Normal Baru dan Tantangan Penganggur Baru
Normal baru di masa pandemi Covid-19 adalah tantangan baru mengatasi berbagai persoalan ekonomi, termasuk munculnya penganggur baru.

Efan Suryanto menunjukkan surat pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum naik bus antarkota antarprovinsi (AKAP) SAN di Terminal Bus Terpadu Sentra Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur, Senin (18/5/2020). Calon penumpang yang akan bepergian diharuskan memenuhi syarat-syarat sesuai dengan yang tertera dalam surat edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Munculnya penganggur baru seiring tutupnya sebagian perusahaan akibat pandemi Covid-19 mempertebal lapisan gunung es di sektor ketenagakerjaan. Lonjakan penganggur baru muncul di tengah meningkatnya jumlah angkatan kerja baru dan tingkat partisipasi angkatan kerja yang menurun sebelum Covid-19 muncul di Indonesia.
Hampir mencapai tiga perempat abad kemerdekaan, persoalan pengangguran masih membayangi Indonesia. Bahkan, beberapa bulan menuju perayaan kemerdekaan tersebut, pengangguran kembali meningkat, terutama saat Covid-19 melanda.
Pandemi Covid-19 yang belum genap tiga bulan melanda Indonesia telah menimbulkan ledakan penganggur yang cukup besar. Upaya pemutusan rantai Covid-19 yang salah satunya ditempuh dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berujung pada bertambahnya jumlah penganggur dalam skala besar pula.
Pasalnya, sekitar satu bulan setelah kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia diumumkan, terdapat lebih dari 1 juta pekerja terdampak. Angka tersebut bahkan muncul sebelum PSBB diterapkan. Belum satu bulan berselang, yakni pada 1 Mei 2020, Kementerian Ketenagakerjaan mengumumkan bahwa terdapat 1,7 pekerja terdampak yang sudah tervalidasi.
Pekerja tersebut adalah pekerja formal yang dirumahkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) serta pekerja informal yang terdampak. Sementara Kementerian Keuangan memprediksi, dalam skenario sangat berat terdapat kemungkinan bertambahnya jumlah penganggur sebanyak 5,23 juta orang. Bahkan, Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memprediksi, penambahan jumlah penganggur Indonesia bisa mencapai lebih dari 9 juta orang sebagai dampak dari Covid-19.
Jika disimulasikan menggunakan perkiraan skenario berat dari CORE dengan jumlah angkatan kerja pada Februari 2020, tingkat pengangguran terbuka (TPT) bisa mencapai 11,5 persen. Merujuk data historis TPT dari Badan Pusat Statistik (BPS), kondisi ini mendekati situasi Indonesia 15 tahun silam. Pada Agustus 2005, TPT tercatat 11,24 persen.

Baca juga : 1,7 Juta Orang Kehilangan Pekerjaan akibat Covid-19
Penurunan semu
Fakta tersebut seolah menafikan pencapaian penurunan pengangguran yang terjadi belakangan ini. Merujuk pada publikasi BPS, selama 10 tahun terakhir, telah terjadi penurunan TPT di Indonesia sebesar 2,42 persen poin. Tahun 2010, TPT Indonesia sebesar 7,41 persen, sedangkan tahun ini sudah turun menjadi 4,99 persen. Sektor yang tercatat mampu menyerap tenaga kerja antara lain konstruksi, penyedia akomodasi dan makan-minum, serta jasa pendidikan.
Sementara itu, tren angka pengangguran yang relatif menurun selama ini tidak menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh perekonomian dalam menciptakan lapangan kerja dalam jumlah yang cukup. Berdasarkan laporan BPS awal Mei 2020, jumlah angkatan kerja Indonesia pada Februari 2020 bertambah menjadi 137,91 juta orang. Idealnya penambahan angkatan kerja mampu diserap oleh lapangan pekerjaan.
Meski demikian, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) justru menurun jika dibandingkan tahun 2019 meski terdapat penambahan penduduk bekerja baru. Tahun lalu, TPAK sebesar 69,32 persen, sementara tahun ini turun menjadi 69,17 persen. Bersamaan dengan itu, jumlah penganggur secara riil bertambah sebanyak 60.000 orang.
Kondisi ini jauh berbeda dengan tahun lalu ketika penambahan jumlah angkatan kerja mampu diserap 100 persen oleh lapangan pekerjaan, bahkan mengurangi tingkat pengangguran. Sebagai gambaran, jumlah angkatan kerja baru tahun lalu sebanyak 2,24 juta orang.
Angka tersebut diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 2,29 juta orang, yang dilihat melalui penambahan jumlah penduduk bekerja. Selisih keduanya digenapi oleh jumlah penganggur sebanyak 50.000 orang. BPS menyebutkan, penyerapan tenaga kerja pada bulan Februari tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya berkaitan dengan musim panen yang mampu menyerap tenaga kerja.

