceh dengan kenaikan persentase kemiskinan di bawah nasional tersebar di tiga kuadran yang berbeda. Aceh termasuk provinsi dengan kategori IPM dan kemiskinan yang tinggi, Sulteng berada di kategori IPM rendah tetapi kemiskinan tinggi, sedangkan Kalbar berada di kategori persentase kemiskinan dan IPM yang rendah.
Baca juga : Menimbang Fenomena Ekonomi Tiga Bulan Pandemi Covid-19
Persoalan lama
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa korelasi di antara dua variabel tersebut mempunyai signifikansi kuat di kawasan perdesaan, tetapi lemah dan tidak signifikan di wilayah perkotaan. Temuan ini menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di masa pandemi tak lepas dari persoalan lama.
Kawasan perdesaan sejak lama telah menjadi asal muasal kemiskinan. Salah satu indikasi mengenai hal ini terlihat perbandingan persentase kemiskinan antara kota dan desa. Tahun 2010, persentase penduduk miskin di kota dan desa tercatat masing-masing 9,87 persen dan 16,56 persen.
Pada tahun 2020, persentase penduduk miskin perkotaan tercatat 7,88 persen, sedangkan di desa menjadi 13,20 persen. Dalam dua periode tersebut, persentase kemiskinan di desa tetap saja jauh di atas kemiskinan di perkotaan.
Selama ini, masyarakat perdesaan lebih banyak berada kondisi kemiskinan akibat keterbatasan akses ekonomi, khususnya faktor produksi. Pendidikan dan keterampilan yang rendah serta modal finansial dan aset yang sangat minim menjadi bagian melekat sebagian besar dari mereka.
Matriks korelasi yang terbentuk antara IPM dan Kemiskinan menggunakan data tahun 2020 juga menunjukkan problem kemiskinan yang disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis. Peta korelasi menunjukkan semakin ke barat Indonesia, tingkat kemiskinan cenderung rendah dan IPM cenderung tinggi.
Baca juga : Pandemi Menguat, Penduduk Miskin Meningkat
Selain itu, sembilan dari 14 provinsi yang masuk kategori korelasi ideal antara IPM dan persentase kemiskinan adalah provinsi yang berada di wilayah barat Indonesia. Hasil pemetaan ini memperkuat gambaran nyata tentang ketimpangan akses ekonomi antara wilayah barat dan timur Indonesia.
Ketimpangan akses ekonomi juga diperkuat lewat analisis lain, korelasi antara pertumbuhan dan persentase kemiskinan. Menggunakan data BPS tahun 2020, hasil korelasi Pearson juga menunjukkan signifikansi cukup kuat antara dua variabel ini. Arah korelasi bernilai positif 0,401 menunjukkan jika pertumbuhan ekonomi meningkat, persentase kemiskinan akan meningkat.
Sementara, pandemi Covid-19 mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dalam kategori rendah, yakni di bawah nol persen, di hampir semua provinsi. Tercatat hanya ada tiga provinsi yang berada pada kategori ekonomi tinggi karena tumbuh di atas nol persen yaitu Papua, Maluku Utara, dan Sulteng.
Pertumbuhan ekonomi yang rendah saat ini juga tidak diikuti dengan kecenderungan persentase kemiskinan yang menurun, sejalan dengan temuan arah korelasi antara dua variabel tersebut.
Temuan ini paling tidak menunjukkan kecenderungan bahwa dinamika perekonomian di suatu provinsi tidak serta-merta diikuti dengan aspek pemerataan yang menjadi salah satu tujuan penting pembangunan negara. Efek kesejahteraan ketika perekonomian sedang tumbuh hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat di provinsi berangkutan.
Baca juga : Kue Basah yang Mengiris Garis Kemiskinan
Ketika ekonomi menyusut akibat pandemi, sebagian kecil masyarakat kelompok atas tersebut juga terdampak. Kelompok masyarakat di bawahnya juga ikut terdampak, namun tertolong oleh adanya kebijakan subsidi pemerintah sehingga kemiskinan pun tidak meningkat drastis.
Jika dielaborasikan lebih jauh, kemiskinan yang tinggi di sejumlah provinsi juga tidak lepas dari struktur kegiatan ekonominya. Provinsi-provinsi ini sebagian besar bertumpu pada sektor ekonomi ekstraktif seperti pertanian, kehutanan.
Sementara, sektor pertanian dan kehutanan umumnya merupakan daerah yang termasuk kategori perdesaan. Selain itu, struktur ekonomi sektor pertambangan yang relatif padat modal dan teknologi juga turut andil terhadap kemiskinan karena aktivitas ekonomi semacam ini tidak banyak menyerap tenaga kerja.
