Menanti Penyederhanaan Kurikulum di Masa Pandemi
Di tengah pandemi Covid-19, penyederhanaan kurikulum menjadi kebutuhan yang sangat mendesak supaya ada petunjuk pelaksanaan pembelajaran jarak jauh bagi guru, murid, dan orangtua.
Penyederhanaan kurikulum di masa pandemi dinilai dibutuhkan sebagai petunjuk pelaksanaan pembelajaran jarak jauh atau PJJ pada tahun ajaran baru ini. Selain panduan metode pengajaran, juga dibutuhkan untuk penyesuaian materi pelajaran, jam belajar, penilaian, serta pedoman pengajaran karakter dan budi pekerti pada siswa.
Pertengahan Maret lalu saat wabah mulai melanda Indonesia, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat Indonesia untuk memindahkan kegiatan belajar, bekerja, dan beribadah ke rumah. Setelah itu, kegiatan belajar-mengajar dipindahkan di rumah dengan menerapkan pembelajaran daring.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan beberapa surat edaran terkait dengan pedoman penyelenggaraan belajar dari rumah. PJJ bisa dilaksanakan dengan dua metode. Pertama PJJ dalam jaringan (daring) yang bisa dilaksanakan semi daring (melalui media sosial) dan luar jaringan (luring). PJJ daring ini bisa memanfaatkan 23 laman petunjuk pengajaran dari laman Kemendikbud.
Kedua disusul dengan PJJ luar jaringan (luring) yang bisa memanfaatkan program belajar dari rumah. Seperti melalui TVRI, radio, modul belajar mandiri dan lembar kerja, bahan ajar cetak serta alat peraga dan media belajar dari benda dan lingkungan sekitar.
Selain itu, Mendikbud melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 juga mengajak guru memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa tanpa terbebani menuntaskan kurikulum. Guru bisa fokus pada pendidikan kecakapan hidup terkait pandemi Covid-19 dan bisa memberikan variasi aktivitas dan tugas pembelajaran belajar dari rumah antarsiswa sesuai minat dan kondisi setiap siswa.
Namun, memang tidak mudah untuk memaknai dan melaksanakan surat edaran tersebut dengan kondisi setiap daerah yang berbeda karakteristiknya. Banyak problem yang muncul dari soal koneksi internet dan listrik, kurangnya pembelajaran interaktif, serta hilangnya ikatan emosional antara guru dan murid.
Masalah PJJ belum tuntas, Kemendikbud akan melanjukan PJJ pada tahun ajaran baru (2020/2021), khususnya pada wilayah di zona selain hijau. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi tenaga pendidik yang masih harus bekerja keras menciptakan sistem belajar-mengajar secara daring yang efektif dan bisa diterima oleh semua peserta didik dengan segala kondisi yang ada.
Kurikulum darurat
Hasil survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada guru pendidikan dasar dan menengah di 34 provinsi menyebutkan, kurikulum darurat di masa pandemi sangat dibutuhkan. Kurikulum darurat yang dimaksud di antaranya relaksasi konten (standar isi) kurikulum, standar penilaian, standar proses, dan standar kompetensi lulusan. Juga termasuk standar sarana-prasarana, berbentuk peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bukan sekadar Surat Edaran Kemendikbud.
Harapan guru pada survei FSGI tersebut juga sama dengan harapan publik pada survei jajak pendapat Kompas awal Juli lalu. Hampir tiga perempat responden sepakat jika pemerintah membuat kurikulum darurat di masa pandemi ini.
Hal yang sama disebutkan oleh Annuwar Ramadhan (30), guru SMA St Carolus Bengkulu. Diwawancarai melalui telepon, dia menyebutkan tahun ajaran mendatang bukanlah darurat lagi seperti sebelumnya. Para guru tetap membutuhkan kurikulum yang lebih sederhana yang bisa disampaikan secara daring.
Dia menerangkan, saat PJJ, dalam sehari hanya bisa memberikan dua materi pelajaran yang berbeda. Hal itu berarti satu mata pelajaran hanya bisa diberikan seminggu sekali. Dibutuhkan pedoman materi esensial mana yang bisa diberikan interaktif dan sisanya bisa diberikan dalam bentuk modul supaya siswa belajar mandiri.
Meski mayoritas menyetujui pembuatan kurikulum darurat, ada sekitar 20 persen responden yang tidak menyetujuinya. Alasan yang banyak disebut (48,7 persen) adalah selama ini kurikulum sudah sering berubah. Selain itu, 10 persen menyatakan sudah ada sejumlah pedoman dan petunjuk yang dibuat oleh Kemendikbud.
Pendapat yang sama juga disebutkan oleh Ica Veronica (42). Guru Bimbingan dan Konseling SMPN 1 Semarang tersebut menyatakan tidak perlu ada kurikulum darurat. Penyusunan kurikulum itu bukan proses yang mudah.
Sekolah pun sebenarnya sudah mengimplementasikan kurikulum yang sudah ditentukan Kemendikbud tersebut. Setiap satuan pendidikan juga sudah menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan, menyesuaikan kondisi sekolah.