Baca juga: Waspadai Pengangguran di Sektor Industri Unggulan
Kualitas Pekerjaan
Namun, penurunan tren pengangguran yang dilihat melalui besaran TPT selama ini tidak serta-merta mengindikasikan mutu tenaga kerja Indonesia. Pasalnya, dari rata-rata penduduk bekerja sebesar 69 persen, lebih dari separuhnya adalah pekerja informal. Sementara pekerja informal adalah pekerja yang cukup rentan terhadap guncangan ekonomi.
Menelusuri lebih dalam publikasi BPS, di dalam penduduk bekerja terdapat proporsi pekerja yang melakukan pekerjaan rentan. Indonesia mendefinisikan pekerja rentan sebagai pekerja mandiri, pekerja musiman, dan pekerja keluarga/tidak dibayar.
Pekerja mandiri adalah mereka yang berusaha sendiri, dengan atau tanpa dibantu buruh yang tidak dibayar. Sementara pekerja musiman antara lain pekerja bebas yang tidak memiliki majikan tetap, baik di bidang pertanian maupun non-pertanian. Merujuk definisi BPS, para pekerja bebas mendapat imbal jasa berupa uang atau barang yang diberikan harian atau borongan.
Kembali pada pencapaian penurunan angka pengangguran pada bulan Februari tahun lalu dan sebelumnya, para pekerja yang mengandalkan musim panen adalah salah satu contoh pekerja bebas bidang pertanian.
Menurut Organisasi Tenaga Kerja Internasional (ILO), pekerja bebas adalah pekerja lepas tanpa stabilitas. Pada umumnya pekerja bebas tidak memiliki ikatan dan jarang dilindungi oleh jaminan sosial. Mengutif ILO, meningkatnya penggunaan pekerja bebas akan berdampak negatif pada keuntungan produktivitas dalam jangka panjang.
Sementara itu, masih terdapat pekerja rentan lain, yakni pekerja keluarga/tidak dibayar. Mereka bekerja membantu orang lain yang berusaha tanpa mendapat gaji atau imbalan, baik berupa uang maupun barang. Yang termasuk di dalamnya antara lain anggota keluarga yang membantu pekerjaan di sawah atau menjaga warung, tetapi tidak mendapat bayaran. Proporsi dari keseluruhan pekerja rentan tersebut mencapai lebih dari separuh total penduduk bekerja.