Berbagai kemungkinan dari hasil analisis korelasi antara IPM dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase kemiskinan juga sejalan dengan teori yang pernah dikemukakan ekonom ternama Amerika Serikat, Michael P. Todaro. Dalam bukunya Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga (1997), Todaro juga mengungkapkan bahwa kemiskinan di negara berkembang dapat disebabkan berbagai faktor.
Variasi kemiskinan dapat terjadi akibat perbedaan geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan. Selain itu, perbedaan kekayaan sumber daya alam dan mutu manusia, peranan sektor swasta dan negara, bahkan hingga struktur politik turut berperan di dalamnya.
Baca juga : Problem di Balik Persebaran Penduduk
Fenomena baru
Pada sisi lain, analisis lebih dalam dari data BPS 2020 juga bisa membuka kemungkinan fenomena baru, baik berupa persoalan maupun peluang. Salah satu potensi munculnya problem baru dapat ditunjukkan dari korelasi antara IPM dan indeks kedalaman kemiskinan (p1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2).
Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi signfikan dan kuat antara variabel IPM dan
variabel P1 dan P2. Arah korelasi antara IPM dengan P1 sebesar -0,673 dan P2 sebesar -0,658 menunjukkan jika IPM semakin tinggi, maka P1 dan P2 akan semakin rendah.
Sementara, sebagian provinsi mencatat besaran IPM dalam kategori rendah. Temuan ini paling tidak menunjukkan kecenderungan bahwa pandemi bisa saja semakin memperburuk kualitas kemiskinan.
Indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan pengeluaran rata-rata penduduk miskin akan semakin jauh dari garis kemiskinan, sedangkan P2 menunjukkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin juga semakin tinggi. Dengan demikian, pandemi Covid-19 memberikan tantangan yang semakin besar bagi upaya pengetasan kemiskinan di masa depan.
Mengingat IPM juga mengukur aspek kesehatan, variabel ini juga menunjukkan implikasi tidak langsung kemiskinan akibat pandemi Covid-19. Pandemi secara tidak langsung berdampak pada pembatasan aktivitas ekonomi, menyusutnya kegiatan usaha yang akhirnya akan memicu pengangguran dan berimbas pada peningkatan kemiskinan.
Baca juga : Normal Baru dan Tantangan Penganggur Baru
Analisis variabel kumulatif kasus positif Covid-19 dengan tingkat pengangguran terbuka menunjukkan korelasi yang signifikan dan cukup kuat dengan nilai 0,406. Arah korelasi yang positif menunjukkan jika kumulatif kasus Covid-19 semakin rendah, maka tingkat pengangguran terbuka akan semakin rendah. Potensi meningkatnya kemiskinan akibat bertambahnya pengangguran juga menjadi problem baru yang menjadi tantangan pemerintah di masa mendatang.
Kendati demikian, pada sisi lain hasil analisis korelasi variabel IPM, pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif di sejumlah daerah pada masa pandemi. Menariknya, wilayah-wilayah ini tersebut mengandalkan sektor pertanian/kehutanan sebagai salah satu tumpuan ekonominya. Kecenderungan ini dapat dibaca sebagai peluang yang masa depan sebagai salah satu sumber ekonomi yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.
Sejak pandemi Covid-19, aktivitas perdagangan dan ekonomi yang macet akibat pembatasan sosial, juga memunculkan gejala yang dinamakan glokalisasi. Muncul kecenderungan menguatnya berbagai aktivitas ekonomi, membentuk kluster-kluster wilayah yang semakin melokal.
Baca juga : Menuju Glokalisasi Seusai Pandemi Covid-19
Salah satu contohnya adalah gejala merebaknya pariwisata staycation. Konsep pariwisata model baru ini cenderung melokal karena lebih banyak memanfaatkan tempat-tempat menarik yang tidak jauh dari rumah sebagai sarana berwisata.
Aktivitas bercocok tanam dan beternak juga menjadi gejala baru yang menguat sejak pandemi Covid-19. Hal ini mendorong masyarakat di setiap wilayah untuk melihat kembali potensi alam di wilayahnya sehingga mendorong kemandirian pangan.
Selain itu, aktivitas sebagian masyarakat yang tetap mempertahankan sejumlah komoditas perdagangan, seperti kakao di Sulawesi barat, pengolahan susu sapi di jawa tengah, atau lidah buaya di Kalimantan Barat, masih berpeluang memperkuat perekonomian lokal ke depan.
Melihat berbagai persoalan lama dan baru serta peluang ke depan di balik data kemiskinan, rasanya tidak berlebihan jika pemerintah memegang peranan kunci dalam hal ini. Kelembagan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, dihadapkan pada tantangan dan kepekaan untuk cermat mencari solusi terbaik guna memecahkan kompleksitas aspek kemiskinan di masa depan.
(LITBANG KOMPAS)