Utang Jadi Dalih Bekas Pejabat Bea dan Cukai Andhi Pramono Minta Gratifikasi Rp 56 Miliar
Bekas pejabat Bea dan Cukai, Andhi Pramono, meminta uang hingga Rp 56 miliar kepada para pengusaha dengan dalih utang.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bekas pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Andhi Pramono, dituntut pidana penjara selama 10 tahun dan 3 bulan karena diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 56,23 miliar. Meminjam uang atau utang untuk biaya sekolah anak, rumah sakit, perbaikan kendaraan, renovasi rumah dinas, dan keperluan pribadi menjadi dalih Andhi meminta uang kepada para pengusaha ekspor-impor, logistik, dan kepabeanan.
”Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa Andhi Pramono dengan pidana penjara selama 10 tahun dan 3 bulan. Pidana denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan,” kata jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Joko Hermawan S.
Tuntutan tersebut dibacakan Joko di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (8/3/2024). Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Djuyamto. Andhi hadir di ruang sidang dengan didampingi penasihat hukumnya.
Joko mengungkapkan, hal yang memberatkan Andhi adalah tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Perbuatan Andhi juga telah merusak kepercayaan masyarakat kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta tidak mengakui perbuatannya. Adapun hal yang meringankan ialah belum pernah dihukum dan bersikap sopan di persidangan.
Ia mengungkapkan, sejak 22 Maret 2012 sampai dengan 27 Januari 2023, Andhi telah menerima gratifikasi berupa uang dengan total Rp 56,23 miliar. Gratifikasi tersebut ada yang diterima Andhi secara langsung serta rekening bank miliknya dan atas nama orang lain yang dikuasainya.
Joko menjelaskan, Andhi meminta uang kepada para pelaku usaha ekspor-impor, pengusaha logistik, serta pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) dengan modus meminjam atau utang. Andhi beralasan meminjam uang, di antaranya, untuk biaya sekolah anak, rumah sakit, perbaikan kendaraan, renovasi rumah dinas, dan keperluan pribadi.
Menurut jaksa, kata ”pinjam” hanya dalih dari Andhi untuk meminta uang kepada para pengusaha. Sebab, berdasarkan fakta persidangan terungkap bahwa uang yang dipinjam Andhi secara berulang kali tidak pernah dikembalikan. Selain itu, dari keterangan saksi Erick M Henrizal, uang itu sebagai fee atas jasa Andhi yang telah memperkenalkan importir atau pemilik barang kepada PPJK.
Andhi meminta uang kepada para pelaku usaha ekspor-impor, pengusaha logistik, serta pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) dengan modus meminjam atau utang.
Uang yang diterima Andhi melalui sumber yang tidak sah tersebut tidak dilaporkan dengan benar dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak. Menurut jaksa, hal terebut semakin memperkuat bukti adanya perolehan sumber keuangan yang tidak sah dari Andhi.
Adanya penerimaan berupa mata uang asing yang tidak pernah dilaporkan dalam LHKPN dan SPT Pajak semakin menguatkan adanya penerimaan gratifikasi oleh Andhi. Sebab, penghasilan resmi Andhi selaku aparatur sipil negara selalu diterima dalam mata uang rupiah.
Andhi menerima gratifikasi tersebut dari beberapa orang, di antaranya pengusaha sembako Suriyanto; pengurus operasional ekspedisi CV Berkah Jaya Mandiri, Rudi Hartono; pemilik PT Mutiara Globalindo, Rudy Suwandi; Komisaris PT Indokemas Adhikencana, Johannes Komarudin; Direktur PT Putra Pulau Botong Perkasa La Hardi; dan pemilik PT Global Buana Samudra, Sukur Laidi.
Ia juga menerima gratifikasi melalui PT Agro Makmur Chemindo. Pada 2015, Andhi meminta Direktur PT Agro Makmur Chemindo Erick M Henrizal yang berkedudukan di Palembang, Sumatera Selatan, untuk membantu pengurusan jasa ekspor dengan menggunakan nama eksportir lain dan jasa kepabeanan impor. Mereka menyepakati pembagian fee untuk Andhi yang besarannya ditentukan oleh Andhi.
Atas arahan Andhi, Erick bekerja sama dengan Girry, selaku Komisaris PT Sekawan Sukses Mandiri yang berkedudukan di Jakarta. Dalam kurun waktu 21 September 2015 sampai dengan 10 September 2018, terdapat penerimaan uang dari PT Agro Makmur Chemindo, Erick, Nitta Febryanti, Ridwan, Yurdhi Prawira, Diniwati, Wiman Vin, Cindia Anggelika, dan Iksannudin.
Seusai mendengarkan tuntutan dari JPU KPK, Andhi dan penasihat hukumnya menyatakan cukup. Sidang selanjutnya akan diselenggarakan pada Jumat (15/3) dengan agenda penyampaian pleidoi.