Dewas KPK menjadwalkan sidang etik perkara dugaan pelanggaran etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada Kamis (2/5/2024).
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi tetap melanjutkan pemeriksaan dugaan pelanggaran etikNurul Ghufron meski Wakil Ketua KPK itu mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pimpinan KPK lainnya juga mempersilakan Dewas KPK memeriksa perkara etik yang diduga melibatkan Nurul Ghufron.
Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, mengungkapkan, Dewas sudah menjadwalkan sidang etik untuk perkara Ghufron pada Kamis (2/5/2024). Dalam sidang itu, majelis etik akan merundingkan sejumlah hal, termasuk gugatan yang dilayangkan Ghufron ke PTUN.
”Kami rencanakan sidang tanggal 2 (Mei), nanti kami lihat (pengaruh gugatan PTUN Ghufron). Nanti majelisnya berunding. Bukan cuma saya sendiri,” kata Albertina saat ditemui di Jakarta, Selasa (30/4/2024).
Albertina mengungkapkan, Dewas KPK sudah mengundang Ghufron dan para saksi lain, salah satunya bekas Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Kementan) Kasdi Subagyono, untuk hadir ke sidang etik. Apabila Ghufron tidak hadir ke persidangan, majelis etik akan berunding.
Sejauh ini, Dewas KPK baru memperoleh satu laporan terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Ghufron, yakni diduga berkomunikasi dengan pejabat Kementan untuk kepentingan mutasi salah satu pegawai di kementerian tersebut.
Albertina belum mengetahui apakah Ghufron memperoleh keuntungan dari upayanya membantu pegawai Kementan tersebut. Ia juga belum mengetahui apakah ada indikasi Ghufron berkomunikasi dengan pihak beperkara di Kementan.
Saat ini KPK sedang menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Kasdi Subagyono, serta bekas Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan Muhammad Hatta.
Dewas sudah menjadwalkan sidang etik untuk perkara Ghufron pada Kamis (2/5/2024). Dalam sidang itu, majelis etik akan merundingkan sejumlah hal, termasuk gugatan yang dilayangkan Ghufron ke PTUN.
Sebelumnya, Ghufron mengatakan, ia telah menggugat ke PTUN terkait perkara ini. Ghufron mengaku bahwa ia dilaporkan ke Dewas KPK pada 8 Desember 2023 dan baru diklarifikasi pada 28 Februari 2024. Padahal, peristiwa itu terjadi pada 15 Maret 2022 sehingga mestinya sudah kedaluwarsa pada 16 Maret 2023. Alhasil, menurut Ghufron, Dewas KPK sudah tidak berwenang lagi untuk memeriksa perkara tersebut.
Ia menjelaskan, gugatannya ke PTUN merupakan proses yang sama seperti yang dilakukan Dewas KPK dalam memproses hukum terhadapnya. Menurut Ghufron, ia melawan sesuai dengan mekanisme hukum. Penegakan etik seharusnya taat hukum.
Persoalan ini pun berbuntut panjang. Ghufron justru melaporkan Albertina ke Dewas KPK atas dugaan penyalahgunaan wewenang. Ia mempersoalkan anggota Dewas KPK yang meminta hasil analisis transaksi keuangan pegawai KPK.
Albertina sudah memberikan klarifikasi dan kronologi kegiatan koordinasi yang dilakukan dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dewas berkesimpulan tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan Albertina.
Ditemui secara terpisah, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan, ketua sementara KPK Nawawi Pomolango telah mempersilakan Dewas KPK untuk memeriksa etik perkara Ghufron.
Johanis tidak berani bicara terkait perkara ini karena belum di KPK. Adapun Johanis dilantik sebagai Wakil Ketua KPK pada 28 Oktober 2022 untuk menggantikan Lili Pintauli Siregar yang mengundurkan diri setelah tersangkut kasus dugaan pelanggaran kode etik.
Ia mengatakan, pimpinan sudah berdiskusi terkait persoalan ini. Terkait dengan gugatan Ghufron, menurut Johanis, itu merupakan hak pribadinya. Pimpinan tidak bisa melarangnya.
”Walaupun kita ingatkan, kalau beliau (Ghufron) tidak berkenan, kan kita tidak mempunyai upaya paksa untuk kemudian beliau tidak melakukan, kan? Nanti kita katakan jangan, kita lagi yang disalahkan, kan,” kata Johanis.
Dalam pertemuan tersebut, Johanis mengaku, pimpinan tidak menyarankan apa-apa. Sebab, persoalan ini merupakan masalah pribadi Ghufron dan bukan masalah kedinasan.
Melalui keterangan tertulis, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, melihat, tindak-tanduk Ghufron yang melaporkan anggota Dewas ke Dewas dan menggugat di PTUN menunjukkan bahwa dia sedang frustrasi menghadapi dugaan pelanggaran kode etik di Dewas.
”Mestinya, sebagai aparat penegak hukum, apalagi seorang pimpinan KPK, Ghufron berani untuk menjalani persidangan dan tidak mencari-cari kesalahan pihak lain yang sebenarnya tidak relevan,” kata Kurnia.
Oleh karena itu, ICW mendesak Dewas KPK tidak terpengaruh dengan segala argumentasi pembenar yang disampaikan oleh Ghufron dan tetap melanjutkan proses persidangan. Jika terbukti, ICW meminta Dewas KPK menjatuhkan sanksi berat dengan jenis hukuman berupa diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan seperti diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) Huruf b Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 3 Tahun 2021.
Menurut Kurnia, jika perbuatan Ghufron terbukti, itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, dia disinyalir telah menyalahgunakan kewenangan, bahkan memperdagangkan pengaruh untuk membantu pihak tertentu di Kementan.
Selain menyalahgunakan kewenangan atau memperdagangkan pengaruh, ICW mendorong Dewas untuk mempersoalkan adanya indikasi komunikasi yang dilakukan Ghufron dengan pihak Kementan. Waktu komunikasi yang terbangun oleh keduanya apakah terjadi saat Kementan sedang diselidiki oleh KPK dalam perkara yang melibatkan Syahrul Yasin Limpo harus didalami.
Apabila komunikasi terjadi saat Kementan sedang diselidiki KPK, maka Ghufron diduga melanggar pidana dan etik. Dalam kerangka hukum internasional dengan merujuk pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Melawan Korupsi, perbuatan Ghufron berupa memperdagangkan pengaruh tergolong sebagai tindak pidana korupsi.