Dia menyebutkan, cukup dengan pedoman/petunjuk bagaimana guru-guru bisa melaksanakan kurikulum yang sudah disusun di masa pandemi. Justru selama ini yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana memfasilitasi guru dan murid untuk mengakses teknologi. Seperti bantuan kuota karena selama ini sudah cukup menambah pengeluaran ekonomi keluarga.
Tim Balitbang Kemendikbud saat ini sedang menyusun beberapa penyesuaian kurikulum yang telah ada supaya lebih sederhana dan sesuai dengan situasi pandemi. Mengutip dari laman Kompas.com, kurikulum menekankan tiga prioritas, yakni literasi, numerasi, dan pendidikan karakter. Pemanfaatan teknologi dalam kegiatan belajar mengajar akan menjadi hal mendasar.
Baca juga: Kemendikbud Siapkan Kurikulum Khusus Masa Pandemi
Materi pelajaran
Penyampaian materi hanya yang esensial ini bukan berarti mengurangi materi pelajaran yang diberikan. Hal itulah yang membuat separuh lebih responden tidak menyetujui dengan pengurangan materi pelajaran. Surat Edaran Sekjen Kemendikbud No 15/2020 mengenai Panduan PJJ menyebutkan, kurikulum materi pelajaran disampaikan lengkap, pelajaran terstruktur tetapi difokuskan pada pengetahuan dan keterampilan inti.
Selain soal materi pelajaran, 72 persen responden juga berharap jika jam belajar dikurangi. Jika dalam pembelajaran tatap muka, kegiatan belajar bisa dilaksanakan selama 5-6 jam dengan dua kali istirahat. Namun, dalam pembelajaran daring, maksimal 4 jam dengan waktu istirahat 30 menit hingga satu jam.
Christina Martini (47), Kepala SMP Tarakanita 4 Jakarta, menceritakan kegiatan belajar-mengajar daring selama empat bulan lalu. Pelajaran dimulai pukul 08.00 yang dimulai dengan mengabsen semua murid di kelas oleh wali kelas.
Setelah itu dilanjutkan dengan mata pelajaran pertama hingga ketiga yang masing-masing disampaikan sekitar satu setengah jam. Setiap ganti pelajaran, ada istirahat sekitar setengah jam.
Pengurangan jam pelajaran ini penting karena sistem belajar daring akan membuat siswa bosan. Mengutip pemberitaan Kompas dalam peluncuran ”Panduan Ergonomi Belajar dari Rumah oleh Perhimpunan Ergonomi Indonesia)”, guru dituntut mengoptimalkan konsentrasi siswa pada 20 menit pertama. Setelah itu, konsentrasi siswa menurun.
Setelah 20 menit pertama, pembelajaran diselingi dengan permainan, diskusi, dan istirahat singkat. Tipsnya jika siswa belajar di depan laptop harus diterapkan pola istirahat 20-20-20. Artinya, pandangan mata siswa harus dialihkan setiap 20 menit.
Pembentukan karakter
Pendidikan karakter dan budi pekerti menjadi bagian dalam kurikulum 2013. Namun dalam PJJ, penyampaian materi tersebut cukup sulit karena guru dan murid tidak bertatap muka. Sekitar 90 persen responden menyebutkan, pengajaran karakter dan budi pekerti menjadi bagian yang cukup penting dalam materi belajar daring.
Sekolah St Carolus Bengkulu, misalnya, mencari cara untuk menyampaikan kurikulum Pendidikan Karakter Tarakanita yang telah disusun oleh Tim Kesiswaan. Materi bagaimana berkomunitas, kerja sama dan berdaya juang disampaikan dengan media interaktif Zoom atau grup Whatsaap. Setelah itu murid-murid diminta membuat video untuk mempraktikkan dan merefleksikan materi tersebut seperti bagaimana mencuci tangan yang benar, membersihkan rumah, hingga membantu orang.
Namun, menurut Christina dan Annuwar, penyampaian materi karakter secara daring tidaklah mudah. Hal ini menuntut peran orangtua untuk ikut membantu menyampaikan materi pembentukan karakter dan budi pekerti.
Akses teknologi
Hal lain yang disoroti oleh 87 persen adalah penyesuaian kemampuan murid dalam mengakses teknologi. Hal ini juga menjadi penting dimasukkan dalam materi kurikulum darurat PJJ.
Bukan hanya soal ketersediaan sinyal internet. Peralatan untuk belajar daring juga cukup memengaruhi hasil belajar. Hasil survei FSGI dan KPAI pada 1.700 siswa SD-SMA di 20 provinsi April lalu menyebutkan adanya keterbatasan sarana belajar daring.
Mayoritas siswa (95 persen) belajar menggunakan telepon genggam. Hanya 24 persen yang menggunakan laptop. Hasil lainnya, 53,6 persen, tidak memiliki fasilitas Wi-Fi. Mengandalkan sinyal internet terkadang juga tidak maksimal karena terkadang lemah.
