ICW: Pemberantasan Korupsi Indonesia Jalan di Tempat
KPK mengalami gesekan ketika menindak aparat penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberantasan korupsi di Indonesia dalam kurun waktu hampir satu dekade terakhir dinilai jalan di tempat. Skor Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia tertinggi tercapai pada tahun 2019, yakni di angka 40, dengan peringkat ke-85 dunia.
Pada tahun 2023, skor IPK Indonesia tercatat di angka 34 dari nilai maksimal 100 dan berada di posisi 115 dari 180 negara. Nilai IPK 34 tersebut sama dengan kondisi tahun 2014, yakni ketika Joko Widodo resmi menjadi presiden di periode pertamanya.
”Artinya, pemberantasan korupsi kita jalan di tempat. Sembilan tahun terakhir praktis tidak ada dukungan politik hukum pemerintah untuk menyokong agenda pemberantasan korupsi,” kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, dalam diskusi publik bertajuk ”Pemberantasan Korupsi: Refleksi dan Harapan”, yang digelar di gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Berkaca hal tersebut, agak sulit mengatakan pemberantasan korupsi baik-baik saja. Apalagi, citra KPK di tengah masyarakat pun merosot. Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada akhir 2023 menyebutkan, dari 10 lembaga negara, KPK selalu berada di peringkat bawah selama empat tahun terakhir.
Sembilan tahun terakhir praktis tidak ada dukungan politik hukum pemerintah untuk menyokong agenda pemberantasan korupsi.
Menurut Kurnia, pelemahan KPK terjadi dari eksternal, yakni pemerintah dan DPR. Selain itu, juga dari internal, yaitu KPK yang mendegradasi nilai kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut.
Pelemahan KPK dari sisi internal terlihat dari rentetan pelanggaran etik yang terus terjadi. Bahkan, dugaan tindak pidana korupsi yang menerpa KPK justru dilakukan oleh bekas Ketua KPK Firli Bahuri.
Dari sisi regulasi, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK meletakkan pencegahan di paling awal. Padahal, pencegahan dan penindakan harus berjalan secara simultan di luar aspek koordinasi, supervisi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah.
Sehubungan hal ini, Kurnia berharap ada upaya perbaikan dari pemerintah dan DPR yang dapat dimulai dari pembentukan panitia seleksi (pansel) calon pimpinan KPK dalam waktu dekat. Pembentukan pansel jangan sampai seperti pada tahun 2019 yang dianggap tidak akomodatif terhadap partisipasi publik sehingga disinyalir ada konflik kepentingan.
”Pansel tersebut dikritik habis-habisan oleh masyarakat yang menghasilkan dua pimpinan KPK yang sudah hengkang dari KPK, yaitu Firli Bahuri dan Lili Pintauli Siregar. Itu artinya mereka tidak begitu cermat dan teliti dalam mengedepankan nilai integritas,” kata Kurnia.
KPK dinilai masih dibutuhkan masyarakat sebab lembaga ini menjadi trigger mechanism aparat penegak hukum ataupun lembaga negara lainnya. Masyarakat harus terus mengawal KPK agar jauh lebih baik lagi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Apalagi, pada tahun ini lima pimpinan dan Dewan Pengawas KPK akan berganti.
Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK 2015-2019 Betti Alisjahbana mengatakan, IPK Indonesia menurun sejak 2019. Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan dan komitmen dari pemerintah serta dukungan masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Menurut Betti, independensi lembaga antikorupsi harus diperkuat. Standar etika dan integritas yang tinggi mesti ditegakkan. KPK pun harus berkoordinasi dengan lembaga lain. Laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) juga harus dioptimalkan.
Kewenangan belum optimal
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, KPK mempunyai kewenangan koordinasi dan supervisi dalam pemberantasan korupsi dengan aparat penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan. Akan tetapi, kewenangan ini belum berjalan optimal.
”Kadang-kadang ada gesekan ketika, misalnya, KPK itu melakukan penindakan terhadap aparat penegak hukum, kepolisian atau kejaksaan. Ada gesekan di sana. Itu yang terjadi,” kata Alexander.
Persoalan pemberantasan korupsi terletak di aparat penegak hukum. Oleh karena itu, penghasilan aparat penegak hukum juga perlu mendapat perhatian agar mereka tidak memikirkan hal lain di luar pemberantasan korupsi.
Kadang-kadang ada gesekan ketika, misalnya, KPK itu melakukan penindakan terhadap aparat penegak hukum, kepolisian atau kejaksaan.
Melihat kondisi tersebut, menurut Alexander, dibutuhkan penguatan dan dukungan dari banyak pihak dalam memberantas korupsi. Sebab, pemberantasan dan pencegahan korupsi tidak dapat dilakukan hanya melalui aspek kelembagaan, regulasi, atau hanya mengandalkan pada kinerja aparat penegak hukum.