Vonis Hasbi Hasan Momentum Bersih-bersih Mafia Peradilan
Mafia peradilan terjadi karena hanya kelompok elite tertentu yang memiliki akses dan tahu cara memainkan perkara.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Vonis bersalah Sekretaris Mahkamah Agung (nonaktif) Hasbi Hasan dalam kasus dugaan korupsi penerimaan suap dan gratifikasi untuk pengurusan perkara di MA mengindikasikan masih adanya mafia peradilan di Indonesia. Hal itu terjadi karena ada ruang hampa dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan sampai dengan MA.
Pada Rabu (3/4/2024), Hasbi hanya divonis enam tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp 3,8 miliar. Putusan itu jauh di bawah tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni penjara 13 tahun dan 8 bulan serta pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp 3,8 miliar.
Dalam pertimbangannya, Hasbi memenuhi keinginan deposan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana, Heryanto Tanaka, untuk pengurusan perkara pidana atas nama Budiman Gandi Suparman. Dalam perkara ini, Hasbi menerima suap Rp 3 miliar dan tiga tas seharga Rp 250 juta. Hasbi juga menerima gratifikasi Rp 630,8 juta dalam perkara lain.
Saat dihubungi di Jakarta, Kamis (4/4/2024), Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, kasus Hasbi menggambarkan bagaimana mafia peradilan terjadi di Indonesia. Hal itu terlihat dari proses pemeriksaan perkara di pengadilan sampai dengan MA masih menjadi ruang hampa yang tertutup. Hanya kelompok elite tertentu yang memiliki akses dan tahu cara memainkannya.
”Jadi, ini jelas membuat proses pemeriksaan perkara itu bukanlah proses pencarian keadilan yang sebenarnya dan juga bukan proses yang terbuka milik publik sehingga dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Jadi, ini bukan proses yang akuntabel,” kata Julius.
Jadi, ini jelas membuat proses pemeriksaan perkara itu bukanlah proses pencarian keadilan yang sebenarnya dan juga bukan proses yang terbuka milik publik sehingga dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
Persoalan struktural
Menurut Julius, persoalan di MA bukan lagi pada personal, melainkan struktural dan sistemik. Ada persoalan mulai dari kepemimpinan di MA hingga matinya badan pengawasan dan Komisi Yudisial.
Di sisi lain, tidak ada regulasi di pihak internal ataupun eksternal yang menghentikan praktik mafia peradilan. Karena itu, persoalan mafia peradilan tidak bisa dibongkar per kasus.
Publik perlu ikut membuka kebobrokan untuk membongkar persoalan ini. Sebab, pihak internal MA sudah tidak dapat dipercaya lagi. Apalagi, kasus mafia peradilan ini terjadi repetisi. Sebelum Hasbi, ada bekas Sekretaris MA Nurhadi yang juga terlibat kasus korupsi bersama dengan menantunya, Rezky Herbiyono.
”Ini repetisi yang artinya tidak bisa kita percayakan reformasi institusional Mahkamah Agung dari pihak internal saja. Sudah mati di situ, harus eksternal yang turun, tidak boleh internal lagi. Tidak bisa dipercayakan kepada internal lagi,” kata Julius.
Di sisi lain, KPK juga harus mengusut mafia peradilan dan makelar kasus sampai tuntas demi keadilan yang dicita-citakan masyarakat. Pengusutan ini juga seharusnya menjadi tanggung jawab MA. KPK dan MA harus memeriksa ulang secara obyektif perkara mana saja yang dimainkan berdasarkan temuan kasus korupsi di MA.
Ini repetisi, yang artinya tidak bisa kita percayakan reformasi institusional Mahkamah Agung dari pihak internal saja. Sudah mati di situ, harus eksternal yang turun, tidak boleh internal lagi.
Julius menegaskan, kepastian hukum bukan diletakkan pada proses hukum acara, sedangkan isinya sudah diatur sesuai dengan keinginan para mafia peradilan. Karena KPK sudah mengarah pada tindak pidana pencucian uang (TPPU), semua pihak di MA harus diperiksa untuk mengetahui siapa saja yang menerima hasil korupsi. Hal itu bertujuan agar MA dapat diperbaiki dan dikembalikan pada posisi yang adil, bukan dikuasai mafia peradilan.
Terkait dengan vonis Hasbi, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, semua alat bukti yang disajikan dan diungkap tim jaksa telah meyakinkan majelis hakim sehingga penerimaan suap yang dilakukan Hasbi dinyatakan terbukti dan diputus bersalah.
Semua alat bukti yang disajikan dan diungkap tim jaksa telah meyakinkan majelis hakim sehingga penerimaan suap yang dilakukan Hasbi dinyatakan terbukti dan diputus bersalah.
KPK segera menganalisis pertimbangan putusan majelis hakim untuk dijadikan sebagai informasi dan data tambahan dalam mengungkap dugaan TPPU yang dilakukan Hasbi yang saat ini penyidikannya masih berlangsung. Atas putusan tersebut, jaksa KPK menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari sambil menunggu diserahkan salinan putusan lengkap perkara ini.
Potongan hukuman
Hukuman hakim yustisial/panitera pengganti Hakim Agung (nonaktif) Gazalba Saleh, Prasetio Nugroho, disunat oleh MA di tingkat kasasi. Hukuman Prasetio dipotong dari delapan tahun menjadi tujuh tahun penjara. Prasetio juga terlibat dalam kasus pengurusan perkara KSP Intidana di MA.
Pemotongan hukuman Prasetio dilakukan Ketua Majelis Dwiarso Budi Santiarto dengan didampingi dua anggota majelis, Arizon Mega Jaya dan Sutarjo.
Dikutip dari situs MA, pemotongan hukuman Prasetio dilakukan Ketua Majelis Dwiarso Budi Santiarto dengan didampingi dua anggota majelis, Arizon Mega Jaya dan Sutarjo. Putusan dijatuhkan pada Rabu (20/3/2024). Namun, tidak dijelaskan pertimbangan pemotongan hukuman tersebut.
Saat ditanya terkait pertimbangan pemotongan hukuman tersebut, Juru Bicara MA Suharto meminta agar menunggu salinan putusan diunggah di Sistem Infomasi Administrasi Perkara MA. Di dalamnya ada pertimbangan hukum dari majelis.
Selama proses penyidikan, didapati nilai penerimaan gratifikasi yang disertai TPPU dalam bentuk pembelian aset sebesar Rp 9 miliar. Tim jaksa KPK sedang menyiapkan dakwaan dan pelimpahan berkas perkara.
Adapun Gazalba divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat. Gazalba dinyatakan majelis hakim tak terbukti bersalah melakukan korupsi. Meskipun bebas dalam kasus suap, KPK kembali menahan Gazalba sebagai tersangka dugaan korupsi penerimaan gratifikasi dan TPPU.
Terkait perkara TPPU Gazalba, Ali mengatakan, penyidik KPK telah menyerahkan Gazalba dan barang bukti kepada tim jaksa. Selama proses penyidikan, didapati nilai penerimaan gratifikasi yang disertai TPPU dalam bentuk pembelian aset sebesar Rp 9 miliar. Tim jaksa KPK sedang menyiapkan dakwaan dan pelimpahan berkas perkara.
KPK juga telah memeriksa beberapa saksi untuk perkara ini, antara lain Hakim Agung MA Desnayeti dan Yohanes Priyana. Keduanya didalami pengetahuannya terkait musyawarah dalam proses pengambilan putusan perkara Tol Km 50 Jakarta-Cikampek yang menewaskan sejumlah anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) dengan salah satu komposisi majelis hakimnya Gazalba.