Seruan Diabaikan Jokowi, Guru Besar Ingin Gerakan Rakyat yang Lebih Besar
Penggugat hasil pemilu mesti bekerja luar biasa untuk membuktikan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guru besar menginginkan gerakan yang lebih besar dari rakyat, khususnya kaum akademisi dengan melibatkan mahasiswa, demi menjaga demokrasi. Sebab, seruan yang disampaikan sivitas akademika selama ini tidak pernah didengar Presiden Joko Widodo.
Berbagai seruan moral dari perguruan tinggi telah disampaikan dalam menyoroti kemunduran demokrasi di akhir masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Seruan dimaksud, di antaranya, dari kalangan sivitas akademika di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Selain itu, juga dari kalangan sivitas akademika yang bergabung dalam forum ilmiah universitas se-Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) di Gedung IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Jakarta.
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Koentjoro Soeparno mengatakan, sivitas akademika UGM telah membacakan petisi kepada Presiden Joko Widodo pada 31 Januari 2024. Mereka meminta Presiden dan semua orang yang berada di belakang Presiden untuk segera kembali pada koridor demokrasi.
Koentjoro mengingatkan, petisi itu disampaikan untuk menjaga nama baik UGM. Seperti diketahui, Presiden Jokowi merupakan alumnus UGM. Namun, Presiden hanya menganggap apa yang dilakukan UGM sebagai hak demokrasi dan tidak pernah didengarkan isinya. Padahal, petisi itu bagian dari tugas guru besar dalam menjaga etika.
”Saya mengajarkan kepada mahasiswa boleh salah, tetapi tidak boleh bohong. Namun, apa yang terjadi sampai sekarang? Kebohongan-kebohongan itu dibuat. Pembodohan-pembodohan itu dibuat. Pembodohan ini yang paling fatal,” tegasnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Koentjoro dalam acara diskusi bertajuk ”Para Pendekar Turun Gunung” yang diselenggarakan secara daring oleh forum Sing Waras Sing Menang, Sabtu (16/3/2024). Hadir juga Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti dan pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti sebagai pembicara.
Saya mengajarkan kepada mahasiswa boleh salah, tetapi tidak boleh bohong. Namun, apa yang terjadi sampai sekarang? Kebohongan-kebohongan itu dibuat.
Menurut Koentjoro, pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memanfaatkan kelompok tidak terdidik untuk meraup suara seperti pemberian bantuan sosial atau tekanan-tekanan.
Yang paling fatal, kata Koentjoro, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia membahas program makan siang gratis yang menjadi unggulan pasangan Prabowo-Gibran. Koentjoro mendesak rakyat untuk terus bergerak demi menjaga demokrasi agar bisa berjalan.
Susi Dwi Harijanti mengatakan, Universitas Padjadjaran telah menyampaikan petisi Seruan Padjadjaran yang merupakan bentuk deklarasi seruan moral. Petisi Seruan Padjadjaran tersebut mengikutsertakan mahasiswa. Gerakan serupa juga terjadi di sejumlah kota lain.
Susi berharap akan ada gerakan selanjutnya dari guru besar dan akademisi se-Bandung Raya. Dalam proses Pemilu 2024 lalu, menurut Susi, ada sebagian dari mahasiswa yang tidak terbiasa berpikir kritis. Itu terlihat dari mereka yang tidak banyak bertanya sebelum menjatuhkan pilihan.
Susi mengatakan, hal itu merupakan bentuk kelemahan paling fundamental dalam pendidikan di Indonesia yang tidak mengajarkan peserta didik berpikir kritis. Banyaknya pelanggaran etik selama proses Pemilu 2024 seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pilihan.
Pelanggaran etik itu terbukti dalam kasus uji materi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden dengan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menyatakan Ketua MK Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat.
Selain itu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan ketua dan enam anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) melanggar etik terkait tindak lanjut atas putusan MK mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.
Hak angket
Harapan saat ini ada pada DPR untuk menyampaikan hak angket dalam mengusut dugaan kecurangan pemilu. Susi mengatakan, dibutuhkan kerja yang luar biasa bagi mereka yang menggugat hasil pemilu. Sebab, harus ada bukti-bukti secara nyata bahwa telah terjadi kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Menurut Ikrar Nusa Bhakti, ada keterlambatan untuk menyadari ada yang tidak beres dari Presiden Jokowi dalam membangun dinasti politik yang sudah direncanakan sejak lama. Pada akhirnya, terjadi banyak pelanggaran etik dalam proses pencalonan Gibran hingga polemik Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta yang di dalamnya diatur bahwa Gubernur Jakarta bakal ditunjuk oleh Presiden.
Ikrar mendukung gagasan diajukan hak angket DPR untuk membongkar persoalan yang ada di Pemilu 2024. Ia tidak ingin generasi muda bangsa Indonesia ke depan tidak lagi memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin politik jika mereka bukan anak pejabat.