Putusan Sengketa Pilpres Terprediksi dari Pendirian Hakim Ihwal Persyaratan Capres-Cawapres
Apa pun putusan MK akan menjadi akhir upaya hukum yang dapat ditempuh secara konstitusional oleh para pihak berperkara.
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau PHPU Pemilihan Presiden 2024 dinilai bisa diprediksi dari arah pendirian hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal persyaratan calon presiden-calon wakil presiden. Jika para hakim konsisten dengan pendirian mereka, putusan mendiskualifikasi calon wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka menjadi terbuka.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi putusan pembuka kontroversi di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Putusan MK yang melapangkan jalan Gibran untuk maju menjadi calon wakil presiden, berdampingan dengan Prabowo Subianto, itu tak bulat. Empat hakim konstitusi—Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahiduddin Adams—berbeda pendapat (dissenting opinion).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Keempat hakim konstitusi itu menolak permohonan uji materi mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) karena itu bagian dari open legal policy.Ada banyak alasan disampaikan.
Baca juga: Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi
Adapun dua hakim konstitusi lain, Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh, menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion). Perihal syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, menurut keduanya, berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur.
Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dian Agung Wicaksono, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (20/4/2024), mengatakan, konstelasi pendirian hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi relevan untuk memprediksi arah pendirian mereka dalam memutus perkara PHPU Pilpres 2024.
Pertama, walaupun empat hakim atau suara minoritas menyatakan berbeda pendapat dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, mereka sangat mungkin menjadi suara penentu dalam perkara PHPU pilpres ini. Wahiduddin Adams yang telah memasuki masa purnatugas tentu tidak dihitung, tetapi komposisi Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo dapat menjadi penentu arah putusan PHPU pilpres ini.
”Dengan komposisi hakim konstitusi hanya berjumlah delapan orang, maka suara Suhartoyo sebagai Ketua MK menjadi penentu akhir putusan PHPU Pilpres 2024,” ujar Dian.
Baca juga: MK yang Mulai, MK yang Mengakhiri
Jika melihat argumentasi Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang tidak sependapat dengan perluasan syarat capres-cawapres, maka seharusnya ketiga hakim konstitusi tersebut juga tidak sependapat bila ada orang lain yang memanfaatkan perluasan norma tersebut, yakni dengan pencalonan Gibran sebagai cawapres di Pilpres 2024.
”Pada titik inilah konsistensi ketiga hakim konstitusi tersebut diuji," ucap Dian.
Kedua, perkara PHPU pilpres ini merupakan momentum berharga bagi kedua hakim konstitusi pemilik alasan berbeda dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Jika Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic tetap berpegang bahwa syarat cawapres harus telah berpengalaman sebagai gubernur, maka seharusnya kedua hakim konstitusi tersebut juga tidak sependapat bila ada orang lain yang tidak memenuhi syarat dengan norma tersebut. Untuk diketahui, Gibran baru berpengalaman sebagai wali kota.
”Namun, bila momentum ini tidak dimanfaatkan oleh dua hakim konstitusi pemilik alasan berbeda tersebut, maka sejatinya alasan berbeda yang dirumuskan susah payah dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak memiliki makna apa pun dan tidak ada gunanya ditampilkan sebagai alasan berbeda. Padahal, seharusnya alasan berbeda dua hakim konstitusi ini merupakan suara penentu dalam membaca Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata Dian.
Baca juga: Kejahatan Tak Pernah Sempurna
Berdasarkan pemetaan konstelasi di atas saja, menurut Dian, seharusnya arah putusan dalam perkara PHPU pilpres ini sudah dapat dianalisis. Namun, kembali lagi, publik masih harus menanti lima hakim konstitusi itu diuji konsistensinya dan ditunggu pertanggungjawabannya, setidaknya berdasarkan pendiriannya dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
”Perkara PHPU pilpres ini menjadi momentum yang berharga bagi MK untuk memberikan pembelajaran ke publik, bagaimana sebenarnya cara membaca Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 berdasarkan perspektif MK sendiri, setidaknya terkait dengan keberadaan alasan berbeda yang melahirkan amar putusan sendiri sehingga harus dibaca sebagai putusan pluralitas,” ucap Dian.
Belenggu formalisme
Di sisi lain, jika menilik perjalanan proses persidangan, sebenarnya juga telah menyiratkan pendirian majelis hakim MK. Keinginan majelis hakim MK untuk menghadirkan empat menteri dalam persidangan PHPU mengindikasikan majelis hakim MK sejatinya telah memiliki pendirian untuk keluar dari belenggu formalisme yang hanya menilai secara kuantitatif selisih perolehan suara.
”Fenomena pemanggilan empat menteri sebagai pemberi keterangan lain, suka atau tidak suka, harus dimaknai bahwa suara mayoritas majelis hakim MK berkeinginan menilai proses yang menghasilkan selisih hasil suara. Dengan demikian, sejatinya dorongan kepada MK untuk hanya menilai selisih hasil suara sudah ”ditolak” oleh pendirian MK sendiri,” ujar Dian.
Baca juga: MK Panggil Empat Menteri
Namun, hal yang perlu dipastikan, menurut Dian, adalah apakah betul pendirian majelis hakim MK untuk menilai proses yang menghasilkan selisih hasil suara tersebut akan tercantum dalam amar putusan PHPU pilpres. Jika mayoritas majelis hakim MK konsisten antara pendirian dalam melakukan pemeriksaan perkara dengan pengambilan putusan, maka seharusnya putusan dengan rumusan amar ”menolak permohonan pemohon” tidak mungkin diambil.