Baca juga : Tantangan Revolusi 10 Juta Pekerjaan Baru
Pekerja tidak penuh
Di lain sisi, dilihat dari jam kerja, hampir sepertiga bekerja di bawah jam kerja normal (minimal 35 jam dalam seminggu) atau pekerja tidak penuh (underemployed). Mengutip kriteria BPS, pekerja tidak penuh dibagi menjadi dua, yakni setengah menganggur dan pekerja paruh waktu.
Pekerja setengah menganggur adalah pekerja dengan jam kerja di bawah jam kerja normal, tetapi masih bersedia mencari atau menerima pekerjaan lain. Adapun pekerja paruh waktu tidak bersedia mencari atau menerima pekerjaan lain. Tahun lalu, jumlah kedua jenis pekerja tersebut menurun. Sementara Februari tahun ini, jumlah pekerja paruh waktu meningkat 1,07 persen daripada tahun lalu. Dilihat dari fungsinya, pekerjaan paruh waktu bisa menjadi batu loncatan bagi angkatan kerja untuk memperoleh pendapatan sebelum bisa menjadi pekerja permanen.
Angka tersebut bisa dipastikan semakin bertambah di tengah guncangan ekonomi akibat pandemi yang terjadi seperti sekarang ini. Para pekerja terpaksa mencari pekerjaan paruh waktu demi tetap mempertahankan kelangsungan hidupnya. Bahkan, tidak sedikit yang mencari pekerjaan dengan level lebih rendah (downgrade) dari pekerjaan sebelumnya.
Sebagai gambaran, banyak pekerja dengan latar pendidikan S-1 hingga S-2 terpaksa melamar menjadi asisten rumah tangga, sopir, tukang kebun, atau perawat warga lansia. Profesi mereka sebelumnya antara lain guru dan bidan. Mereka melamar melalui yayasan penyalur tenaga kerja (Kompas.com, 5/5/2020).
Alternatif lain bertahan hidup dari sejumlah pekerja terdampak Covid-19 adalah membuka usaha sekala kecil. Usaha yang dikerjakan antara lain menjadi perajin masker atau peti mati, membuat kue lebaran, serta menjalankan usaha makanan lainnya (Kompas, 5/5/2020).
Respons tersebut sama seperti yang dilakukan para pekerja yang di-PHK akibat krisis moneter 1998, merujuk pada laporan studi kualitatif dari Lembaga Penelitian Smeru (Juni 2000) terhadap 61 responden berpendidikan tinggi. Hasil studi mereka menyimpulkan, 40 persen lebih responden beralih pekerjaan di bidang wiraswasta setelah sebelumnya mereka menjadi karyawan atau pegawai di sektor formal. Namun, pendapatan yang tidak menentu masih menjadi ancaman bagi mereka.

Baca juga : Pasar Kerja Makin Fleksibel, Pekerja Makin Rentan ”Didribel”
Kesejahteraan
Para pekerja tidak penuh menjadi kurang produktif sebab waktu yang seharusnya bisa dioptimalkan untuk bekerja tidak terakomodasi. Boleh jadi, para pekerja tidak penuh sebenarnya juga termasuk dalam pekerja rentan yang dihadapkan pada berbagai risiko. Kondisi tersebut membuat pekerja di Indonesia masih belum seutuhnya menjadi pekerja yang layak. Menurut ILO, pekerja layak dapat diukur dari tingkat produktivitas pekerja.
Sebagai pekerja tidak penuh, kemungkinan tingkat pendapatan yang diterima juga rendah. Rendahnya tingkat upah yang diterima mengindikasikan tingkat kesejahteraan pekerja. Mengacu pada ILO, kesejahteraan pekerja dapat dikaji salah satunya melalui tingkat pendapatan bulanan. Bagi seorang pekerja bebas atau musiman, misalnya, sangat sulit untuk menentukan jumlah pendapatan per bulan. Salah satu pekerja rentan dengan tingkat pendapatan terendah, menurut ILO, adalah pekerja bebas di sektor pertanian.
Rendahnya pendapatan yang diterima sekelompok penduduk yang masuk kategori bekerja, tetapi sebenarnya dengan pendapatan minim, berdampak pada rendahnya tingkat konsumsi, yang akhirnya juga menentukan kondisi perekonomian nasional. Ledakan pengangguran dan masih rendahnya kualitas pekerjaan di Indonesia dalam jangka panjang akan bermuara pada ketimpangan dan kemiskinan.
Melihat fakta yang sudah terjadi sebelum dan sesudah pandemi, ledakan pengangguran menjadi hal tak terelakkan. Kondisi ini menuntut pemerintah menyiapkan berbagai skenario, khususnya jangka pendek di sektor ketenagakerjaan. Salah satu upaya perbaikan bidang ketenagakerjaan dilakukan melalui program Kartu Prakerja, yang hingga saat ini masih menimbulkan polemik menuntut transparansi dan efektivitas.
Skenario jangka pendek mendesak segera diterapkan guna menahan keterpurukan sektor konsumsi yang selama ini mencatat proporsi besar dalam perekonomian. Tentu tidak diharapkan penurunan tingkat pengangguran yang selama ini dilaporkan hanya menjadi pencapaian semu, yang akhirnya terlewat dari perhatian dan memperburuk perekonomian. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Momok Pemiskinan di Masa Pandemi Covid-19