Menuju Glokalisasi Seusai Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 saat ini boleh jadi memberi peluang untuk menguatkan kembali potensi lokal. Alih-alih bergantung pada ekonomi global, glokalisasi perlu dikembangkan.
Hampir sembilan bulan berlalu, pandemi Covid-19 telah memorakporandakan tatanan dunia secara ekonomi, sosial, bahkan politik. Kedatangannya yang tiba-tiba membatasi pergerakan semua orang di dunia, termasuk berbagai komoditas penting yang selama ini bebas keluar masuk antarnegara.
Pada gilirannya, pandemi Covid-19 yang secara mendadak muncul telah mendegradasi globalisasi yang sebelumnya melibatkan hampir seluruh negara di dunia dalam ibaratnya, satu ”isme”, yakni globalisasi. Sebagai catatan, Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyatakan era globalisasi telah bermula sejak abad ke-19.
WEF membagi gelombang globalisasi menjadi empat bagian, yakni globalisasi 1.0 hingga globalisasi 4.0. Ketika gelombang pertama globalisasi, belum seluruh negara terlibat. Baru pada globalisasi gelombang kedua dan ketiga, lebih banyak negara terlibat.
Pada tahun 1995, dibentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang mendorong seluruh negara di dunia untuk masuk dalam perjanjian perdagangan bebas. Sejak saat itu, perdagangan antarnegara menjadi masif dan secara tidak langsung menimbulkan ketergantungan antarnegara.
Kontribusi ekspor pada PDB dunia kian meningkat hingga lebih dari 15 persen. Bukan hanya perdagangan, arus investasi pun mengalir dari satu negara ke negara lainnya.
Merujuk pada definisinya, globalisasi merupakan perluasan dan pendalaman arus perdagangan, modal, teknologi, dan informasi internasional dalam pasar global yang cenderung terintegrasi (Yuniarto, LIPI, 2014). Proses tersebut secara alamiah membawa seluruh bangsa dan negara di dunia semakin terikat antara satu dan yang lain, mewujudkan tatanan baru, serta menimbulkan saling ketergantungan.
Pada era globalisasi 1.0, Inggris mendominasi dunia melalui ekspansi kolonisasinya berupa wilayah Inggris Raya. Inggris bisa melakukannya karena inovasi teknologi mesin uap kapal laut yang membuat Inggris mampu mengekspor komoditas penting dunia, seperti besi, tekstil, dan manufaktur ke negara lain secara lebih cepat. Tercatat, ekspor Inggris saat itu mencakup 3 persen PDB dunia.
Globalisasi memberi manfaat selain perdagangan bagi negara-negara yang mengadopsinya. Kemajuan teknologi yang sebagai salah satu tanda adanya globalisasi memberi banyak kemudahan bagi manusia. Komunikasi yang mudah tanpa batasan ruang dan waktu serta mobilitas manusia menjadi tanpa batas.
Globalisasi juga membawa perubahan pola pikir masyarakat yang semula irasional menjadi lebih rasional. Masyarakat mengedepankan akal sehat dan memercayai hal-hal yang nyata, alih-alih percaya pada mitos yang cenderung bersifat abstrak. Sikap rasional turut mendorong pola pikir yang lebih maju, menguatkan demokrasi, dan menjunjung hak-hak asasi manusia.
Namun, dalam perjalanannya, arus globalisasi tidak seutuhnya memberikan dampak positif. Melimpahnya barang dan jasa yang ditawarkan membentuk pola hidup masyarakat yang konsumtif. Publikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2014 menyebutkan, salah satu tantangan adanya globalisasi adalah kelangkaan pangan di masa depan sebagai dampak sifat konsumtif.
Perilaku tersebut tanpa disadari berdampak pada eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan lingkungan dan kelangkaan. Perlombaan setiap negara dalam menghasilkan komoditas yang diminati dunia menjadi salah satu penyebabnya.
Di sisi lain, kemudahan teknologi membuat masyarakat cenderung individualis karena merasa mampu melakukan banyak hal tanpa bantuan orang lain. Tak jarang hal tersebut berdampak pada lunturnya semangat gotong royong dan solidaritas. Globalisasi menjadi tak terhindarkan bagi setiap orang di seluruh dunia di tengah disrupsi teknologi.
