Tabulasi Suara di Sirekap Hilang, Potensi Manipulasi Menguat
Hilangnya tabulasi rekapitulasi perolehan suara di Sirekap meningkatkan potensi manipulasi karena ketiadaan pembanding.
JAKARTA, KOMPAS — Hilangnya tabulasi rekapitulasi perolehan suara di Sistem Informasi Rekapitulasi mengakibatkan publik semakin sulit mengawal suara. Potensi manipulasi meningkat karena masyarakat tidak memiliki data pembanding rekapitulasi dari Komisi Pemilihan Umum.
Sejak Selasa (5/3/2024) malam, KPU memperbarui tampilan laman Sirekap. Tabulasi perolehan suara calon presiden dan calon wakil presiden, partai politik, serta calon anggota legislatif ditiadakan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Diagram lingkaran yang menunjukkan jumlah dan persentase perolehan suara pemilihan presiden hasil konversi dari formulir C hasil sudah tidak ditampilkan. Begitu pula jumlah perolehan suara setiap pasangan capres dan cawapres secara total dan di setiap provinsi sudah tidak ada.
Sementara untuk pemilihan anggota legislatif, Sirekap tidak lagi menampilkan diagram batang perolehan suara 18 partai politik peserta pemilu. Jumlah suara sah parpol dan setiap caleg pun tidak lagi ditampilkan. Publik hanya diberikan menu akses formulir C hasil yang bisa ditelusuri berdasarkan wilayah pemilihan mulai tingkat provinsi.
Baca juga: Surat Suara Tidak Sah Dimanfaatkan untuk Untungkan Caleg Tertentu
Sirekap tetap memuat unggahan formulir C hasil dari tempat pemungutan suara. Meskipun demikian, publik harus mencari satu per satu TPS yang dituju untuk bisa mengakses foto formulir C hasil.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, Rabu (6/3/2024), menuturkan, informasi mengenai tabulasi rekapitulasi suara sangat penting bagi publik. Melalui fitur tersebut, pemilih dengan cepat dan mudah bisa membandingkan rekapitulasi perolehan suara capres, parpol, dan caleg dengan hasil hitung cepat sejumlah lembaga. Publik juga bisa melihat pergerakan perolehan suara dari waktu ke waktu.
Dihilangkannya informasi tabulasi suara justru membuat pengawasan publik semakin sulit. Publik tidak lagi memiliki data pembanding untuk mengawal rekapitulasi suara. Jika harus merekapitulasi suara satu per satu dari data formulir C hasil, hal itu akan lebih sulit dan memakan waktu. Akhirnya, potensi manipulasi suara meningkat.
”Dihapusnya tabulasi rekapitulasi suara semakin menguatkan dugaan kecurigaan publik terhadap ketidakjujuran dan ketidakprofesionalan KPU,” kata Fadli.
Baca juga: KPU Diperiksa DKPP, Rapat Pleno Penghitungan Suara Langsung Diskors
Berkaca dari dugaan penggelembungan suara Partai Solidaritas Indonesia, Fadli melanjutkan, publik bisa menemukan keanehan suara. Data di Sirekap bertambah secara tidak wajar sehingga memancing publik menelusuri penyebabnya. Sejumlah kejanggalan perbedaan data antara formulir C hasil dengan tabulasi di Sirekap akhirnya terkuak.
Kini, tanpa ada tabulasi rekapitulasi suara, fungsi Sirekap bagi publik sangat berkurang. Publik tidak bisa mengetahui hasil pemilu lebih cepat dari KPU. Meskipun Sirekap hanya alat bantu, sebagian publik telah merasakan manfaat dalam mengawal kemurnian suara di TPS sekaligus mendapatkan gambaran awal pemenang pemilu.
Dihapusnya tabulasi rekapitulasi suara semakin menguatkan dugaan kecurigaan publik terhadap ketidakjujuran dan ketidakprofesionalan KPU.
Lebih jauh, kata Fadli, hilangnya tabulasi suara justru tidak menyelesaikan masalah kegaduhan yang terjadi di masyarakat. KPU seharusnya memperbaiki data anomali sehingga data yang ditampilkan lebih akurat. Sistem untuk publikasi itu mestinya tetap dipertahankan karena anggaran yang dimiliki KPU dinilai cukup untuk memastikan keandalan Sirekap.
”Situasi ini membuat audit terhadap perencanaan, penganggaran, dan pengelolaan Sirekap menjadi sangat penting,” ujar Fadli.
Baca juga: Sempat Berhenti, Unggahan Data Sirekap Kembali Diperbarui
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengungkapkan, penutupan diagram Sirekap justru menimbulkan semakin kuatnya spekulasi bahwa tindakan tersebut untuk menutupi hal-hal tertentu.