Sebelum melakukan PJJ, pihak sekolah terlebih dahulu mendata kemampuan murid dalam mengakses teknologi. Seperti pengalaman Annuwar yang menyebarkan angket melalui Google Form untuk mengetahui bagaimana kemampuan murid dalam mengakses teknologi.
Setelah diketahui, guru akan menyesuaikan bagaimana penyampaian materi pelajarannya. SMA St Carolus semester lalu memilih menggunakan e-modul untuk pembelajaran mandiri dan interaktif menggunakan grup Whatsapp. Selain itu, sekolah juga memberikan bantuan dana untuk pembelian paket data.
Baca juga: Pembelajaran Jarak Jauh Berlanjut, Siswa yang Rentan Tetap Terkendala
Metode pembelajaran
Pembelajaran daring juga menimbulkan masalah lain pada metode pembelajaran yang digunakan. Idealnya, materi belajar disampaikan secara blended learning. Blended learning, menurut Kemendikbud, adalah kombinasi luring ansikronus (murid secara mandiri belajar dan mengerjakan tugas di rumah); daring sinkronus (guru dan murid bertemu pada waktu yang sama via teknologi di tempat yang berbeda); dan daring ansikronus (murid secara mandiri berselancar di internet untuk belajar mandiri mengerjakan tugas).
Mayoritas (79 persen) siswa dalam survei yang diselenggarakan KPAI dan FSGI, PJJ berlangsung tanpa interaksi guru dan siswa. Murid mengakui guru hanya memberikan dan menagih tugas. Hanya 20 persen siswa yang menyatakan ada interaksi antara siswa dan guru.
Hal ini menimbulkan sejumlah kendala proses belajar dari rumah (Studi Wahana Visi). Sebanyak 37 persen anak tidak bisa mengatur waktu belajar, 30 persen anak kesulitan memahami mata pelajaran, 21 persen anak tidak memahami instruksi guru, serta 11 persen anak merasa terlalu banyak tugas sekolah.
Daring dan interaktif
Perpaduan daring dan interaktif menjadi metode yang dipilih oleh sejumlah siswa, guru, dan orangtua murid dalam wawancara yang dilakukan Kompas melalui telepon dan Whatsapp. Lala (11) berharap tahun ajaran baru mendatang, sekolahnya bisa menerapkan perpaduan daring dan interaktif, sama seperti saat PJJ sebelumnya.
Siswi kelas 8 SDK BPK Penabur Gading Serpong tersebut menyebutkan, beberapa pelajaran harus dijelaskan langsung oleh guru jadi perlu interaktif. Kalau pelajaran yang sudah pernah dibahas, bisa diulangnya secara mandiri melalui pengerjaan tugas.
Hal yang sama juga diharapkan oleh Lika (11). Lika yang baru saja diterima di SMPN 1 Purwodadi malah berharap ada pertemuan tatap muka di sekolah supaya bisa bertemu langsung dengan teman-teman dan guru barunya yang selama ini belum pernah bertemu.
Sebelumnya, karena keterbatasan akses teknologi, pembelajaran daring hanya menggunakan siaran TVRI selama sekitar 30 menit. Setelah itu dilanjutkan dengan mengerjakan tugas mandiri dari soal-soal yang dibagikan oleh sekolah.
Keinginan yang sama juga disampaikan oleh orangtua. Lodeba Sebayang (40) berharap tahun ajaran baru ini sekolah dua anaknya di SMP Lab School dan SD Tarakanita Barito menerapkan sistem pembelajaran daring dan interaktif, khususnya di SD Tarakanita Barito.
Menurut dia, tatap muka secara langsung untuk proses pemberian materi dan penjelasan serta menjawab pertanyaan murid sangat penting. Adapun pembelajaran mandiri berguna bagi pemberian tugas dari sekolah. Namun, menurut Lodeba, tantangannya pada interaktif saat siswa tidak mempunyai fasilitas teknologi yang memadai.
Para pendidik pun berkeinginan untuk menyampaikan materi pengajaran secara daring interaktif dan mandiri. Meski sebenarnya tidak mudah melaksanakan sistem daring interaktif di tengah segala keterbatasan akses teknologi yang dimiliki murid.
Sistem daring interaktif idealnya murid dan guru bertemu pada waktu yang sama menggunakan teknologi. Aplikasi yang digunakan bisa menggunakan Zoom, Google Meet, ataupun Webex.
Sistem tersebut tidak bisa dilakukan setiap hari karena keterbatasan teknologi. Langkah inovatif yang ditempuh adalah menggunakan grup Whatsapp antara guru dan murid dengan saling menyapa. Namun, itu pun tidak bisa terlaksana dengan baik jika siswa tidak mempunyai HP pribadi.
Pembelajaran jarak jauh akan dilaksanakan kembali pada tahun ajaran baru yang akan dimulai minggu ini. Penyederhanaan kurikulum mendesak dibutuhkan supaya ada petunjuk pelaksanaan PJJ bagi guru, murid, dan orangtua. Pendidikan di masa pandemi ini menanti peran semua pihak tidak hanya pemerintah dan pendidik, tetapi juga orangtua sebagai pendamping anak belajar di rumah. (LITBANG KOMPAS)