Deglobalisasi
Meski demikian, globalisasi yang telah diadopsi seluruh dunia pernah meredup atau mengalami deglobalisasi. Deglobalisasi pertama terjadi pada globalisasi 1.0. WEF mencatat, pada masa itu, negara-negara besar, seperti India, China, Meksiko, dan Jepang, yang sebelumnya memiliki kekuatan besar tidak diizinkan beradaptasi dengan industrialisasi dan tren global.
Di sisi lain, negara-negara Eropa yang berjaya pada masa itu berhasil merebut sejumlah negara di benua Afrika. Situasi tersebut menimbulkan konflik dan krisis yang berujung pada Perang Dunia I tahun 1914. Aktivitas perdagangan dan pasar uang dalam jaringan global runtuh serta negara-negara kembali menutup perbatasan. Perang Dunia II terjadi pada 1939 dan berakhir pada 1945 yang menandai lahirnya globalisasi gelombang kedua.
Baca juga: Tatanan Dunia Pasca-Covid-19
Kini, ketika dunia merayakan globalisasi gelombang keempat yang ditandai dengan digitalisasi, deglobalisasi disinyalir kembali terjadi. Deglobalisasi yang tengah terjadi bukan merupakan dampak dari adanya perebutan kekuasaan dan perdagangan, tetapi dampak dari bencana non alam yakni pandemi Covid-19. Bencana yang menyerang kesehatan kini menggerogoti sendi-sendi perekonomian global.
Menurut catatan Universitas dan Rumah Sakit Johns Hopkins, hingga 24 September 2020, Covid-19 telah tersebar di 188 negara di dunia. Situasi tersebut menuntut setiap negara melakukan pembatasan hingga penutupan wilayah.
Sebagai akibatnya, perdagangan antarnegara terpaksa dibatasi bahkan dihentikan sebagai upaya pencegahan penyebaran virus korona penyebab penyakit Covid-19.
Mewujudkan glokalisasi
Kondisi tersebut menuntut setiap negara untuk beradaptasi, salah satunya dengan mengoptimalkan potensi lokal. Peneliti Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) Jawa Tengah, Agung Pangarso, merumuskan sejumlah perubahan yang berpotensi terjadi pascapandemi Covid-19. Satu dari lima perubahan tersebut adalah adanya glokalisasi.
Merujuk definisinya, glokalisasi merupakan kombinasi dari kata globalisasi dan lokalisasi yang dideskripsikan untuk produk atau layanan yang dikembangkan dan didistribusikan secara lokal yang disesuaikan untuk mengakomodasi konsumen lokal.
Dalam paparan yang berjudul ”Post Covid-19: Tinjauan Keruangan Kawasan Perkotaan”, salah satu langkah mewujudkan glokalisasi adalah dengan mendorong penguatan lokalitas wilayah. Hal ini sebagai respons dari rentannya sebuah negara terhadap pandemi ketika mengikuti arus globalisasi.
Baca juga: Virus De-globalisasi
Dalam hal industri, sinergi perlu dibangun dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam lokal, dari hulu hingga ke hilir. Adanya keterkaitan ekonomi lokal menjadi penting dilakukan. Salah satu contohnya adalah industri pengolahan susu di Jawa Tengah dengan bahan baku asal wilayah tersebut.
Contoh lain daerah yang memanfaatkan potensi lokal adalah Kota Pontianak. Tanaman lidah buaya produksi Pontianak dikonsumsi dan bermanfaat untuk kesehatan. Sulawesi Barat juga menjadi daerah yang memanfaatkan komoditas unggulan kakao untuk diproduksi menjadi coklat.
Praktik tersebut dapat digunakan untuk mengoptimalkan industri mikro dan kecil (IMK) yang berbasis di daerah, seperti desa dan kelurahan, karena sumber daya alam lokal yang menjadi bahan bakunya. Badan Pusat Statistik mencatat, pada tahun 2018, terdapat 146.876 IMK yang berlokasi di desa/kelurahan dan tersebar di 34 provinsi. Jumlah tersebut meningkat 5,8 persen dibandingkan dengan tahun 2014.
Fakta-fakta tersebut memberi gambaran glokalisasi terjadi di tingkat mikro dengan memanfaatkan potensi lokal. Selain sebagai solusi kerentanan pangan akibat pandemi, juga dapat membangkitkan potensi ekonomi daerah sebagai upaya meningkatkan ketahanan nasional dan kemandirian pangan.
(Litbang Kompas)