Sebab, baik pemohon dari kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD memang tidak berkutat pada permasalahan selisih hasil suara, tetapi mendalilkan proses yang menghasilkan selisih hasil suara.
Baca juga: Kubu Prabowo-Gibran Nilai Pemohon Sengketa Hasil Pilpres Tidak Taat Hukum Acara
Jika para hakim dalam pemeriksaan sudah berpendirian untuk menilai proses, maka dalam rapat permusyawaratan hakim ketika pengambilan suara untuk merumuskan putusan, sudah sepatutnya mayoritas hakim MK konsisten untuk turut mengadili proses yang berkontribusi melahirkan selisih hasil suara tersebut.
”Karena semua pokok permohonan para pemohon mempersoalkan pencalonan Gibran sebagai cawapres, maka menjadi penting untuk menilik kembali konstelasi pendirian hakim konstitusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023,” ujar Dian.
Namun, apa pun putusannya nanti, itu akan menjadi akhir upaya hukum yang dapat ditempuh secara konstitusional oleh para pihak yang berperkara. Para pemohon tentu berharap seluruh petitumnya dikabulkan. Begitu pula termohon, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan pihak terkait (kubu Prabowo-Gibran) berharap penetapan kemenangan dikuatkan oleh MK.
”Hampir tidak mungkin menghasilkan putusan yangwin-win solution karena begitu berperkara di pengadilan, maka konsekuensi yang harus diterima adalah win-lose solution, ada yang menang dan ada yang kalah,” tutur Dian.
Dengan melihat indikasi majelis hakim MK yang merdeka dari kungkungan formalisme dan tidak hanya menilai selisih suara, Dian berharap MK dapat membuat terobosan bermakna dalam memutus perkara PHPU Pilpres 2024.
Begitu berperkara di pengadilan, maka konsekuensi yang harus diterima adalah ’win-lose solution’, ada yang menang dan ada yang kalah.
Jika ingin mendapatkan rumusan putusan ”win-lose solution”, artinya yang menang adalah keadilan, kemanfaatan, demokrasi, konstitusi, dan konstitusionalisme, serta tentunya suara pemilih rakyat Indonesia. Sedangkan yang kalah adalah perilaku culas, haus kekuasaan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
”MK diharapkan dapat menghadirkan putusan yang memenuhi ekspektasi masyarakat pemilih Indonesia, tetapi tetap memperhatikan suara-suara jernih yang disampaikan akademisi dan masyarakat sipil yang peduli terhadap demokrasi, konstitusi, dan konstitusionalisme di negeri ini,” ucap Dian.
Baca juga: Wanti-wanti Wapres, Pemilu Luber Jurdil, dan Perintah Konstitusi
Penting pula dalam putusan tersebut, MK juga memberikan ”penghukuman” bagi anggota KPU dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang sudah terlalu sering melakukan pelanggaran etik penyelenggara pemilu.
Putusan MK dalam PHPU Pilpres 2024 ini, lanjut Dian, tentu tidak dapat menyenangkan semua pihak, tetapi setidaknya diharapkan bisa menjadi momentum bagi MK untuk mengembalikan kepercayaan publik. Selain itu juga untuk mengembalikan marwah MK sebagai sandaran bagi para pencari keadilan, serta kembali menjadikan MK sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi yang kokoh dan berwibawa.
Putusan sesuai jadwal
Sementara itu, hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih, saat dihubungi Kompas, Sabtu ini, memastikan pembacaan putusan PHPU Pilpres 2024 akan sesuai jadwal, yakni Senin (24/4/2024). ”Sebagaimana jadwal yang sudah diumumkan di web (situs web) MK,” ujarnya singkat.
Juru bicara MK, Fajar Laksono, menambahkan, MK telah mengirimkan undangan kepada semua pihak untuk ikut hadir dalam pembacaan putusan, Senin nanti, yang bakal dimulai pukul 09.00 WIB. Untuk teknis pembacaan putusan, hakim akan membacakan putusan atas permohonan PHPU dari kubu Anies-Muhaimin terlebih dahulu, dan dilanjutkan putusan atas permohonan PHPU dari kubu Ganjar-Mahfud.
”Jadi, ada dua putusan. Tidak digabung menjadi satu putusan,” tutur Fajar.
Agar bisa mengejar target waktu pembacaan putusan, para hakim maraton menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH). Fajar mengungkapkan, RPH setidaknya akan terus berlanjut sampai Minggu (21/4/2024) besok.
”Kami tidak tahu persis, seperti apa proses pengambilan keputusan atau pembahasannya (di RPH). Tetapi, Sabtu sampai Minggu masih diagendakan (RPH),” ucap Fajar.
Baca juga: Kejar Putusan Sengketa Hasil Pilpres, MK Hanya Libur Dua Hari Saat Lebaran
Fajar juga memastikan bahwa putusan PHPU Pilpres 2024 tidak akan bocor ke publik. Sebab, ruang RPH sudah steril. Polisi berjaga ketat di banyak titik sehingga tidak memungkinkan orang luar untuk asal masuk ke ruangan. Akses lift menuju ruang RPH juga terbatas. Petugas yang ikut di RPH pun sudah disumpah.
”Jadi, kami sudah punya mekanisme untuk mensterilkan RPH. Kami punya teknologi. Kami punya mekanisme. Kami punya sumpah. Semua petugas kami tersumpah. Ruang RPH juga restriktif, tidak semua orang bisa melintas atau bahkan masuk, begitu, ya. Semua mekanisme untuk mencegah kebocoran informasi apa pun dari RPH sudah kami lakukan. Jadi, kami memastikan kalau ada bocor-bocor (putusan) itu tentu bukan dari Mahkamah Konstitusi,” kata Fajar.