Selama ini, Sirekap—khususnya grafik dan numeriknya—sangat membantu pemilih yang masih dalam jeda masa tunggu hasil pemilu yang nantinya akan diketok oleh KPU paling lambat pada 20 Maret 2024.
”Selain urgensi adanya C hasil dan sertifikat di setiap tingkat, tindakan yang dilakukan KPU justru malah menimbulkan makin kuatnya spekulasi terhadap adanya hal-hal yang ditutupi,” katanya.
Baca juga: Tampilan Sirekap Berubah Semalam, KPU Bantah untuk Manipulasi dan Ubah Form C Hasil
Seyogianya, menurut Titi, KPU mestinya merespons kritik publik selama ini dengan secara profesional dan proporsional mengoreksi data yang menunjukkan anomali, kemudian responsif terhadap masukan dan kritik dari masyarakat. KPU seharusnya bukan menutup Sirekap, melainkan memperbaiki kualitas teknologi yang digunakan.
Lebih lanjut Titi menilai, penutupan Sirekap tersebut merupakan sebuah langkah mundur dalam hal transparansi publik. Padahal, selama ini, KPU sudah menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Misalnya, pada 2014, KPU hanya mengunggah data hasil scan. Kemudian, pada 2019, hasil pemilihan dimasukkan secara manual.
”Pemilu 2024 ini KPU menggunakan Sirekap yang diharapkan secara gradual menjadi teknologi rekapitulasi di masa yang akan datang. Proses yang sudah berjalan ini kemudian ditutup. Ini malah menimbulkan spekulasi,” kata Titi.
Baca juga: Sirekap, Alat Bantu Pemilu yang Justru Timbulkan Kegaduhan
Apabila publik menilai bahwa penyelenggaraan pemilu sebagai sebuah tindakan yang tidak profesional, Titi berpandangan bahwa KPU bisa dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk diproses atas dugaan pelanggaran etik.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Rahmat Bagja mengatakan, saran perbaikan Bawaslu hanya menghentikan sementara publikasi Sirekap. Namun, KPU mesti tetap memperbaiki kesalahan pembacaan data, bukan justru menghilangkan informasi tabulasi yang dibutuhkan untuk pengawasan publik.
”Jangan juga sistem yang sudah dibangun itu tidak menampilkan apa yang seharusnya ditampilkan. Sekarang, kan, sudah dihentikan. Pertanyaannya, berapa lama? Kenapa sistemnya tidak presisi? Itu sampai sekarang juga belum dijelaskan,” tutur Bagja.
Di sisi lain, Bagja mendorong KPU segera memublikasikan seluruh formulir C hasil dari TPS dan D hasil dari rekapitulasi tingkat kecamatan. Kedua dokumen itu dibutuhkan publik untuk mengawal kesesuaian data di TPS dengan rekapitulasi berjenjang.
Polemik
Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, perubahan tampilan laman Sirekap dilakukan untuk memberikan informasi yang akurat dan tidak menimbulkan polemik. Sebab, dalam beberapa hari terakhir, Sirekap justru menimbulkan polemik di masyarakat karena kesalahan konversi sehingga mengakibatkan data anomali di sebagian TPS.
Padahal, Sirekap hanya alat bantu dan alat publikasi rekapitulasi suara. Adapun penetapan hasil secara resmi tetap berdasarkan rekapitulasi manual berjenjang. Sirekap yang sejatinya adalah publikasi foto formulir C hasil plano pun jarang diakses publik. Sebagian besar hanya melihat jumlah suara yang dikonversi sistem dan ditampilkan dalam diagram.
”Ketika hasil pembacaan teknologi Sirekap kurang akurat dan belum diakurasi oleh operator, akan jadi polemik dalam ruang publik yang justru memunculkan prasangka,” ujar Idham.
Baca juga: Di Balik ”Dapur” Rekapitulasi PPP dan PSI
Idham menegaskan, penghilangan diagram tabulasi perolehan suara bukan untuk menyembunyikan sesuatu. Pihaknya juga menampik perubahan tampilan Sirekap untuk memanipulasi atau mengubah formulir C hasil. Sebab, seluruh saksi parpol dan pengawas TPS mendapatkan salinan C hasil yang sama dari TPS. Seluruh foto formulir C hasil pun tetap bisa diakses publik di Sirekap.
Pihaknya juga terus mendorong jajaran untuk mempercepat pengunggahan foto formulir C hasil dari TPS ataupun D hasil dari rekapitulasi tingkat kecamatan. Sebab, saat ini proses rekapitulasi di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota telah berakhir dan mulai memasuki rekapitulasi di tingkat provinsi.